Selasa, 13 April 2021

 

Puasa, Mencapai Takwa dan Berkah

 Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar

                                                         KOMPAS, 12 April 2021

 

 

                                                           

Bulan puasa, Ramadhan 1442 Hijrah pada 2021 Masehi yang dimulai pekan ini, adalah bulan puasa kedua di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Ramadhan lalu, diawali akhir April 2019, wabah Covid -19 gelombang pertama tengah meningkat.

 

Setahun berlalu, pandemi meningkat kembali dalam gelombang ketiga di banyak negara; kini melintasi angka 135 juta orang positif terinfeksi dan tiga juta meninggal dunia.

 

Indonesia bukan pengecualian dalam gelombang wabah ini. Jumlah warga Indonesia yang terinfeksi dan meninggal karena Covid-19 terlihat cenderung menurun. Sejumlah kecil warga yang dapat prioritas, telah divaksinasi guna meningkatkan imunitas kelompok.

 

Tetapi jelas, pandemi ini masih belum berakhir sama sekali. Di tengah wabah itu, seluruh warga, baik yang berpuasa Ramadhan maupun tidak puasa karena alasan tertentu, wajib menjaga jiwa dan kehidupan (hifz al-nafs). Caranya adalah dengan menjalankan protokol kesehatan dan meningkatkan imunitas, termasuk ketika menunaikan salat tarawih di masjid atau musala sesuai kelonggaran yang diberikan pemerintah.

 

Ibadah puasa Ramadhan adalah kewajiban keagamaan yang sarat kewargaan dan kemanusiaan sekaligus. Mereka yang berpuasa menyucikan jasmani dan rohani yang mendorong peninggian kualitas spiritualitas personal dan sekaligus peningkatan kehidupan kewargaan, kebangsaan dan kemanusiaan.

 

Takwa holistik dan komprehensif

 

Meski wabah korona masih merajaralela dengan berbagai dampak kesulitan dan pembatasan kehidupan yang diakibatkannya, Ramadhan tetap mubarak, bulan membawa berkah.

 

Sesulit apapun keadaan, kaum Muslim dan mukmin di manapun merindukan kedatangan puasa Ramadhan seperti tercermin dalam ungkapan ‘Marhaban ya Ramadhan’ (Selamat Datang Ya Ramadhan). Kenapa marhaban? Tak lain karena ibadah puasa merupakan kesempatan sangat baik bagi orang-orang beriman (aladziuna amanu) meningkatkan kualitas jasmani dan rohani. Mereka diseru Allah SWT berpuasa seperti ditegaskan dan dijelaskan dalam beberapa ayat Al Quran (QS 2: 183, 184, 185 dan 187).

 

Dengan berpuasa Ramadhan, kaum beriman diharapkan dapat mencapai derajat takwa—la’allakum tattaqun, mudah-mudahan kamu sekalian bertakwa (QS 2:183). ‘Takwa’ adalah salah satu keutamaan kemanusiaan dalam Islam, karena orang takwa (muttaqun) terpelihara jasmani dan rohani, pikiran dan perbuatan, sehingga selalu mengikuti ajaran agama, regulasi negara dan tradisi sosial budaya. Muttaqun seutuhnya tidak melakukan pelanggaran yang merugikan dirinya maupun orang lain, masyarakat, lingkungan hidup lebih luas, negara-bangsa dan kemanusiaan.

 

Ketakwaan mesti holistik dan komprehensif (kaffah). Hanya dengan begitu orang beriman dan berislam dapat mengaktualisasikan islamisitasnya.

 

Takwa tidak cukup terwujud hanya ketika orang beriman sedang beribadah pokok (mahdhah); juga mesti terejawantah dalam amal perbuatan baik yang menurut Islam adalah ibadah—pengabdian pada Tuhan. Orang beriman seharusnya takwa tidak hanya ketika sedang beribadah di masjid, tetapi juga ketika berada di jalan raya, di pasar, di kampus, di kantor dan seterusnya.

 

Masih merajalelanya berbagai pelanggaran ajaran agama, ketentuan hukum seperti kriminalitas, maksiat, kekerasan dan korupsi mengindikasikan aktualisasi ketakwaan belum holistik dan komprehensif. Di sini ibadah puasa seolah tak meninggalkan bekas; tak membuat orang beriman benar-benar bertakwa lahir-batin, jasmani-rohani di manapun berada. Dalam keadaan seperti ini, islamisitas mereka yang beriman dan berislam tidak terwujud aktual.

 

Keadaan ini memperlihatkan ironi; pribadi terbelah (split personality) dengan islamisitas terbelah pula sehingga gagal meningkatkan kebajikan dan kemaslahatan diri, masyarakat dan lingkungan lebih luas. Sebab itu, kesempatan ibadah puasa Ramadhan mesti dijadikan momentum melakukan evaluasi (muhasabah) diri guna membangun islamisitas holistik.

 

Mereka yang berpuasa (sha’imin, laki-laki, dan sha’imat, perempuan) dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW dianjurkan ihtisaban—menghitung-hitung diri dan puasa yang dilakukan (HR Bukhari).

 

Jika tidak, seperti dinyatakan hadis lain dari Rasulullah, puasa mereka yang tidak muhasabah hanya mendatangkan lapar dan haus; tidak memberi ‘bekas’ (atsar) lebih kuat dan jelas dalam dirinya dan amalnya. Artinya, ibadah puasa Ramadhan yang dikerjakan tahun demi tahun sepanjang umur menjadi ‘rutinitas’ belaka; tidak berhasil mencapai tujuan yang disebutkan al-Qur’an.

 

Hidup berkah untuk kemanusiaan

 

Ramadhan Mubarak, Ramadhan berkah dan membawa berkah (blessing). Mereka yang beriman, berpuasa dan berhasil mencapai derajat takwa sepenuhnya, insya Allah mendapat hidup berkah (Ar barakah). Dengan berkah, kehidupan menjadi lebih bermakna, karena barakah adalah ‘kebaikan yang selalu bertambah’.

 

Orang yang hidupnya berkah selalu memberi kebajikan bagi masyarakat, kemanusiaan dan alam lingkungan. Tanpa berkah, kehidupan menjadi kering tanpa makna; kosong dari kebajikan hakiki yang bermaslahat bagi dirinya umat manusia, negara-bangsa, kemanusiaan dan ekosistem lebih luas.

 

Jika hidup tak berkah, seseorang bisa kaya raya material, tapi miskin spiritual. Atau seseorang bisa menduduki jabatan tinggi, penting dan sangat kuasa, tetapi tidak bahagia. Kekayaan atau jabatan yang tidak berkah bisa mendatangkan siksaan, bencana dan kenestapaan baik di dunia maupun akhirat.

 

Ramadhan berkah. Berkah tidak datang dengan sendirinya. Ibadah untuk mencapai hidup berkah harus diusahakan seumur hidup; sepanjang Ramadhan diintensifkan lagi. Intensifikasi mulai dari ibadah puasa wajib beserta tadarusan Al Quran, i’tikaf, zikir, dan banyak lagi.

 

Semua ibadah ini membersihkan diri dari kekotoran. najis dan dosa sehingga mencapai pribadi suci (fitrah) dan berkah. Orang beriman yang bersih lewat ibadah seperti sembahyang wajib dan sunah; puasa wajib dan sunah; membayar zakat, infak, sedekah dan wakaf; dan naik haji atau umrah dapat mencapai hidup berkah. Diri fitrah adalah diri berkah yang insya Allah dapat mencapai derajat takwa.

 

Ramadhan berkah tak hanya untuk mencapai peningkatan kualitas pribadi menuju ketakwaan, tetapi juga kemaslahatan sosial dan kemanusiaan secara keseluruhan. Jika puasa secara pribadi berarti memperkuat hablun minallah (tali atau hubungan dengan Allah), secara sosial mempererat hablun minannas, hubungan sesama kemanusiaan.

 

Dalam berbagai ajaran Islam selalu ditekankan, hubungan pribadi dengan Allah SWT tidak sempurna kecuali ada hubungan baik dengan manusia lain. Hubungan baik orang beriman dengan Allah adalah untuk kebaikan diri, kemanusiaan dan alam semesta, sehingga dia dapat mewujudkan agama menjadi rahmatan lil ‘alamin.

 

Dengan begitu, hablun min Allah dan habl min al-nas, Ramadhan berkah bermakna penguatan kembali solidaritas dan jejaring sosial masyarakat. Banyak warga menghadapi berbagai kesulitan ekonomi dan sosial akibat wabah Covid-19. Pandemi lebih setahun ini membuat kian banyak warga fakir-miskin dan penganggur yang sangat memerlukan solidaritas filantropis dari warga bernasib lebih baik.

 

Solidaritas sosial mesti diwujudkan pula dalam bentuk lebih luas, yang tetap memiliki makna penting bagi penguatan jejaring sosial dan kemaslahatan kemanusiaan. Di antaranya adalah menerapkan disiplin sosial; mematuhi tatanan hukum; memegangi kepatutan, kesantunan dan keadaban publik.

 

Memelihara amanah, mengendalikan dan menyucikan diri lewat puasa Ramadhan, bagi kepemimpinan nasional dan kepejabatan publik dan elite politik lain mesti diwujudkan dengan pembentukan tata kelola pemerintahan bersih, good governance. Rakyat rindu pemimpin amanah yang memegang teguh kepercayaan rakyat; bukan sebaliknya mengkhianati amanah dengan melanggar hukum negara, ajaran agama dan kepatutan kemanusiaan.

 

Walhasil, berkah Ramadhan untuk mencapai kesucian dan derajat ketakwaan tak hanya pada tingkat pribadi, individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-publik dan pemerintahan. Jika ini dapat diwujudkan, ibadah puasa bisa jadi lebih fungsional dalam berbagai aspek kehidupan pribadi, para warga dan pemimpin; ibadah puasa terhindar dari sekadar kerutinan tahunan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar