Perseteruan Jokowi dan SBY
Isran Noor ;
Ketua Umum Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia
|
KORAN SINDO, 28 Maret
2016
Ibarat matahari belum
tinggi, sinarnya pun belum menghangat, tapi keadaan mendadak gerah dan
menyengat. Itulah yang terjadi ketika di tengah perjalanan bertajuk ”Tour de
Java” rombongan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpapar sindiran oleh
kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke proyek ambisius Kompleks Olahraga
Hambalang, Bogor.
Kegiatan SBY
sesungguhnya biasa saja dilakukan oleh partai politik. Melakukan perjalanan
dalam rangka konsolidasi politik dalam rangka menyerap aspirasi di
masyarakat. Karena itu, ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh pimpinan
atau elite partai politik. Saya mengingat sosok Soetrisno Bachir (SB), ketum
DPP PAN saat itu, yang hampir menghabiskan seluruh harinya dalam seminggu
untuk melakukan safari politik ke daerah-daerah.
Anas Urbaningrum (AU)
saat masih menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat juga melakukan hal
yang sama. Hampir tidak ada waktu tanpa konsolidasi. Sehingga ada kesan kuat,
saat itu, jauh lebih mudah menemui AU di daerah ketimbang saat di Jakarta.
Tentu saja tafsir terhadap kegiatan tersebut sangat beragam. SB misalnya,
namanya mendadak melambung sebagai sosok yang dianggap akan bersinar.
SB juga memasang
baliho besar-besar dan mengiklankan diri di televisi demikian gencar,
sehingga anggapan publik meneropongnya pada momentum pemilihan presiden atau
wakil presiden saat itu. Lebih tragis lagi menimpa AU. Muhibahnya ke daerah-daerah
dalam rangka pembenahan organisasi Partai Demokrat justru berbuah sangkaan
hukum baginya. KPK menjeratnya karena dianggap punya niat untuk mencalonkan
diri sebagai presiden.
Apa yang dilakukan
oleh Jokowi juga merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh seorang presiden
dalam rangka melihat langsung kinerja pemerintah dan pembangunan. Apalagi
Jokowi tidak sekali ini melakukan peninjauan langsung terhadap proyek-proyek
pemerintah. Bahkan ini bisa dianggap sebagai label Jokowi yang suka blusukan.
Yang berbeda kali ini karena kegiatan Jokowi dianggap sebagai respons
terhadap kritik yang dilakukan oleh SBY.
SBY mengkritik keras
terhadap kebijakan Jokowi yang dianggap menghabiskan APBN hanya untuk proyek
infrastruktur. Jokowi dikesankan membalas kritik tersebut dengan berkunjung
ke monumen kegagalan pembangunan infrastruktur di masa SBY, yaitu proyek
Kompleks Olahraga Hambalang. Di proyek inilah Menpora Andi A Mallarangeng
dipidana korupsi.
Memilih Saluran
Sesungguhnya dalam
sistem demokrasi modern, kritik terhadap kebijakan pemerintah sesuatu yang
given dan wajar. Jika tidak ada kritik, justru akan menandai terjadinya
absolutisme dalam kekuasaan di satu pihak. Yang lebih memprihatinkan adalah
jika sebuah rejim kekuasaan alergi terhadap kritik, atau antikritik. Kritik
yang dilakukan dengan benar dan tepat, serta bahasa yang terang dan jelas
tentu akan menambah bobot dari kualitas kritik tersebut.
Berbeda jika kritik
dilakukan pada saat yang tidak tepat dan melalui saluransaluran yang tidak
lazim dengan bahasa isyarat yang sukar dipahami maknanya. Saat ini melakukan
kritik terhadap kebijakan pemerintah bisa dilakukan melalui media apa saja.
Keterbukaan informasi dan kebebasan menyatakan pendapat begitu luas bagi
masyarakat.
Tidak terkecuali bagi
partai politik. Namun demikian, musti bisa memilahmilah, kapan, bagaimana dan
melalui saluran apa kritik itu disampaikan. Kritik SBY terhadap Jokowi tidak
bisa dilepaskan dari posisinya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Sehingga
akan sangat bijak dan tepat jika SBY menyalurkan kritiknya tersebut melalui
sikap-sikap fraksinya di DPR. Karena di sanalah disediakan ruang sesuai
undang-undang (UU) bagi partai politik— melalui fraksi—untuk melakukan kritik
atau bahkan menentang kebijakan pemerintah sebagian atau seluruhnya.
Jika kritik SBY
sebagai Ketum PD disalurkan melalui DPR, tentu tidak akan ditafsirkan berbeda
seperti yang sekarang terjadi. Langkah SBY juga dianggap berkontribusi
membuat kegaduhan baru di masyarakat. Sementara tujuan kritiknya belum tentu
sampai atau mendapat respons yang diharapkan. Kritik yang baik adalah kritik
yang tidak menjatuhkan atau menyerang, tapi justru harus memberi solusi
terhadap permasalahan yang sedang berkembang. Sehingga produktif, tidak
destruktif. Karena itu dengan adanya kritik akan terjadi mekanisme checks and balances terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Setiap kebijakan yang
dihasilkan merupakan buah dari perdebatan atau transaksi gagasan dan ide yang
intens dan serius dari pelbagai stakeholder dan pemangku kebijakan. Muaranya
tentu terhadap kebijakan tersebut akan baik dan bermanfaat besar bagi
masyarakat.
Mencari Momentum
Jika situasi ini
dianggap sebagai bibit-bibit munculnya perseteruan Jokowi dengan SBY, tentu
tafsir yang wajar. Apalagi dalam acara ”tour de Java” tersebut terselip pesan
propaganda bahwa Kristiani SBY tengah dipersiapkan maju pada pemilihan
presiden yang akan datang. Bagi Jokowi, mungkin terlalu dini untuk terseret
ke dalam tetabuhan musik instrumentalia yang sedang dimainkan SBY.
Namun demikian, dalam
politik praktis tidak ada waktu yang dianggap tepat bagi siapa pun untuk
menegasikan munculnya penggalangan kekuatan. Apalagi itu dilakukan oleh
pihak- pihak yang berpotensi jadi rivalnya kelak. Politik adalah momentum.
Momentum itu diciptakan atau muncul dengan sendirinya. Dibutuhkan pengalaman
politik untuk menciptakan momentum atau setidaknya memanfaatkan momentum yang
ada.
Apa yang dilakukan
oleh Jokowi dengan meninjau Proyek Hambalang, bisa dikatakan dalam konteks
keduanya. Jokowi memanfaatkan momentum yang tengah disodorkan oleh SBY,
sekaligus menciptakannya dengan membalas kritik. Dan hal ini tentu di luar
perkiraan SBY. Saya menduga bahwa SBY berharap Jokowi akan menanggapi
kritiknya dengan memberikan pernyataan, sebagaimana yang sering dilakukannya.
Kala itu, ketika mendapatkan kritik yang serius, SBY kerap memberikan
pernyataan dan membubuhinya dengan aksen curhat dan keluhan.
Harapan publik tentu
lebih dari sekedar melihat presiden dan mantan presiden bertengkar atau
saling lempar sindiran di ranah media sosial. Publik justru berharap ada
dialektika yang lebih produktif di antara elite-elite di negeri ini, apa pun
posisinya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar