Keinginan
dan Kenyataan
Jakob Sumardjo ;
Budayawan
|
KOMPAS, 13 Februari 2017
Seseorang yang memutuskan sesuatu berdasarkan keinginannya,
bertindak berdasarkan keputusannya itu, dan berubah menjadi sesuatu
berdasarkan tindakannya. (Upanisad)
Ungkapan
seperti itu kemudian terdapat di Jawa dalam bentuk kesatuan ”niat, ilmu,
laku”, dan di Sunda dengan ”tekad, ucap, lampah”. Dalam bentuk kunonya
terdapat kata-kata serupa, baik di Bali maupun Sunda yang berbunyi ”bayu,
sabda, hedap”, hanya terbalik.
Dalam berbagai
kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) belakangan ini banyak calon yang
mengumbar keinginan untuk membuat hidup sejahtera, aman, dan bebas
(berpendapat, beribadah, dan lain-lain). Itulah janji indah. Rakyat di mana
pun menginginkan negaranya hidup seperti itu, bukan hanya di
Indonesia,Jakarta, atau kabupaten mana saja. Akan tetapi, bagaimana caranya?
Selama 72 tahun merdeka, janji-janji semacam itu selalu kita dengar dari para
calon pemimpin, tetapi kenyataannya hujan tak merata. Memang ada yang
sejahtera berlimpah ruah, tetapi mayoritas rakyat hidup dalam musim kering.
Hanya dua
keinginan: keinginan baik dan keinginan jahat. Keinginan baik adalah
mengesampingkan kepentingan diri untuk melayani kepentingan orang lain. Keinginan
jahat adalah memikirkan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan
kepentingan orang lain. Kenyataannya mereka yang pernah menjadi pemimpin
terlihat hidup sejahtera di luar nalar Indonesia. Tidak mungkin hidup dari
gaji pemimpin selama lima tahun, kekayaannya seperti menjabat seratus tahun,
bahkan lebih.
Rakyat sudah
mengenal betul apa yang mereka inginkan, bahkan yang mereka butuhkan dalam
hidup sehari-hari. Kenyataannya musim kemarau terus- menerus menguras
keringat mereka. Yang mereka ingin dengar adalah bagaimana para calon
pemimpin ini membuat hujan merata di seluruh wilayah. Jangan hanya hujan di
kantor-kantor pemerintahan, yang membuat para penghuninya tidur lelap atau
”duduk lupa berdiri”.
Janji kampanye
adalah janji keputusan atau pemikiran strategis untuk mengubah keadaan,
seperti Donald Trump berjanji akan membangun Tembok Besar di perbatasan
Meksiko. Entah pemilihnya setuju atau tidak.
Keinginan
mengubah hidup rakyat yang tidak sejahtera menjadi sejahtera selama lima tahun
di sebuah kabupaten, sebuah provinsi, bahkan Indonesia, tentu memerlukan data
valid kehidupan di wilayah-wilayah tersebut.Apa buktinya bahwa mereka tidak
sejahtera? Apa sejahtera bagi dirinya? Dan bagaimana pemikiran atau keputusan
yang akan diambilnya untuk mengubah yang tidak sejahtera menjadi sejahtera?
Dari rencana keputusan-keputusan yang diambilnya akan terlihat filosofi
pemerintahannya, seperti Trump yang ingin membuat Amerika besar kembali
dengan pemikiran Amerika untuk Amerika sehingga politik proteksi mengalirnya
tenaga asing ilegal dari Meksiko dapat dipahami.
Bukan kampanye
keinginan, melainkan kampanye pemikiran strategis. Pemikiran strategis
membutuhkan persoalan nyata yang harus dihadapi. Kalau keadaan kabupatennya
saja dia tidak tahu apa-apa, bagaimana ia tahu masalah yang akan dihadapinya,
dan bagaimana dia dapat menyusun keputusan yang akan diambilnya sesuai dengan
keinginan rakyatnya?
Pahami karakter manusia
Kampanye
adalah penawaran keputusan berupa pemikiran bagaimana akan mengubah sesuatu
menjadi sesuatu yang lain. Perubahan adalah sesuatu menjadi sesuatu yang lain
dari sesuatu itu sendiri. Bagaimana sesuatu di kabupaten atau provinsi itu
dia lihat dan dia maknai sehingga jelas apa yang diputuskannya sesuai dengan
keinginanya.
Tidak mungkin
mengubah segalanya dalam kehidupan sosial di sebuah wilayah, apalagi hanya
dalam jangka waktu terbatas. Namun, kalau dia menemukan peta masalahnya, ia
dapat menentukan prioritas perubahan yang akan dilakukannya.
Pernah seorang
asing akan membuka usaha di suatu daerah, mencari tahu bagaimana karakter
sosial-budaya wilayah tersebut. Untuk mencapai keberhasilan di suatu daerah,
tidak hanya memerlukan data akurat, tetapi juga karakter manusianya.
Perubahan material baru mungkin kalau karakter manusianyajuga diperhitungkan
dalam strategi pemerintahan. Tidak main pukul rata bahwa manusia dan
masyarakat sama di mana-mana. Itulah arti pluralisme di Indonesia.
Ada hubungan
sebab-akibat antara keinginan, strategi pemikiran, dan tindakan. Di Pasundan
dikenal ”ngelmu boboko” (bakul nasi) yang bunyinya tekad kudu buleut, ucap
kudu bener, lampah kudu masagi. Tekad harus bulat, pikiran harus benar, dan
tindakan harus baik. Keinginan, pemikiran, dan tindakan yang mengubah
kenyataan adalah satu kesatuan tak terpisahkan.
Bagaimana dengan
keinginan jahat? Ada cerita: si Kabayan pada suatu malam menggerilya janda
kembang di kampungnya. Kakinya tersandung sesuatu sehingga terdengar suara
bising. Teriak si janda: siapa itu? Jawab Kabayan: saya kuciiing! Tentu saja
si Kabayan menjadi urusan pak RT. Keinginan tak baik, pemikiran bodoh,
tindakannya cepat ketahuan jahatnya.
Yang paling berbahaya adalah kalau keinginan jahat, pemikirannya
cerdas, dapat mengelabui perbuatan jahatnya sebagai perbuatan baik. Bebaskan
kami dari orang-orang semacam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar