Mencari
Pertumbuhan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan Krisdyatmiko ; Ketua Departemen
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM; Peneliti di Institute for
Research and Empowerment |
KOMPAS,
01 Maret
2021
Upaya memenuhi kebutuhan energi nasional
secara mandiri sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi harus diletakkan dalam
kerangka pemberdayaan untuk kesejahteraan rakyat. Hampir setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia,
di tengah keterpurukan perekonomian masyarakat, tiba-tiba muncul fenomena
pembelian mobil besar-besaran.
Pembelinya adalah warga beberapa desa
di Kabupaten Tuban. Mereka memperoleh ganti untung dari tanah yang terkena
proyek pembangunan kilang pengolahan minyak Pertamina, bekerja sama dengan
Rosneft Rusia. Proyek kilang Tuban strategis bagi
pemenuhan kebutuhan energi nasional, sebab akan memberi tambahan pasokan
kebutuhan BBM, LPG, dan petrokimia berkualitas untuk konsumsi dalam negeri.
Sampai saat ini, kebutuhan BBM Indonesia masih tergantung impor yang
berpotensi membahayakan stabilitas
energi dan aspek-aspek lanjutannya. Ada tiga desa yang terkena dampak langsung
pembangunan kilang Tuban, yaitu Desa Wadung, Desa Kali Untu, dan Desa Sumurgeneng.
Beberapa warga semula menolak menjual tanahnya, tetapi akhirnya menerima
begitu tahu kompensasi ganti untung
mencapai miliaran rupiah. Ratusan kepala keluarga menjadi orang kaya baru,
sampai-sampai desanya pun punya sebutan baru ”Desa Miliarder”. Mobilitas
vertikal dan kesejahteraan semu Saat menerima uang dalam jumlah besar,
warga umumnya memaknai sebagai kesempatan mobilitas vertikal dengan
mengonsumsi simbol-simbol yang merepresentasikan kalangan menengah ke atas. Kuatnya penetrasi industri otomotif mampu
membangun persepsi di masyarakat bahwa mobil bukan lagi sekadar alat
transportasi, melainkan juga simbol kesejahteraan dan status sosial. Wajar
jika pilihan mobil-mobil yang dibeli warga pun tergolong mobil mewah, bisa
jadi untuk menunjukkan bahwa mereka
bukan lagi ”orang biasa”. Namun, mobilitas vertikal seperti ini
sangat rentan apabila tidak ada pendampingan sosial. Tanpa disadari, banyak
yang sebenarnya tengah mengalami kesejahteraan semu, tidak terjamin
keberlanjutannya. Mereka telah kehilangan tanahnya, aset
utama penopang keberlanjutan penghidupan. Padahal, desa-desa tersebut
merupakan wilayah pertanian sehingga lahan pertanian merupakan modal utama
untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga tani. Apa yang harus mereka lakukan jika modal utama
sudah hilang? Bagaimana sebaiknya mereka mengelola keuangannya—termasuk
merintis usaha baru di luar sektor pertanian yang butuh proses yang
panjang—agar tumbuh dan berkembang? Persoalan ternyata tidak terhenti pada
petani penjual lahan pertanian. Karakteristik petani di Indonesia yang banyak
terdiri dari petani penggarap dan buruh tani membawa dampak lain. Jika petani penjual lahan masih punya
kesempatan alih profesi, lain halnya dengan penggarap dan buruh yang
sepenuhnya kehilangan mata pencarian. Mereka sulit untuk pindah profesi
karena tiadanya modal. Pandemi saat ini semakin mempersulit akses karena
banyak sektor justru mengurangi tenaga kerjanya. Amdal
sosial dan riset aksi Fenomena di Tuban ini menunjukkan cara
pandang yang keliru dalam pengembangan kawasan industri di Indonesia. Amdal
(analisis mengenai dampak lingkungan) cenderung mencakup aspek lingkungan
fisik saja, tetapi miskin kajian tentang dampak sosial. Akibatnya, solusi
yang diberikan untuk meminimalisasi dampak sosial juga bersifat parsial dan
pragmatis. Jika dampak sosial bagi petani adalah
kehilangan lahan pertanian, solusi yang diberikan pun dengan memberi
kompensasi yang layak atas lahan tersebut. Tanpa upaya lebih lanjut dalam
konteks yang lebih luas tentang keberlanjutan penghidupan mereka dan
pihak-pihak lain yang berkaitan dengan keberadaan lahan tersebut. Aspek sosial dalam amdal, jika dilakukan
secara serius, akan mampu memberi pemetaan sosial yang menyangkut analisis
potensi penghidupan, analisis aktor, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Dari hasil pemetaan sosial dirumuskan beragam program sebagai
realisasi tanggung jawab sosial perusahaan. Mengiringi kompensasi finansial,
Pertamina-Rosneft sebenarnya membuat program pelatihan kepada warga desa
untuk penguatan ekonomi dan pengelolaan uang agar tidak konsumtif. Namun,
dalam perspektif pemberdayaan masyarakat, pelatihan yang pada umumnya hanya
dilakukan beberapa jam atau hari, baru merupakan bagian kecil dari strategi
untuk mencapai kemandirian. Dibutuhkan pendampingan atau fasilitasi
untuk mengawal tindak lanjut dari hasil pelatihan, di mana hari demi hari dan
tahap demi tahap para community development officer dari Pertamina-Rosneft
tumbuh berkembang bersama warga serta membangun kerja berjaringan lintas
stakeholder. Dengan demikian, program-program untuk
masyarakat harus dilakukan sejak awal, tidak menunggu setelah kilang/industri
beroperasi. Kekurangan ini rupanya telah disadari oleh Presiden Direktur PT
Pertamina-Rosneft. Pengolahan dan Petrokimia yang akan bekerja
sama dengan pihak ketiga untuk melakukan riset dan pemetaan kondisi warga
dalam rangka membangun cetak biru CSR (tanggung jawab sosial perusahaan)
berbasis kearifan lokal (Kompas, 19 Februari 2021). Semestinya, kajian sudah dilakukan jauh
hari sebelum proyek dimulai dan dana kompensasi diberikan. Tetapi, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Hal yang harus dipastikan adalah kajian
tidak hanya berhenti di kajian, tetapi menjadi aksi nyata pengembangan untuk
pemberdayaan masyarakat. Riset aksi (action reseacrh) bisa menjadi alternatif
metode kajiannya. Permen
LHK Nomor 1 Tahun 2021 Sebagai upaya mendorong perusahaan di
Indonesia beroperasi dengan mengedepankan kelestarian lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
merumuskan Permen tentang Proper (Program Penilaian Kinerja Pengelolaan
Lingkungan). Proper telah berlangsung puluhan tahun dan
dari waktu ke waktu terus diperbarui kriterianya sesuai dengan perkembangan
zaman. Proper saat ini mampu menjadi rujukan sekaligus pemacu perusahaan di
Indonesia untuk mengembangkan kinerja pengelolaan lingkungan dan sosial. Salah satu kriteria dalam Proper berkaitan
dengan tanggung jawab sosial agar perusahaan memiliki kepedulian terhadap pencapaian
kesejahteraan masyarakat, sekaligus
menjamin pertumbuhan ekonomi yang menjadi tujuan juga dinikmati oleh
masyarakat sebagai bagian dari shareholder. Proper bisa menjadi panduan dalam tata
kelola program CSR yang berorientasi pada pemberdayaan melalui inovasi sosial
yang mengoptimalkan potensi lokal sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dan
pemecahan masalah sosial. Dengan cara ini, cita-cita untuk mewujudkan
rakyat yang sejahtera dalam kerangka pluralisme kesejahteraan (welfare
pluralism) melalui kolaborasi peran pemerintah, swasta, dan masyarakat akan
menjadi keniscayaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar