MCA
dan Ancaman Kohesivitas Kebangsaan
Arwani Thomafi ; Ketua Fraksi PPP MPR;
Anggota Komisi I DPR
|
DETIKNEWS,
05 Maret
2018
Langkah Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) mengungkap Muslim Cyber Army (MCA), kelompok penyebar
berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech), harus diapresiasi
setinggi-tingginya. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, kita terlilit
dalam paparan berita palsu dan informasi bohong, yang mengakibatkan ikatan
kebangsaan sesama warga bangsa menjadi terkoyak dan tidak mustahil akan
robek.
Upaya Polri mengungkap sindikasi
jejaring bisnis ujaran kebencian ini juga memberi pesan tentang
efektivitasnya regulasi yang telah dibahas bersama-sama antara DPR dan
Pemerintah dengan keberadaan UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No
13 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Regulasi yang merupakan substansi
hukum (legal substance) secara determinan harus didukung dengan struktur
hukum (legal structure) yang terdiri dari aparat penegak hukum dan aparat
pemerintah. Kesigapan aparat penegak hukum juga harus didukung dengan
infrastruktur yang cakap untuk menunjang upaya penegakan terhadap norma yang
terkandung dalam susbtansi hukum tersebut.
Selain kedua hal tersebut,
sebagaimana yang diintrodusir Lawrence M Friedman (1975), yang tak kalah
penting untuk menciptakan sistem hukum yang ajeg adalah budaya hukum (legal
culture). Budaya hukum bisa muncul dari kutub masyarakat maupun aparat
penegak hukum.
Dalam konteks ini, bermedia sosial
dengan berpijak pada moralitas atau akhlak yang baik harus senantiasa
disebarkan ke khalayak untuk memastikan ranah media siber kita bersih dari
rasa benci satu dengan lainnya. Lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
lembaga formal pemerintahan dapat saling bahu membahu untuk memastikan anak
didik serta masyarakat luas dapat menggunakan saluran new media itu dengan
baik dan benar.
Bila sistem hukum dalam media
sosial telah terbentuk dengan baik, dengan sendirinya ancaman semacam
Saracen, MCA dan sejenisnya dapat mudah ditangkal. Pekerjaan untuk
membersihkan ruang media sosial jauh lebih mudah daripada kebijakan hit and
run, yang sarat dengan tindakan reaktif daripada kebijakan preventif yang berbasis
edukasi.
Ancaman
di Tahun Politik
Persoalan ujaran kebencian dan
paparan berita bohong di media sosial menemukan momentumnya bila disandingkan
dengan situasi kontestasi politik seperti pilkada serentak di 171 daerah
maupun pemilihan umum (pemilu) di 2019 mendatang. Kondisi ini jelas menjadi
ancaman serius dalam mewujudkan iklim politik yang kondusif dan sejuk.
Kontestasi politik melalui pilkada
dan pemilu semestinya menjadi pesta rakyat yang dilakukan dengan kegembiraan.
Hajatan politik yang merupakan implementasi politik dari rakyat untuk rakyat
yang semestinya menjadi ajang udar gagasan antarkontestan. Pasar gagasan yang
terwadahi secara formal melalui pilkada dan pemilu ini secara linier harus
menghasilkan produk yang berkualitas dan cara yang beradab.
Salah satu tantangan berat dalam
mewujudkan peradaban politik yang luhur yakni menjadikan media sosial, selain
juga media konvensional, sebagai wadah untuk menyebarkan gagasan dan ide
kepada khalayak. Keberadaan informasi dan teknologi ini harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk mendorong keterlibatan publik dalam proses politik.
Namun, tidak sedikit juga terdapat
pihak-pihak yang menjadikan media sosial sebagai alat untuk propaganda
politik hitam (black campaign) yang bertujuan menjatuhkan pihak lawan. Media
sosial juga tak jarang dijadikan ajang persemaian kebencian berbasis suku,
agama, dan ras (SARA). Situasi tersebut, dapat dilihat di berbagai saluran
media sosial kita.
Realitas ini tentu harus dijadikan
bahan penting bagi perumus kebijakan serta penegak aturan khususnya bagi
penyelenggara pemilu dalam menghadapi kontestasi yang dalam waktu dekat ini
akan berlangsung yakni pilkada serentak dan Pemilu 2019.
Penyelenggara pemilu baik KPU
maupun Bawaslu harus merumuskan secara rigid aturan main atas tindakan
penggunaan media sosial sebagai alat untuk pembusukan politik lawan. Secara
substansial, tindakan tersebut bisa dikategorikan dalam pidana pemilu yang
ancaman sanksinya cukup berat. Upaya ini penting sebagai bentuk sikap tegas
kita sebagai bangsa untuk menghadirkan politik di ruang yang terhormat dan
beradab.
Adab
Media Sosial
Tantangan berat di era masifnya
perkembangan informasi dan teknologi saat ini menjadikan ruang di dunia maya
itu tetap mencerminkan nilai-nilai kebangsaan yang berbasiskan nilai
Pancasila. Bijak dalam penggunaan media sosial harus senantiasa muncul sejak
di pikiran para pengguna warga internet (netizen).
Instrumen untuk mewujudkan
peradaban di media sosial telah diikhtiarkan oleh berbagai pihak seperti
negara melalui instrumen peraturan perundang-undangan, seperti Surat Edaran
No SE/06/X/2015 tentang larangan ujaran kebencian (hate speech), UU No 19
Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Di samping itu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga mengeluarkan Fatwa No 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermuamalah di Media Sosial. Isinya larangan di ranah media sosial
(digital) sebagai medium penyebaran berita palsu, fitnah, dan adu domba.
Peran berbagai stakeholder dalam
mewujudkan ruang dunia maya yang sejuk dan berakhlak cukup dibutuhkan untuk
memastikan para pengguna media sosial bersikap arif dan bijak. Lebih dari
itu, penanaman pemahaman tentang etika bermedia sosial juga cukup penting
diberikan kepada kelompok generasi milineal. Di kelompok ini, jumlahnya cukup
banyak dan cukup signifikan menentukan hitam-putihnya wajah media sosial
kita.
Pemahaman terhadap etika bermedia
sosial tak lain merupakan cerminan dari komunikasi yang berbasiskan kesamaan
pandang dalam melihat pihak lainnya, kendati berbeda dalam pilihan politik
maupun cara pandang atas suatu persoalan. Hakikat Indonesia yang beragam dari
sisi etnis, agama dan budaya semestinya sudah inheren dalam alam nalar kita
sebagai anak bangsa.
Jika realitas ini dipahami dengan
baik serta ditopang dengan pemahaman adab yang baik dalam berselancar di
media sosial, secara simultan kita telah membuat peradaban yang luhur di
ruang media sosial. Peradaban itu bila dikonversikan berbuah dengan budaya
hukum yang beradab. Jika budaya hukum telah terbentuk, ancaman seperti
Saracen, MCA dan sejenisnya akan dengan sendirinya mudah ditangkal. Ini
pekerjaan yang harus dipikul bersama-sama seluruh stakeholder. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar