Kamis, 01 Februari 2018

Transformasi NU untuk Indonesia

Transformasi NU untuk Indonesia
Hery Haryanto Azumi ;  Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); Sekjen PB-MD Hubbul Wathon
                                                   REPUBLIKA, 31 Januari 2018



                                                           
Tanggal 31 Januari 2018 usia Nahdlatul Ulama (NU) menginjak 92 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi muda. Sebagai organisasi yang berdiri hampir satu abad, kiprah NU dalam mengawal NKRI tentu tak dapat dibantah.

Kiprah tersebut bahkan tertoreh dalam tinta emas, mulai dari perjuangan prakemerdekaan hingga sekarang. Namun, seiring berjalannya waktu, kiprah NU tampak mengalami 'penyempitan gerak'.

Semangat kebangkitan bangsa (nahdlatul wathan), kebangkitan ekonomi (nahdlatut tujjar), dan kebangkitan pemikiran (tashwirul afkar), yang merupakan pilar berdirinya NU, kini mulai terdengar sayup-sayup.

Secara internal, generasi muda NU bahkan seperti mengalami 'stagnasi pemikiran'. Pada saat yang sama, kita juga belum menemukan visi besar generasi muda NU, terkait bagaimana peran dan kontribusi NU terhadap Indonesia dalam konteks percaturan global. Diskursus inilah yang tampaknya perlu diangkat sebagai sebuah refleksi dan otokritik peran strategis NU menjelang satu abad usianya.

Transformasi NU

Tentu kita tidak ingin hanya mengutuk kegelapan tanpa menyalakan lilin. Sebagai organisasi yang lahir atas semangat cinta Tanah Air (hubbul wathon), NU perlu segera melakukan apa yang disebut 'transformasi'.

Mengutip Piort Stomka (2007), transformasi berarti mengubah suatu kondisi dan sifat tertentu menjadi kondisi atau sifat yang lain. Perubahan dalam transformasi dapat terjadi melalui proses alamiah atau disengaja. Dalam konteks NU, transformasi dapat diwujudkan dalam dua hal. Pertama, melakukan perubahan paradigma di kalangan generasi muda NU.

Perubahan paradigma urgen karena dalam dimensi gelombang peradaban manusia, meminjam istilah futuris Alvin Toffler (1986), kita saat ini berada pada era informasi, bukan lagi era industri apalagi era bercocok tanam. Artinya, pertarungan pada abad informasi bukan hanya pertarungan teritori dengan menggunakan kekuatan fisik, melainkan pertarungan pemikiran melalui kecerdasan dan penguasaan informasi.

Zaman sudah berubah. Situasi yang berbeda tentu memerlukan pendekatan berbeda pula. Pada era kemerdekaan, NU punya barisan Hisbullah yang dipimpin H Zainul Arifin, Sabilillah yang dipimpin KH Masykur, Mujahidin yang dipimpin KH Wahab Hasbullah yang bertugas menghadapi kekuatan Belanda.

Sekarang NU juga mesti punya 'barisan perang modern' berbaris pada penguasaan teknologi informasi supercanggih dan kekuatan ekonomi umat yang kokoh, dalam rangka melakukan adjustment terhadap pertarungan geopolitik AS ataupun geoekonomi Cina di Asia Pasifik.

Tentunya ini ditujukan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara yang telah disepakati para kiai NU sebagai negara bersama. Kedua, mendobrak stagnasi pemikiran di kalangan generasi muda NU yang terkurung dalam karierisme politik partai.

Dalam konteks ini, saya teringat dengan ramalan Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa pada akhir dekade 1990 terjadi 'bom intelektualisme' NU. Ketika itu para generasi muda NU mengalami 'kegilaan' dalam melahap pemikiran-pemikiran Barat sehingga menimbulkan satu 'ledakan pemikiran', yang oleh Greg Barton disebut sebagai neo-modernisme Islam.

Meskipun neo-modernisme ini kemudian mengental menjadi liberalisme Islam, sebagai sebuah kebangkitan pemikiran, hal itu positif guna mendorong nalar kritis generasi NU.

Tentu dengan prinsip mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti lebih baik (al-muhafadhah alal qadim as sholih wal akhdu bil jadidil ashlah).

Hal ini sangat penting karena penumpukan kader-kader terbaik NU di ruang politik partai menafikan adanya ruang-ruang lain yang tidak kalah pentingnya. Sebagai kelompok yang terbiasa berpikir besar seperti direpresentasikan figur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hendaknya NU mampu berpikir dan bergerak dalam kerangka 'Orde Nasional’ sebagai ruang konsensus bersama.

Sudah semestinya dengan kerangka ini, NU mampu melebarkan eksistensi pengabdiannya di berbagai bidang strategis. Tentunya bukan dalam kerangka hegemoni atau dominasi, tetapi mengutip kata-kata KH Ma’ruf Amin, rais ‘aam PBNU, dalam rangka melindungi nilai-nilai agama (himayatud din) dan wadah bersama yang disepakati, yaitu negara (himayatud daulah).

Kini kita merindukan munculnya kembali 'ledakan pemikiran' di kalangan generasi muda NU. Jika dulu ledakan pemikiran NU memuat diskursus ihwal 'kebangkitan Islam', dalam konteks hari ini, ledakan pemikiran NU dapat berisi bahasan penting bertajuk: Indonesia Emas 2045.

Indonesia Emas 2045 adalah sebuah impian besar tentang Indonesia yang unggul, mampu bersaing dengan negara-negara lain, dan diproyeksikan menjadi salah satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita 47.000 dolar AS.

Ini penting karena tahun 2025-2030, Indonesia akan menghadapi puncak bonus demografi. Sebanyak 70 persen penduduk Indonesia merupakan usia produktif.

NU sebagai organisasi yang memiliki generasi millennial berlimpah, tentu memiliki peran sangat strategis dalam upaya mewujudkan Indonesia emas 2045 tersebut.

Patut disyukuri, saat ini peluang anak-anak muda NU untuk tumbuh semakin luas seiring persebaran mereka secara merata di berbagai fakultas terbaik di negeri ini dan luar negeri. Dilandasi visi keislaman dan kebangsaan yang kuat, plus background pendidikan tersebut, insya Allah kontribusi anak-anak muda NU akan semakin diperhitungkan.

Halakah pemikiran dan gerakan

Karena itu, ke depan NU perlu menghelat 'halakah pemikiran dan gerakan'. Halakah pemikiran dan gerakan adalah suatu forum generasi muda NU yang terdiri atas kaum intelektual, akademisi, pengusaha, teknokrat, budayawan, seniman, penulis/jurnalis, kreator, pimpinan organisasi, dan lainnya.

Halakah ini merupakan ruang bersama untuk mulai menata langkah gerak secara utuh dan saling tersambung. Halakah pemikiran dan gerakan juga merupakan follow up dari gagasan transformasi NU dengan tiga agenda utama.

Pertama, memformulasikan pemikiran dan visi gerakan menghadapi abad kedua NU. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari apa yang disebut kebangkitan pemikiran.

Transformasi ini diarahkan untuk mempersiapkan 100 tahun kedua NU, bukan semata-mata menyambut usia 100 tahun. Inilah sebenarnya yang harus menjadi tongkat estafet keberlanjutan antara generasi abad pertama dan generasi abad kedua.

Kedua, menyusun visi dan strategi besar NU dalam mendorong terwujudnya Indonesia Emas 2045. Ini merupakan bentuk transformasi dari kebangkitan bangsa. Segenap generasi muda NU harus diarahkan kepada kekaryaan produktif bagi terciptanya Indonesia Emas.

Diperlukan suatu guidance yang terstruktur dan dapat menjadi roadmap gerakan ke arah tersebut. Karena itu, anak-anak muda NU harus mengintegrasikan diri sepenuhnya ke dalam sistem nasional sesuai keahlian dan kompetensinya masing-masing.

Secara bertahap dan generatif, kontribusi positif tersebut akan dapat termanifestasikan sesuai dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin.

Ketiga, menyusun gerakan ekonomi umat sebagai bagian dari pengimplementasian kebangkitan ekonomi. Gerakan ekonomi itu dapat dilakukan dengan semangat kerja sama dan sinergi dengan komponen-komponen Orde Nasional yang lain.

Pada era yang terbuka ini, soliditas ekonomi umat dan solidaritas antarkomponen menjadi sama-sama penting. Kekokohan ekonomi umat yang ditopang oleh kerja sama akan menjadi mantra baru kebangkitan ekonomi nasional.

Arus baru ekonomi nasional yang dicanangkan oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang mengedepankan pertumbuhan dari bawah melalui kerja sama para pengusaha besar dan pengusaha kecil, harus disambut baik.

Alih-alih sebagai musuh, pengusaha besar harus didorong sebagai mitra strategis pengusaha kecil. NU yang memiliki Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) dan Himpunan Pengusaha Santri (HIPSI) harus mempercepat munculnya para entrepreneur muda sejak dini.

Ini dilakukan dengan menumbuhkan praktik dan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulum pesantren dan sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan NU. Kita berharap, generasi muda NU hari ini mampu menjadi--meminjam istilah Gramsci--intelektual organik.

Sebab, dalam upaya transformasi ataupun perubahan sosial, pelibatan lapisan kelas terdidik yang solid dan terorganisasi sangat diperlukan. Tentu lompatan terpenting NU adalah bagaimana pada usianya menjelang satu abad ini mampu melakukan transformasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar