Jembatan
Agama
Jean Couteau ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 12 Februari 2017
Perbedaan
sosial apa pun bisa ditempuh dengan dua cara yang bertolak belakang satu sama
lainnya: kita bisa menekankan perbedaan tersebut, atau sebaliknya menyangkalnya.
"Kau beda," kata anggota kelompok pertama, "kau lain warna
rambutnya, lain Tuhannya, lain bangsanya, maka aku tak mau ada urusan dengan
kau...."
"Bisa
jadi kau berwarna rambut lain," tukas anggota kelompok kedua,
"tetapi kita sama-sama mempunyai rambut; bisa jadi kau mempunyai Tuhan
yang lain, tetapi kita sama-sama menghadapi masalah makna dan tujuan hidup;
bisa jadi kau berbangsa lain, tetapi kita sama-sama mempunyai ruang yang
mengatur cara kita mencari makan dan hidup berkelompok. Para ilmuwan modern
menjelaskan bahwa kelompok pertama bereaksi atas dasar "alam",
akibat picuan amigdalia di otak, sedangkan yang kedua bereaksi atas dasar
"pengadaban" atau kultur.
Bila memang
demikian, bisa jadi orang Indonesia zaman dulu lebih beradab daripada orang
Indonesia zaman ini, yang kian sibuk menekankan perbedaan agama, yang kian
asyik juga mengutak-atik buku-buku suci untuk mencari suatu kepastian
Kebenaran yang tak mungkin ditemukan di luar keyakinan itu sendiri.
Orang dulu
agaknya lebih bijak, apalagi di Bali, di suatu desa yang saya sempat kunjungi
baru-baru ini. Namanya Pacung, di pesisir Bali Utara. Pesisir berarti tempat
pelintasan dagang ke Barat dan ke Timur, yaitu ke Demak (Jawa) yang diberi
diidentikkan dengan "Mekkah" menuju ke Semenanjung Malaka. Di
Timur, para pelaut menuju Bayan di Lombok Utara, Buton dan Ternate-Tidore,
mengikuti jalur Raden Patah dan para mubaligh Islam abad ke-16.
Para mubaligh
dari Demak itu singgah di Pacung. Menurut legenda lokal, dahulu kala salah
satu mubaligh diminta sobat Balinya untuk singgah di Pacung yang kala itu
dilanda marabahaya -penyakit oleh binatang buas-untuk membantu masyarakat
keluar dari kenestapaannya. Dia berkenan singgah, tetapi dengan suatu syarat:
dia tidak akan disajikan daging babi, dan tidak pula hidangan mengandung
darah (lawar merah). Para penduduk menerima syarat itu, dan berkat kesaktian
si mubaligh itu, lenyaplah segala penyakit dan bahaya..
Sang mubaligh
lalu pergi, menuju ke Timur, meneruskan dakwahnya. Namun, penduduk Pacung
tidak melupakan jasanya. Penduduk menyebutnya sebagai "Ratu
Mekkah"-karena dari Demak-dia dibuatkan sebuah kuil dan dihormati di
pura lokal di samping sahabat Balinya, "Ratu Manik". Dan mereka
berdua, setiap tahun Bali, bersama-sama dirayakan sebagai leluhur desa
Pacung. Kini, di dalam tarian "gambuh" sambutan hari jadi upacara
pura itu masih terlihat orang-orang berjubah yang memainkan peran para
mubaligh merangkap pedagang itu. Jadi, kisah musafir Islam zaman dulu itu
menjadi tarian yang melegenda.
Dapat diduga
pula apa yang dibawa para mubaligh itu: ajaran agama tentu saja di satu sisi,
tetapi juga obat-obatan di sisi lain. Mereka berdakwah dengan merangkap
sebagai tabib. Di dalam posisinya, mereka minta perbedaan agamanya dihormati-perihal
halal makanannya-tetapi mereka menerapkan persaudaraan dan kemanusiaan dengan
cara yang sedemikian kental sehingga masyarakat lokal sekalipun merasa perlu
merayakannya di dalam kultus Hindunya. Singkatnya, pada waktu itu, bukan
perbedaan yang ditekankan antara para mubaligh dan tuan rumah Hindunya,
melainkan persamaan. Perbedaan dan pembedaan ada, tetapi di dalam hal ibadah
saja. Bukan di dalam kehidupan sosial, kultural, dan politiknya.
Dari cerita
seperti ini terlihat apa sebenarnya inti atau DNA dari Islam Nusantara:
menerapkan apa yang disebut rahmatan
lil alamin, menafsirkan agama sebagai jembatan, bukan sebagai penyekat;
berbagi kehidupan sosial, kultural dan politik, apa pun perbedaan dalam
bidang agama.
Dunia kini telah berubah. Untuk orang Pacung zaman dahulu, dunia
para mubaligh yang "berbeda" ditanggapi positif, karena berarti
obat dan kemajuan. Kini, dunia global yang pada galibnya "asing"
itu sebaliknya kerap dianggap membawa ancaman. Namun, hal itu jangan
disalahtanggapi: apa pun yang diteriakkan Trump atau Al-Baghdadi jangan
sampai hal itu membuat kita mengubah agama-agama menjadi benteng-benteng
penuh pejuang yang salah perjuangannya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar