Putusan
yang Kompromistis
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Fakultas Hukum UGM;
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM
|
KOMPAS,
12 Februari
2018
Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang hak angket DPR terhadap KPK telah dibacakan. Pasal yang
diuji sesungguhnya adalah pasal tentang angket di UU MD3 yang bolehkah
ditafsirkan DPR dapat melakukan angket kepada lembaga yang menjalankan UU di
luar eksekutif.
Putusan MK itu tidak
aklamasi. Lima hakim berpendapat DPR dapat melakukan angket terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan empat hakim mengatakan tidak. Ketika
membaca beritanya di berbagai media, di grup Whatsapp (WA), beberapa guru
besar hukum memberikan pernyataan keanehan besar terhadap putusan MK ini.
Bahkan, pada titik tertentu dapat dikatakan MK makin sering melangkah
berderap, kelihatan gagah, tetapi ke arah yang keliru.
Putusan
aneh
Dalam batas penalaran
hukum, putusan MK kali ini dapat dikatakan amat aneh. Semua argumen MK dalam
putusan ini dibangun dengan kaki yang rapuh, yakni perihal KPK adalah
memiliki bagian dari fungsi eksekutif oleh karena mengambil dari logika KPK
adalah lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada
di ranah eksekutif. Karena kejaksaan dan kepolisian adalah bagian dari
eksekutif, KPK pun sesungguhnya menjalankan fungsi eksekutif. Dan, karena
menjalankan fungsi eksekutif, maka menjadi bagian dari obyek pengawasan DPR
dalam bentuk angket. Obyek pengawasan DPR ini berada pada ranah yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan yang selain pelaksanaan
tugas dan kewenangan di wilayah yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan).
Logika putusan MK di atas
jelas aneh. Pertama, terlihat kontradiksi dalam pandangan mereka sendiri. MK
mengatakan pintu masuk untuk melihat KPK sebagai eksekutif adalah karena KPK
menjalankan tugas-tugas penanganan perkara korupsi (penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan) sebagaimana kejaksaan dan kepolisian. Namun, MK kemudian
mengatakan untuk hal ini dikecualikan dari pelaksanaan pengawasan DPR. Ini jelas membingungkan! Karena asal-muasal
ke-eksekutif-an KPK berasal dari penyamaan KPK dengan kejaksaan dan
kepolisian serta fungsi- fungsinya yang menyelidiki, menyidik, dan menuntut,
tetapi kemudian terkhusus pelaksanaan fungsi itu dikecualikan dalam obyek
pengawasan DPR.
Maka, pertanyaannya
mungkin bisa dibalik, apanya dari KPK yang boleh di-angket? Mengikuti logika
MK: selain dari fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pertanyaan akan
kembali terulang, berarti yang mana yang bisa diangket? Batasannya apa?
Apakah pada dokumen penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ataukah termasuk
info mekanismenya? Apakah DPR boleh masuk merevisi cara KPK menentukan
tersangka misalnya? Cara berpikir seperti itu akan menimbulkan ”saling klaim”
nantinya. Atau penentuan gratifikasi, apakah ranah yang bisa diawasi oleh DPR
atau itu bagian dari fungsi yudisialnya KPK yang menurut putusan MK tak boleh
disentuh? Bisa jadi obyek yang dianggap bagian dari pengawasan oleh DPR malah
oleh KPK dianggap bagian dari fungsi yudisial. Alias putusan ini hampir tidak
membawa dampak besar terhadap penyelesaian sengkarut substansi debat antara
DPR dan KPK.
Kedua, logika menyamakan
KPK dengan kejaksaan dan kepolisian tentu jadi keliru kalau kemudian
dibingkai ke dalam konsep eksekutif. Kejaksaan dan kepolisian memang sangat
berbau eksekutif jika didasarkan juga pada pengisian jabatannya. Kapolri dan
Jaksa Agung memang berada pada wilayah pemilihan eksekutif. Hal yang sangat
berbeda dengan KPK yang sangat independen dan bebas dari pengaruh cabang mana
pun, terkhusus eksekutif. Makna terkhusus eksekutif ini memang karena logika
lahirnya lembaga negara independen berbeda dengan lahirnya lembaga kejaksaan
dan kepolisian. Lembaga independen lahir dari ketakpercayaan pada lembaga
lama, terkhusus eksekutif, maka diindependenkan. Kejaksaan dan kepolisian
tidak lahir dalam kondisi begitu. Itulah makin memperjelas rapuhnya pendapat
MK di balik menyamakan KPK dengan ke-eksekutif-an kejaksaan dan kepolisian.
Ketiga, MK seakan-akan
lupa bahwa bukan hanya KPK, semua lembaga negara independen ada bau
eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya. Maka, bagaimana membedakan KPK hanya
boleh diangket karena dia eksekutif (kecuali fungsi yudisialnya) dengan
lembaga negara independen lainnya yang memang banyak menyelenggarakan fungsi
eksekutif seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS)? Apakah untuk lembaga ini bisa diangket secara keseluruhan?
Keempat, putusan ini seperti
”menjilat ludah sendiri”. Melalui beberapa putusan sebelumnya, MK telah
mendeklarasikan konsepsi KPK di dalam sistem ketatanegaraan: KPK sebagai
lembaga negara yang indepeden serta memiliki kualitas constitutional
importance. Bahkan, sudah ditegaskan secara prinsip bahwa KPK adalah lembaga
negara independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun dan
mempunyai kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan serta supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang
dilakukan institusi negara yang lain.
Pertanyaannya adalah
mengapa tiba-tiba MK seakan alpa dengan logika yang telah pernah dibangun
dalam putusan terdahulu ini? Tentu saya tidak bermaksud untuk mengatakan
bahwa MK haram untuk berubah. Tidak bermaksud memvonis MK tidak boleh
menegasikan putusan terdahulunya. Apalagi konstitusionalisme itu dipercayai
hidup dalam langgam living constitutionalism, mengikuti zaman yang
berkembang. Akan tetapi, apa penjelasan MK soal perubahan ini? Tidak ada sama
sekali! Inilah yang membingungkan. Seharusnya MK menjelaskan mengapa dulu
berpandangan begini dan mengapa kali ini berubah pandang. Mengapa dulu
menyetarakan KPK dalam lembaga yudikasi dan sekarang malah masuk fungsi
eksekutif.
Belakangan MK memiliki
penyakit alpa seperti ini. Mirip ketika perdebatan yang heboh tentang
perluasan makna pasal di KUHP tentang zina. Yang hanya berselang beberapa
tahun sebelumnya MK keukeuh secara aklamasi menyatakan bahwa tidak boleh
melakukan perluasan makna tafsiran aturan pidana, tetapi tiba-tiba terdapat
empat hakim yang berbelok dan menyatakan boleh diluaskan makna aturan pasal
pidana tentang zina.
Maka, kita selaku publik
yang belajar hukum akan bertanya kepada hakim-hakim tersebut, pandangan mana
yang mengikat? Yang terdahulu atau yang sekarang? Luar biasanya lagi tidak
ada penjelasan soal mengapa berubah. Hari ini tempe dan besok tahu
seakan-akan hal yang biasa. Ataukah jangan-jangan mereka sedang mengatakan
bahwa kami sebagai hakim yang beraliran pragmatis saja terhadap persoalan
hukum?
Cara MK memutus dengan
begini itulah yang mengagregasi pertanyaan yang lebih besar. Apakah MK sedang
kompromistis saja melalui putusan ini? Tidak menegasikan pandangan para
politisi DPR tentang angket, tetapi juga masih mau kelihatan gagah dengan
menjaga marwah kewenangan yudisialnya KPK sehingga tidak bisa dicampuri.
Padahal, seperti yang dituliskan di atas, cara begitu malah melanggengkan
sengkarut DPR dan KPK, khususnya soal apa yang boleh dan tidak boleh
di-angket oleh DPR.
Implikasi
Kita semua paham putusan
MK mengikat setelah dibacakan. Akan tetapi, putusan ini akan membawa
implikasi yang tidak kecil dan sangat harus dibincangkan sedari awal.
Terutama tentu pada
pelaksanaan hak angket itu sendiri. Jika ditilik pada konsep, pada dasarnya,
hak angket disebut langsung dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945, yakni ”Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi,
hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Sejarah mencatat, logika yang sama
ada dalam UUD RIS dan UUDS 1950. Semua sebenarnya ada pada logika angket itu
ke pemerintah saja. Perdebatan terjadi akibat Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 yang ada
frasa ”pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah”.
Melalui putusan MK ini MK mengatakan makna pemerintah tersebut termasuk
fungsi eksekutif KPK. Karena itu, di ujungnya terdapat rekomendasi perbaikan
yang jika tidak dijalankan bisa menjadi pintu masuk ke hak menyatakan
pendapat.
Di sinilah implikasi
membingungkan itu menjadi terejawantah. Karena di ujung angket adalah
rekomendasi dan dalam kasus KPK rekomendasi akan ke arah mana? Apakah ke KPK
atau ke pemerintah secara keseluruhan? Kalau melihat rancangan rekomendasi
yang beredar ke publik, beberapa waktu lalu, menjadi jamak karena bukan hanya
ke KPK, melainkan juga ke pemerintah. Misalnya, salah satu rekomendasi dari
DPR hasil pansus angket adalah perbaikan perekrutan kepegawaian KPK yang
selama ini diatur dalam peraturan KPK. Tentu melalui putusan MK, DPR dapat
berdalih itu bisa dilakukan karena masih dalam rangka non-yudisial. Jika itu
tidak dilaksanakan oleh KPK, apa yang akan terjadi?
Membingungkannya adalah
relasi antara pemerintah dan KPK. Kita tentu paham bahwa DPR tidak bisa
memaksa KPK secara tegas. Sebab, selain memiliki independensi, juga tidak ada
ancaman hak menyatakan pendapat ke KPK tatkala rekomendasi tidak dijalankan.
Nah, apakah berarti DPR bisa memaksa pemerintah agar menjalankan rekomendasi
terhadap KPK? Bahkan, pertanyaannya, karena KPK disamakan dengan eksekutif,
bisakah presiden memaksa KPK untuk menjalankan suatu hal akibat dari hasil
pengawasan DPR? Jawabannya tentu tidak karena KPK dalam menjalankan fungsinya
bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, termasuk presiden.
Implikasi lainnya adalah
bagaimana nasib lembaga-lembaga negara independen lainnya? Apakah putusan ini
terkhusus untuk KPK? Kelihatannya tidak, oleh karena pasal yang diuji
bukanlah UU KPK, tetapi berkaitan dengan UU MD3. Apakah artinya semua lembaga
negara independen sepanjang menjalankan fungsi yang berbau eksekutif dan
bukan fungsi yudisialnya dapat di-angket oleh DPR? Bagaimana dengan fungsi
lembaga, seperti OJK, LPS, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang
tugas utamanya adalah menjalankan fungsi eksekutif? Apakah berarti mereka
bisa diangket hingga sedetail-detailnya?
Implikasi yang paling
berbahaya dari putusan aneh ini tentu saja adalah tingkat kepercayaan publik
atas MK. Apalagi di tengah isu pelanggaran etik sang ketua MK yang dilempar oleh
salah seorang anggota DPR yang mengakui ketua MK bertemu DPR dan menjanjikan
salah satunya putusan ini sebagai imbalan terpilih kembali. Pertanyaan
semakin membuncah adalah apakah putusan ini lahir dari logika hukum atau
logika politik? Ataukah hanya putusan yang lahir dari kepentingan semata?
Jika putusan ini lahir dari logika politik dan kepentingan semata, maka itu
sama dengan pengkhianatan terhadap khitah MK yang menyelesaikan sengketa
politik secara hukum. ●
|
Prediksi Bola Inter vs Shakhtar Donetsk 18 Agustus 2020 yang akan diselenggarakan langsung tanpa penonton di Stadium Merkur Spiel Arena.
BalasHapusDalam pertemuan kedua tim di Liga Europa kali ini akan di Jadwal Bola Malam Ini pada hari Selasa akan sangat seru untuk melihat siaran Live Gratisan hanya di Streaming Bola Gratis