Revolusi Industri 4.0 dan Transisi Ekonomi
Firmanzah ;
Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 28 Maret
2016
Demonstrasi
besar-besaran sopir taksi dan angkutan di Jakarta (22/03) semakin menyadarkan
kita semua bahwa revolusi industri keempat atau 4.0 telah hadir lebih cepat
dari dugaan kita semua. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara di Eropa
dan Amerika Serikat juga mengalami hal serupa. Benturan antara pelaku
industri konvensional dan pelaku usaha industri 4.0. Demonstrasi memprotes
kehadiran taksi berbasis aplikasi terjadi di London, Paris, New York,
Montreall, Budapest, Berlin, dan banyak kota besar lain di dunia. Revolusi
industri 4.0 memicu transisi ekonomi dengan skala besar dan fundamental.
Dapat dipastikan
pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam 5-10 tahun ke depan akan
mengubah secara radikal bagaimana doing-business
dan bagaimana barang-jasa diproduksi dan dipasarkan. Dalam konteks connecting-generation, produsen dan
konsumen akan dapat bertransaksi langsung dengan sangat efisien, andal, dan
efektif tanpa membutuhkan jasa dan bisnis antara. Prinsip dasar revolusi
industri 4.0 inilah yang diperkirakan merevolusi ekonomi saat ini dan masa
depan. Bila kita melihat sedikit sejarah ke belakang, sebenarnya transisi
ekonomi juga terjadi di setiap munculnya revolusi industri.
Revolusi industri 1.0
yang terjadi selepas penemuan mesin uap di abad ke-18 telah menghasilkan cara
produksi yang lebih efisien dan efektif. Transisi ekonomi dari cara kerja
berbasis tangan (handmade) menjadi
berbasis mekanikal yang mampu menghasilkan produk dan jasa jauh lebih besar,
lebih variatif, lebih presisi, dan lebih kompleks.
Sementara itu,
revolusi industri 2.0 lebih menitikberatkan pengorganisasian kerja yang lebih
ditopang pembagian unit kerja (division
of labor) didukung dengan hadirnya sumber energi kelistrikan di abad
ke-19. Kombinasi dari kedua hal itu adalah produksi-massal dapat dengan mudah
dilakukan melalui standardisasi dan spesialisasi kerja di fasilitas produksi
dan pabrikasi.
Dengan adanya sumber
ketenagalistrikan, produksi di malam hari dimungkinkan untuk mengejar
permintaan di pasar yang semakin meningkat tajam. Ternyata perkembangan ilmu
pengetahuan di abadabad berikutnya menghasilkan lompatan teknologi yang luar
biasa. Kemajuan dunia di bidang elektronik dan teknologi informasi (TI) telah
menandai munculnya revolusi industri 3.0. Pada 1970-an proses produksi secara
massal telah mampu dilakukan secara otomatis.
Pada tahun-tahun
setelahnya pemanfaatan robot dalam proses produksi telah menggantikan
manusia. Bahkan perkembangan di bidang teknologi artificial intelligent (AI)
juga telah menjadi perdebatan hangat saat ini karena optimalisasi robotik
dikhawatirkan benar-benar menggantikan fungsi manusia. Selama ini pemanfaatan
robot dalam proses produksi telah digunakan di sejumlah fasilitas produksi
mulai dari automotif, elektronik, dunia kedokteran, hingga aktivitas
eksplorasi luar angkasa dan laut dalam.
Setelahnya, ketika
kemajuan di bidang microchip dan internet telah menghadirkan smartphone yang
terjangkau dipadu dengan biaya bandwith yang semakin murah, hadir revolusi
industri baru, yaitu revolusi 4.0 yang sedang kita alami saat ini.
Sebenarnya, sejumlah bisnis telah terkena dampak dari hadirnya revolusi
industri 4.0. Misalnya saja, PT Pos yang dulunya sangat mengandalkan usaha
jasa pengiriman surat terpaksa mentransformasi diri akibat revolusi industri
4.0.
Mengirim kabar,
mengucapkan ulang tahun, selamat hari raya, dan berkomunikasi yang dulunya
dilakukan melalui jasa PT Pos terganti dengan pengiriman pesan melalui
perangkat telekomunikasi handphone. Hal ini membuat PT Pos kehilangan pendapatan
yang cukup besar akibat volume jasa pengiriman surat turun tajam. Fenomena
ini juga terjadi di seluruh dunia dan memaksa perusahaan serupa meredefinisi
ulang bisnis mereka menjadi perusahaan penyedia jasa keuangan, jasa logistik,
dan jasa pemanfaatan aset yang dimiliki di berbagai daerah.
Di bidang media,
revolusi industri 4.0 mengubah secara radikal cara konsumen mendapatkan
informasi. Mulai dari berbasis koran printing menjadi koran digital. Di dunia
terdapat penurunan industri printing akibat menurunnya oplah koran dan
majalah. Bahkan sejumlah koran legendaris seperti The Independent menghentikan penerbitan koran cetak. Beberapa
terbitan majalah seperti Newsweek juga beralih ke versi digital.
Dunia perbankan dan
jasa keuangan juga mulai mengalami transformasi secara radikal. Hadirnya internet-banking dan branchless-banking telah mengubah
bagaimana manajemen perbankan-ritel dikelola. Tuntutan kehadiran kantor
cabang tergantikan dengan hadirnya ATM dan keandalan sistem internet-banking. Banyak transaksi
yang dilakukan oleh konsumen perbankan tanpa melalui kantor cabang. Bahkan
saat ini istilah “brick” diganti dengan “click”.
Brick (batu bata)
mencerminkan kantor cabang dan click merefleksikan akses cepat berbasis
internet. Industri ritel juga mengalami transformasi mendasar menuju ke
konsep online shopping. Tidak hanya di Indonesia, di banyak negara online
shopping telah banyak menggerogoti pasar industri ritel konvensional. Selain
itu, industri musik telah berubah radikal. Dari distribusi musik berbasis CD
berubah menjadi digital. Era ini membuat banyak distributor yang gulung tikar
karena beralihnya perilaku konsumen dari membeli CD ke membeli melalui
download di sejumlah portal berbayar penyedia musik. Industri jasa perjalanan
juga terkena dampak dari revolusi 4.0.
Semakin lama konsumen
semakin mengandalkan pembelian tiket pesawat, kereta api, kapal laut, dan
pemesanan kamar hotel berbasis digital. Sepertinya transisi radikal dan
besar-besaran sedang terjadi dan membutuhkan antisipasi tidak hanya bagi
pelaku usaha, tetapi juga pemerintah. Sulit membayangkan bagaimana transisi
ini terjadi 5-10 tahun ke depan.
Memang revolusi
industri 4.0 akan melahirkan peluang usaha baru. Namun korban dari revolusi
industri 4.0 juga perlu diantisipasi. Terutama para pekerja yang selama ini
menggantungkan diri pada usaha konvensional yang berisiko akan meredup dan
hilang dengan hadirnya revolusi industri 4.0. Misalnya saja, sebuah
pertanyaan besar apakah usaha seperti pusat ritel di Pasar Tanah Abang
Jakarta, Pasar Turi Surabaya, Pasar Klewer Solo, dan di daerah lain masih
bisa bertahan 5-10 tahun ke depan?
Jangan-jangan konsep
pasar grosir yang selama ini kita kenal terganti dengan pasar digital yang
mulai marak terjadi saat ini. Akan ke manakah para pedagang yang selama ini
menggantungkan hidup dari jualan di pasar-pasar tradisional? Pertanyaan
inilah yang perlu menjadi dasar bagi pemerintah untuk secepatnya merumuskan
kebijakan antisipasi agar tidak muncul masalah sosial akibat hilangnya mata
pencaharian.
Transisi ekonomi tidak
hanya mendukung hadirnya start-up atau technopreneur, melainkan juga
memikirkan bagaimana tenaga kerja yang tergusurtergusur akibat kalah bersaing
dalam revolusi industri 4.0. Terlebih salah satu ciri khas revolusi industri
4.0 relatif pada modal (capital
intensive), padat teknologi (technology
intensive) serta tidak padat karya (labor
intensive).
Sementara situasi
Indonesia saat ini masih membutuhkan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah
besar untuk mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan yang semakin sulit
untuk diturunkan jumlahnya. Hal inilah yang menjadi tantangan di transisi
ekonomi, terutama di sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
Masingmasing pihak
perlu secara dingin dan tenang merumuskan hal ini agar transisi ekonomi di
era revolusi 4.0 terjadi secara baik dan tidak berujung pada konflik
horizontal antara tenaga kerja di industri-konvensional dan tenaga kerja di
industri-berbasis-digital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar