Menurunnya
Kualitas Demokrasi
Rizqi Bachtiar ; Peneliti; Pengajar Administrasi Publik di Universitas
Terbuka Malang; Alumnus MPA University of Birmingham-UK
|
DETIKNEWS,
05 Maret
2018
Indeks Demokrasi terbaru yang
dirilis oleh divisi riset The Economist mengungkapkan data yang menarik.
Secara umum, di tahun 2017 kualitas demokrasi di dunia mengalami kemunduran.
Dalam skala 0-10, skor rata-rata negara yang masuk dalam Indeks Demokrasi
2017 menurun, dari 5,52 pada 2016 menjadi 5,48. Negara-negara yang mengalami
penurunan skor terdiri dari 89 negara, tiga kali lebih banyak daripada
negara-negara yang mengalami kenaikan skor, yaitu 27.
Tim riset dari The Economist
menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas
demokrasi dunia tahun 2017. Namun, ada dua hal utama yang secara umum
menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara. Pertama,
kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara
mereka tinggal. Dalam praktiknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa
yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya pelayanan publik yang
baik, kebebasan pers dan berpendapat. Hal tersebut yang pada akhirnya
menimbulkan kekecewaan pada implementasi demokrasi. Puncaknya, kekecewaan itu
dicerminkan dalam pemilihan umum.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa
(Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat
menjadi contoh nyata adanya kekecewaan masyarakat terhadap status quo
sehingga menginginkan perubahan. Nyatanya, terpilihnya Donald Trump sebagai
Presiden Amerika Serikat justru menjadi salah satu penyebab turunnya skor
Indeks Demokrasi di negara tersebut. Bahkan banyak pihak menyatakan
terpilihnya Donald Trump sebagai salah satu indikator bahwa liberal democracy
di negara Barat perlahan mulai runtuh dengan munculnya benih illiberal
democracy.
Kedua, terabaikannya hak-hak asasi
manusia dalam sebuah negara juga sangat berpengaruh terhadap kualitas
demokrasi. Ambil contoh, tren menurunnya kebebasan berpendapat dan
berekspresi di berbagai negara. Berdasarkan The Media Freedom Index, dari 167
negara yang diteliti, hanya 30 negara yang benar-benar menunjung tinggi
kebebasan berpendapat (fully free). Dikeluarkannya banyak aturan terkait
pembatasan berekspresi, bahkan peraturan-peraturan yang membuat pejabat
seakan menjadi kebal hukum dan terkesan jauh dari rakyat menjadikan banyak
negara perlu membenahi ulang konsep demokrasi mereka.
Suriah adalah satu contoh negara
yang pada akhirnya terjerembab dalam benang kusut. Walaupun dalam setiap
kesempatan pihak pro-pemerintah meyakinkan kita semua bahwa peperangan yang
terjadi adalah dalam rangka menumpas teroris, dalam kenyataanya yang menjadi
sasaran adalah masyarakat sipil; lebih tepatnya masyarakat kontra pemerintah.
Padahal orang-orang yang kontra pemerintah belum tentu seorang teroris.
Uraian tersebut yang kemudian menjadi cerminan bahwa Indeks Demokrasi Suriah
adalah salah satu yang terburuk dari negara-negara yang diteliti.
Penentuan skor Indeks Demokrasi
itu sendiri didasarkan pada lima kategori, yaitu proses pemilihan umum dan
pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan
budaya politik. Berdasarkan pada kategori tersebut, masing-masing negara
kemudian diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat jenis rezim:
demokrasi penuh (full democracy), demokrasi yang cacat (flawed democracy),
rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime).
Jika Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal sebagai kiblatnya demokrasi
terjerembab ke flawed democracy, lantas bagaimana dengan Indonesia?
Dalam pemeringkatan Indeks
Demokrasi terbaru, Indonesia berada di peringkat 68 dari 167 negara yang
diteliti. Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di
peringkat 43. Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang
terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada
2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39
pada 2017. Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya peringkat Indeks
Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah di DKI Jakarta
yang banyak sekali dinamikanya.
Dilihat dari klasifikasi rezim,
Indonesia termasuk dalam flawed democracy. Secara umum flawed democracy dalam
sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta
menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang
signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat
partisipasi politik. Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada
pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik
di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus
terabaikan.
Contoh terbaru adalah revisi
Undang-Undang MD3 yang disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat
sipil dan menjadikan elite politik di dalam pemerintahan kebal hukum.
Padahal, disahkannya peraturan yang sangat banyak dan detail mengenai
hate-speech atau pencemaran nama baik justru berpotensi membatasi hak
kebebasan berpendapat. Pembatasan kebebasan berpendapat itulah yang kemudian
tercermin dalam Media Freedom Index, di mana Indonesia termasuk dalam
kategori negara yang sangat tidak bebas (largely unfree).
Memang banyak ahli yang
berpendapat bahwa di alam demokrasi, terlalu banyak aturan menjadikan negara
sebagai sebuah tirani. Namun tidak adanya peraturan yang mengatur dan
membatasi tingkah laku masyarakatnya justru menjadikan kekacauan masyarakat. Oleh
karena itu dibutuhkan kejelian para elite di Indonesia dalam menumbuhkan
iklim demokratis. Sangat disayangkan jika Indonesia semakin terpuruk dalam
berdemokrasi mengingat semangat berdemokrasi itulah yang menjadi pelecut
runtuhnya rezim Orde Baru menuju era Reformasi.
Di awal era Reformasi, Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara dengan perkembangan demokrasi paling pesat
di dunia. Sistem yang terlalu sentralistik dan tertutup di era Orde Baru
langsung diubah menjadi sistem desentralisasi dan terbuka yang pada akhirnya
rakyat Indonesia berhak memilih wakilnya untuk menjadi pimpinan eksekutif dan
legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Masih ada waktu untuk Indonesia
berbenah. Amerika Serikat dan Inggris Raya saja butuh ratusan tahun untuk
mendewasakan iklim demokrasinya. Namun jika elite politik di Indonesia tidak
ada niatan berubah, kepada siapa lagi kita berharap? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar