Pertumbuhan
Tanpa Akselerasi
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 13 Februari 2017
Badan Pusat
Statistik merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 hanya 5,02 persen.
Kendati meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan 2015 (4,8 persen),
sayangnya tanpa akselerasi. Pasalnya, di samping tak mampu mencapai target
pemerintah (5,2 persen), kualitas pertumbuhan selama 2016 justru semakin
timpang. Sektor yang tumbuh didominasi sektor jasa dan padat modal. Sementara
sektor yang diharapkan mampu mengakselerasi pertumbuhan justru semakin
terpuruk. Sektor yang menghasilkan barang atau sektor tradable kontribusinya
menyusut, tinggal 41,16 persen dalam produk domestik bruto (PDB). Padahal,
sektor ini mampu menciptakan pertumbuhan berkualitas karena memiliki efek
ganda dalam menciptakan nilai tambah produk sekaligus penciptaan lapangan
kerja.
Kinerja sektor
industri pengolahan dan pertanian semakin berada di titik nadir.
Deindustrialisasi dini terus berlanjut, bahkan, pada triwulan IV-2016,
industri pengolahan hanya tumbuh 3,36 persen secara tahunan. Kontribusinya
terhadap PDB juga semakin menyusut, tinggal 20,51 persen. Di negara yang
sukses melakukan industrialisasi biasanya kontribusi sektor industri mencapai
35 persen, baru bergeser ke sektor jasa. Rekor tertinggi kontribusi sektor
industri di Indonesia sebesar 29 persen (2001), setelah itu terus turun.
Padahal,
sektor manufaktur berperan strategis dalam mengakselerasi pertumbuhan
ekonomi. Buktinya, periode 1973-1981, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata
mencapai 7,6 persen karena sektor industri manufaktur tumbuh rata-rata 13
persen.
Sektor
industri jelas berkorelasi nyata terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi
tersebut. Pertumbuhan industri yang tinggi berdampak langsung terhadap
elastisitas kesempatan kerja. Apalagi ketika yang tumbuh cukup besar
disumbang industri padat karya seperti industri tekstil, alas kaki, kulit,
dan elektronik. Ketika industri tumbuh dua angka, maka 1 persen pertumbuhan
ekonomi mampu menyerap sekitar 450.000 orang. Akibatnya, lapangan kerja
sektor formal terbuka cukup luas, alhasil meningkatkan daya beli masyarakat
dan konsumsi rumah tangga cukup tinggi. Tahun 2016, sektor industri menyerap
15,54 juta orang, bertambah hanya 29.000 orang dibandingkan dengan 2015 yang
sebanyak 15,25 juta orang. Wajar jika kini elastisitas pertumbuhan ekonomi
terhadap penciptaan lapangan kerja merosot tajam, tak lebih dari sekitar
130.000 tenaga kerja.
Sayangnya,
minat investor masuk ke sektor industri di era tahun 1980-an yang besar
tersebut tanpa dipandu kebijakan industri yang jelas dan terarah. Industri
yang berkembang dan yang sempat menjadi rising star, seperti industri
tekstil, bisa dikatakan lebih mengikuti permintaan pasar. Pemerintah tidak
memiliki strategi dan cetak biru untuk membangun industri yang memiliki
fondasi dan daya saing kuat. Buktinya, industri yang berkembang lebih banyak
industri berbahan baku impor. Indonesia lupa membangun industri dasar serta
industri yang mampu terintegrasi dari hulu ke hilir. Minat besar investasi
masuk ke sektor pertambangan dibiarkan mengekspor komoditas minerba yang
keluar dari perut bumi. Jika industri dasar yang dibangun, seperti industri
besi, baja, dan aluminium, tentu Indonesia mampu mempercepat industrialisasi
yang sangat kompetitif. Demikian juga jika hilirisasi industri agro tidak
sebatas wacana, niscaya transformasi sektor pertanian menjadi sektor modern
berjalan mulus.
Betul, peran
sektor pertanian telah bergeser. Kontribusi sektor pertanian yang semula
menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB, yaitu 53,9 persen, kini perannya
turun menjadi 16,1 persen. Namun, ironisnya, masyarakat yang bergantung pada
sektor pertanian tidak banyak bergeser, masih lebih dari 34 persen. Kinerja
sektor pertanian juga terus merosot, bahkan pada 2016 hanya mampu tumbuh 3,25
persen dalam setahun. Padahal, dalam dua tahun terakhir subsidi pertanian Rp
100 triliun.
Penurunan
kinerja sektor pertanian berdampak langsung terhadap kinerja sektor industri.
Industri makanan-minuman, yang sempat tumbuh dua angka, pada 2016 hanya
tumbuh 6,26 persen. Padahal, industri makanan dan minuman berkontribusi 33,6
persen terhadap PDB industri. Dukungan sektor pertanian yang melemah juga
meningkatkan defisit neraca perdagangan sektor industri. Tahun 2015 defisit
industri pangan olahan 276,09 juta dollar AS, tetapi pada Januari-November
2016 melonjak menjadi 767,84 juta dollar AS.
Dari ilustrasi
dan perbandingan sederhana itu, tentu banyak pelajaran yang dapat dipetik.
Tercapainya angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja belum cukup untuk
menjaga kesinambungan pembangunan ekonomi. Apalagi dengan angka pertumbuhan
yang terbatas dan tanpa akselerasi. Pertumbuhan sektor tradable yang rendah
menyebabkan momentum untuk mengakselerasi pertumbuhan dan transformasi
struktur ekonomi menjadi hilang.
Dengan demikian, dibutuhkan suatu strategi, terobosan kebijakan,
dan sinergi antar-pemangku kepentingan terkait untuk mengonkretkan program
reindustrialisasi. Untuk itu, pemerintah harus menyamakan visi dan kebijakan
untuk fokus mengembangkan industri yang benar-benar memiliki daya saing dan
fundamen yang kokoh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar