Selasa, 09 Maret 2021

 

Bahaya Politik Plutokrasi terhadap Demokrasi

 Biyanto ; Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

                                                        KOMPAS, 08 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam suatu kegiatan ceramah keagamaan, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti pernah berseloroh dengan mengatakan bahwa untuk mengikuti pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah, Anda boleh bermodal popularitas, kapasitas, bahkan integritas. Namun, semua modal itu akan kurang berarti jika Anda tidak memiliki ”isi tas” alias ”bergizi tinggi”. Faktor ”isi tas” atau ”bergizi” penting dimiliki setiap calon untuk mengikuti kontestasi politik dalam pemilu.

 

Candaan Abdul Mu’ti terasa benar jika kita mengamati praktik politik dalam setiap pemilu. Praktik politik uang (money politics) dalam berbagai ekspresi juga terjadi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Sebagian calon kepala daerah minta supaya pemberian sesuatu kepada masyarakat tidak disebut politik uang, melainkan ”sedekah politik”.

 

Ungkapan ini sekadar memperhalus istilah sehingga bernuansa religius. Mereka juga mengatakan pemberian itu dilakukan secara ”ikhlas”. Dengan cara itu, mereka berharap apa yang dilakukan tidak dikategorikan politik uang.

 

Praktik politik uang yang dibungkus dalam berbagai modus menjadikan biaya politik sangat tinggi (high cost). Sejumlah calon kepala daerah mengeluhkan besaran dana yang harus disiapkan untuk running dalam pilkada serentak. Apalagi pilkada diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19.

 

Kondisi ekonomi rakyat yang memburuk akibat dampak pandemi menjadikan budaya politik transaksional marak terjadi. Pada konteks inilah faktor ”isi tas” atau ”gizi” dari calon kepala daerah menjadi sangat menentukan.

 

Karena biaya politik sangat tinggi, tidak semua orang dapat mengikuti kontestasi di legislatif dan eksekutif. Tidak berlebihan jika ada pesan bernada kritik sosial agar orang miskin tidak mencoba-coba masuk ke gelanggang politik. Hal itu karena ongkos politik yang harus ditanggung sangat tinggi.

 

Disertasi Pramono Anung berjudul ”Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen” (2013) seakan mengafirmasi besaran ongkos politik yang harus ditanggung calon anggota legislatif (caleg). Dalam karya itu, Pramono menyatakan bahwa kebutuhan seorang caleg DPR untuk running pada Pemilu 2009 bisa mencapai Rp 20 miliar.

 

Jika pada 2009 ongkos politik untuk nyaleg sudah begitu tinggi, pertanyaannya: berapa anggaran yang dibutuhkan seorang caleg DPR dalam pemilu 2014 dan 2019? Pertanyaan senada juga bisa diajukan kepada calon kepala daerah yang maju dalam pilkada serentak lalu.

 

Pada konteks itulah dapat dipahami jika caleg atau pasangan calon yang maju dalam pilkada umumnya merupakan figur-figur populer dan ”bergizi”. Mereka bisa berasal dari politisi mapan, pengusaha, artis, hartawan, dan tokoh-tokoh informal di masyarakat. Sepanjang era reformasi, calon anggota legislatif dan eksekutif yang populer lagi bergizi juga sangat dominan.

 

Dampaknya, kader partai yang telah berpeluh keringat harus tersisih karena kalah bersaing dengan pendatang baru yang lebih populer dan bergizi. Kecenderungan partai untuk merekrut caleg dari nonkader yang populer dan bergizi jelas menyisakan pertanyaan. Ironinya, fenomena itu tidak hanya terjadi dalam penentuan caleg. Pengusungan figur nonkader dalam pilkada, seperti dalam pilkada serentak lalu, juga terjadi.

 

Dalam kondisi budaya politik itulah publik mempertanyakan sistem pengaderan partai. Padahal, partai sejatinya memiliki tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi. Apalagi pemerintah juga memberikan anggaran untuk kaderisasi politik. Harapannya, pada saat pemilu legislatif, pilkada, bahkan pemilihan presiden, partai tidak kekurangan kader.

 

Semangat partai mengusung figur nonkader dalam pencalegan dan pilkada dengan pertimbangan popularitas dan ”gizi” pada saatnya dapat mengancam sistem demokrasi. Sebab, lembaga-lembaga publik di legislatif dan eksekutif akan dikuasai kelompok elite dan hartawan. Persoalan menjadi semakin kompleks jika mereka tidak memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik. Mereka hanya mengandalkan popularitas dan gizi.

 

Kekhawatiran terhadap kondisi politik yang didominasi kelompok elite dan hartawan pernah dikemukakan Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy; A Political History of the American Rich (2002). Dalam karya itu, Kevin menegaskan bahwa kini ada kecenderungan rezim politik dan kekuasaan digerakkan oleh kelompok orang kaya.

 

Rezim politik dan kekuasaan pun dibangun dengan menggunakan logika the rule of the rich. Keberlangsungan suatu rezim didasarkan pada keinginan orang-orang kaya. Logika the rule of the rich meniscayakan bahwa orang yang tidak memiliki uang tidak boleh bermimpi menjadi pejabat publik.

 

Praktik politik yang mengandalkan kekuatan uang disebut Kevin sebagai budaya plutokrasi. Dalam bahasa Yunani, kata plutokrasi terdiri atas ploutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan).

 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa plutokrasi merujuk pada sistem pemerintahan yang digerakkan kelompok elite lagi berharta. Kelompok ini membentuk budaya serba uang dalam menyelesaikan semua urusan, termasuk politik, kekuasaan, dan hukum.

 

Jika mengamati dinamika politik di negeri tercinta, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah politik kita telah diwarnai budaya plutokrasi. Budaya politik plutokrasi semakin melapangkan jalan bagi pemilik modal untuk menjadi pejabat publik.

 

Budaya politik serba uang dapat mengakibatkan calon yang sukses meraih kekuasaan mengalami disorientasi. Hampir dapat dipastikan bahwa yang pertama dipikirkan tatkala kekuasaan di tangan adalah mengembalikan modal secepat mungkin.

 

Persoalan pemenuhan janji saat berkampanye dapat diabaikan selama modal belum kembali. Bermula dari pola pikir inilah budaya koruptif dan kolutif marak terjadi di lembaga-lembaga publik. Karena itu, jangan heran jika publik terus disuguhi berita operasi tangkap tangan pejabat negara atau pejabat daerah yang diduga melakukan korupsi dengan berbagai ekspresinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar