Selasa, 13 April 2021

 

Reforma Agraria Kepulauan dan Kesejahteraan Rakyat Pesisir

 Marthin Hadiwinata ; Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia

                                                         KOMPAS, 12 April 2021

 

 

                                                           

Sebagai negara kepulauan, ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil tampak jelas. Permasalahan dan konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil terjadi beragam. Mulai dari privatisasi dan perampasan agraria untuk kepentingan, seperti pariwisata dan perkebunan monokultur.

 

Di wilayah pesisir terjadi aktivitas ekstraktif yang cenderung masif, seperti pertambangan mineral pasir dan logam berharga seperti timah dan nikel. Di sisi lain, ancaman krisis iklim terhadap kepulauan Indonesia, dengan kenaikan muka air laut, anomali cuaca, meningkatnya ancaman bencana dan kelangkaan pangan perikanan.

 

Dalam catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi fluktuasi konflik agraria di kawasan pesisir dan pulau kecil. Pada tahun 2015 terjadi empat konflik, tahun 2016 terjadi 10 konflik, tahun 2017 terjadi 28 konflik, tahun 2018 terjadi 12 konflik, tahun 2019 terjadi 6 konflik, dan terakhir di tahun pandemi 2020 terjadi 3 konflik.

 

Angka tersebut terlihat tidak signifikan, tetapi tidak dapat menjadi justifikasi minimnya konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil dan mengingat keterbatasan akses dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil secara umum.

 

Data yang diungkapkan oleh Gusus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pusat sebanyak 12.306 pulau dari 17.504 pulau atau 76 persen pulau di Indonesia belum bersertifikat (Sekretariat GTRA Pusat, Desember 2020). Penulis melihat adanya fenomena gunung es dalam konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil.

 

Ditambah lagi dengan adanya UU Cipta Kerja yang merevisi ketentuan investasi asing terhadap pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya dapat dilakukan tanpa pembatasan, seperti jaminan akses publik, tidak berpenduduk, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal dan pertimbangan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan (Pasal 18 angka 22 UU CK, perubahan Pasal 26A UU 1/2014).

 

Reforma agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil telah memiliki mandat kuat dalam berbagai kebijakan yang ada. Dimulai dari pemaknaan agraria dalam konstitusi UUD 1945 tidak hanya tanah, tetapi termasuk bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

 

Kemudian UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang mewajibkan pemberian akses dan ruang penghidupan dalam perumusan perencanaan ruang baik dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Tata Ruang Laut Nasional (Pasal 25 Ayat (5) UU 7/2016).

 

Ruang penghidupan meliputi wilayah atau zona tangkap ikan, tambat-labuh kapal serta tempat tinggal. Selanjutnya Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria juga telah mengakui pemangku hak atas wilayah pesisir dan pulau kecil seperti nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, pembudi daya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, dan petambak garam kecil dan penggarap tambak garam sebagai subyek reforma agraria.

 

Dalam pandangan penulis, setidaknya terdapat empat hambatan dalam mewujudkan Reforma Agraria di kawasan pesisir dan pulau kecil. Pertama, tiadanya pengakuan dan perlindungan hak tenurial bagi pelaku perikanan skala kecil baik nelayan kecil maupun pembudi daya ikan dan petambak garam.

 

Pasal 61 Ayat (1) UU Perikanan menegaskan, nelayan kecil dibebaskan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, tidak diikuti dengan adanya perlindungan kegiatan menangkap ikan tersebut dalam wilayah tangkap. Baik dari kompetisi di dalam sektor perikanan sendiri maupun dengan sektor lain dalam ruang tangkap nelayan, seperti pertambangan dan industri ekstraktif.

 

Dalam internal sektor perikanan, jalur penangkapan ikan tidak diikuti dengan pengawasan perikanan. Dengan sektor lain, perencanaan ruang berupa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil (RZWP3K) tidak melihat perikanan skala kecil sebagai pemangku hak yang wajib diberikan perlindungan, yang terjadi adalah ketidakadilan yang dbungkus dalam proses partisipasi yang manipulatif.

 

Selain itu, tiadanya operasional dari kewajiban memberikan akses dan ruang penghidupan dalam perencanaan ruang juga menunjukkan tiadanya perlindungan tenurial terhadap nelayan kecil.

 

Kedua, perencanaan yang sektoral mengakibatkan tiadanya perencanaan yang komprehensif dan saling terkait. Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau kecil mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Namun, dalam praktiknya, pengaturan wilayah pesisir dan pulau kecil hanya mencakup perairan dan tidak mengatur wilayah darat, baik di wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil.

 

Ditambah lagi, Perubahan UU Penataan Ruang melalui UU Cipta Kerja yang memisahkan adanya pemanfaatan dalam RTRW dan pengelolaan dalam RZWP3K dan Rencana Tata Ruang Laut. Hal tersebut makin menyebabkan bias daratan dalam perencanaan ruang perairan dan kelautan.

 

Selain itu, dalam sektor perikanan terdapat rencana pengelolaan perikanan di mana dalam perencanaannya tidak melibatkan pelaku perikanan, khususnya perikanan skala kecil yang merupakan aktor mayoritas dalam perikanan di Indonesia.

 

Ketiga, inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sering kali dilakukan secara tidak partisipatif. Perampasan tanah di pulau kecil terjadi karena Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dilakukan secara manipulatif tanpa partisipasi sepenuhnya masyarakat. Tindakan IP4T tidak dilakukan untuk memastikan penguasaan, pamanfaatan, dan penggunaan yang riil terjadi di tingkat tapak.

 

Selain itu, IP4T belum mengakui penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, seperti ruang tangkap dan kawasan tambat labuh kapal. Selain itu, juga belum mengakomodasi pendekatan hak sebagai contoh adalah hak atas tempat tinggal.

 

Dalam praktiknya, masyarakat menghuni tempat tinggal di atas rumah panggung yang berada di kawasan pesisir dan peralihan perairan. Termasuk penguasaan atas ruang tangkap yang selama ini tidak dilindungi sehingga rawan terjadi konflik agraria. Reforma agraria tidak hanya aspek tanah, tetapi juga termasuk wilayah pesisir dan perairan.

 

Keempat, pengakuan yang semu terhadap perikanan skala kecil. Nelayan sebagai profesi telah diakui, tetapi perikanan skala kecil tidak mendapatkan rekognisi yang jelas. Perikanan skala kecil mencakup semua kegiatan dari pra hingga pascaproduksi, baik oleh laki-laki maupun perempuan.

 

Perubahan terakhir dalam UU Cipta Kerja menciptakan ketidakjelasan batasan skala kecil walaupun dalam PP No 27/2021, ukuran kapal skala kecil di bawah 5 gros ton dibebaskan dari kewajiban surat laik operasi SLO.

 

Selain itu, pengakuan semu terlihat dari registrasi kapal pasif oleh pemerintah, yang berujung rekognisi minimum untuk mendapatkan tanda daftar kapal untuk mengakses BBM bersubsidi. Namun, registrasi tersebut tidak mengakui aktivitas kegiatan perikanan yang mendudukan pemerintah hanya berfungsi tidak lebih dari fungsi pencatatan dan tidak melakukan fungsi pengawasan dan perlindungan.

 

Untuk menjawab permasalahan reforma agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penulis berpendapat, pemerintah bisa melakukan tiga langkah. Pertama melakukan implementasi Pedoman FAO tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil yang terbit tahun 2014 dengan sesungguhnya.

 

Pedoman tersebut setidaknya memberikan jalan perlindungan dalam lima aspek perlindungan, yaitu (i) perlindungan tenurial dan pengelolaan sumber daya yang mencakup perlindungan ruang tangkap serta tanah yang menjadi tempat tinggal dan pengelolaan kolaboratif (co-management).

 

Aspek berikutnya (ii) pembangunan sosial, lapangan kerja dan kerja yang layak mencakup jaminan sosial, serta pembangunan infrastruktur dasar mulai dari kesehatan, pendidikan, pemberantasan buta huruf, inklusi digital dan keterampilan lainnya yang bersifat teknis serta akses pembiayaan yang adil; (iii) rantai nilai, pascaproduksi dan perdagangan mencakup jaminan akses pasar, harga pasar, serta pengembangan infrastruktur pasca produksi dan perdagangan yang menguntungkan perikanan skala kecil.

 

Kemudian aspek (iv) kesetaraan jender yang mencakup pengarusutamaan keadilan jender dalam setiap pengembangan perikanan dengan perlakuan khusus kepada perempuan yang berada dalam sektor perikanan; (v) risiko bencana dan perubahan iklim yang mencakup strategi adaptasi dan mitigasi dengan konsultasi yang melibatkan nelayan, masyarakat adat baik laki-laki dan perempuan serta adanya rencana mengatasi perubahan iklim di dalam sektor perikanan.

 

Kedua melakukan implementasi UU No 7/2016 dengan sebenar-benarnya, salah satunya dengan segera menerbitkan peraturan pemerintah pelaksana yang menyeluruh terhadap berbagai strategi perlindungan dan pemberdayaan yang dimandatkan dalam UU No 7/2016.

 

Peraturan pelaksana tersebut dapat mengintegrasikan substansi dari Pedoman FAO tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil FAO Tahun 2014 sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam melindungi perikanan nelayan skala kecil.

 

Ketiga, adanya desk khusus dalam Gugus Tugas Reforma Agraria di mulai dari tingkat pusat, hingga daerah kabupaten/kota dalam melakukan percepatan reforma agraria di pesisir dan pulau-pulau kecil. Strategi ini untuk memastikan provinsi dan kabupaten/kota dengan kawasan pesisir dan kepulauan mendapatkan perhatian khusus.

 

Harapannya dengan reforma agraria di kepulauan dapat menjadi jalan mengatasi konflik, menjawab ancaman perubahan iklim dengan memberikan kewenangan rakyat pesisir untuk dapat mengelola, menggunakan, dan memanfaatkan sumber-sumber daya agraria yang tersedia, baik tanah maupun perairan pesisir, di negara kepulauan Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar