Ambang Batas Perkara Perselisihan Hasil Pilkada
Janedjri M Gaffar ;
Alumnus Program Doktor Ilmu
Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN SINDO, 29 Maret
2016
Mahkamah Konstitusi
(MK) telah memutus keseluruhan perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur,
bupati, dan wali kota serentak tahun 2015. Perkara terakhir yang diputus
adalah perkara perselisihan hasil pemilihan wali kota Manado.
Kewenangan tambahan yang
bersifat peralihan itu (transitory) diberikan oleh UU Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada). Dari 269 pilkada, MK menerima 151
perkara. Dari jumlah perkara tersebut, MK menyatakan hanya 7 perkara yang
memenuhi syarat formal dan dari jumlah tersebut terdapat 5 perkara yang
diputus sela untuk dilakukan pemungutan suara ulang di sejumlah TPS.
Batasan syarat formal
yang kemudian banyak menjadi sorotan adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada
juncto Pasal 6 PMK Nomor 1 Tahun 2015 yang menentukan batasan maksimal
selisih suara perkara yang dapat diajukan sebagai perkara perselisihan hasil
di MK, yaitu antara 0,5% sampai 2% dengan mendasarkan pada jumlah penduduk.
Eksistensi ketentuan
ini menjadi fenomena baru yang berpengaruh mengubah arah persidangan dan
putusan MK, sehingga ada kritikan bahwa MK telah bergeser dari perspektif
keadilan substantif ke keadilan prosedural. Kritik ini tentu perlu
dipertimbangkan, khususnya dalam perubahan UU Pilkada.
Latar Belakang Pasal 158
Eksistensi Pasal 158
UU Pilkada harus dilihat dalam konteks peradilan perselisihan hasil Pilkada
di masa lalu yang ditandai dengan dua fenomena utama. Pertama, hampir setiap
penyelenggaraan pilkada selalu berujung di MK dengan berbagai macam kualitas
perkara, dari yang hanya coba-coba dengan selisih yang tidak mungkin
dibuktikan hingga yang memang sangat serius dengan selisih suara tipis atau
adanya pelanggaran serius yang sangat rasional untuk dibuktikan.
Walaupun terdapat
perkara-perkara serius yang kemudian diputus dikabulkan oleh MK, fenomena
banjir perkara perselisihan hasil pilkada mengisyaratkan bahwa belum ada
kedewasaan berpolitik untuk siap menang dan siap kalah dalam kompetisi politik.
Fenomena kedua adalah objek permohonan yang sangat luas,
tidakhanyaperselisihanhasil penghitungan suara, tetapi juga meliputi
keseluruhan aspek dan tahapan penyelenggaraan pilkada.
Akibatnya, MK ibarat
gerobak sampah. Setiap ketidakpuasan, baik terhadap keputusan administrasi
maupun putusan pengadilan terkait dengan pilkada pasti diajukan ke MK. Hal
ini juga berakibat pada kinerja penyelenggara pilkada dan institusi terkait
yang kadang kala tidak serius dan hati-hati dalam memeriksa dan memutus perkara
karena ada persepsi putusan itu tetap saja diajukan ke MK.
Kedua fenomena
tersebut lahir karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan selisih suara
yang dapat diajukan ke MK. Pada umumnya, ketika selisih suara sangat besar
dan pemohon merasa tidak akan mampu membuktikan adanya perbedaan penghitungan
serta membuktikan penghitungannya yang benar, maka dalil adanya pelanggaran
yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pun digunakan.
Dalil TSM memang lahir
dari putusan MK, walaupun sesungguhnya persentasenya sangat kecil jika
dibandingkan dengan seluruh perkara perselisihan hasil pilkada yang
dikabulkan atas dasar adanya pelanggaran yang bersifat TSM. Kedua, pada
perselisihan hasil pilkada sebelumnya, pilkada masih menjadi bagian dari
rezim pemilu sehingga MK memiliki keleluasaan untuk melakukan terobosan
menggunakan ukuran konstitusionalitas. Hal inilah yang melahirkan putusan-
putusan yang berperspektif keadilan substantif.
Pendirian MK
MK dalam pertimbangan
hukum putusan perselisihan hasil pilkada menyatakan bahwa perbedaan mendasar
ada pada konsepsi pilkada sebagai rezim pemilu dan pilkada sebagai rezim
pemerintahan daerah. Pada saat pilkada menjadi bagian dari rezim pemerintahan
daerah sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, telah secara tegas ditentukan
batas-batasnya dalam melaksanakan kewenangan memeriksa dan memutus perkara
sesuai dengan UU Pilkada.
MK berpandangan bahwa
ketentuan syarat kumulatif dalam Pasal 158 UU Pilkada mengandung fungsi hukum
sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Yang
hendak dituju adalah masyarakat yang lebih dewasa, lebih taat asas, taat
hukum, dan lebih tertib dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan dalam
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Karena itu, juga disediakan
mekanisme penyelesaian sengketa atau perselisihan yang terjadi di luar
perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara.
Pembentuk undangundang
berkeinginan membangun budaya hukum dan politik agar sengketa atau
perselisihan di luar perselisihan penetapan perolehan suara hasil
penghitungan suara diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang
pada masing-masing tingkatan melalui pranata yang disediakan.
Pembatasan dalam Pasal
158 UU Pilkada dipandang MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang karena
logis dan dapat diterima secara hukum untuk mengukur signifikansi perolehan
suara calon. Karena itu, Pasal 158 UU Pilkada tetap berlaku sebagai hukum
positif sehingga dalam melaksanakan kewenangan memeriksa dan mengadili
perkara perselisihan penetapan hasil penghitungan perolehan suara, MK secara
konsisten menaati dan melaksanakannya.
Penyelesaian Komprehensif
Walaupun terdapat
pembenaran secara filosofis dan legal terhadap eksistensi Pasal 158 UU
Pilkada dan pendirian MK, kekhawatiran tergerusnya aspek keadilan substantif
tidak boleh dikesampingkan. Kekhawatiran bahwa syarat batasan selisih suara
akan menjadi benteng pelaku pelanggaran harus benar-benar dipertimbangkan,
khususnya dalam perubahan UU Pilkada.
Untuk itu dapat
diajukan tiga jalan penyelesaian yang komprehensif. Pertama, keberadaan
”badan peradilan khusus” yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan
hasil pilkada perlu segera dibentuk sehingga menuntaskan peralihan pilkada
dari rezim pemilu ke rezim pemerintahan daerah. Dengan adanya badan peradilan
khusus ini, ketentuan hukum yang berlaku adalah UU Pilkada sehingga tidak ada
pertanyaan hukum dan kelembagaan, baik terkait dengan dasar
konstitusionalitas kewenangan maupun hukum yang diberlakukan.
Kedua, melakukan
pengkajian ulang secara komprehensif penyelesaian terhadap sengketa dan
pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan. Hal ini dimaksudkan untuk
memastikan bahwa putusan lembaga yang berwenang memenuhi aspek keadilan dan
kepastian hukum sehingga meminimalisasi kemungkinan dipersoalkan lagi pada
perkara perselisihan hasil pilkada.
Selain itu,
penyelesaian sengketa dan pelanggaran di setiap tahap juga harus sesuai
dengan waktu setiap tahapan itu sendiri. Hal ini penting untuk menghindari
adanya putusan yang tidak dapat dilaksanakan atau putusan yang mengganggu
tahapan pilkada selanjutnya. Ketiga, untuk mewadahi perspektif keadilan substantif,
selain batasan selisih suara, perlu diatur pula adanya alternatif permohonan
yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas namun dari sisi substansi sangat
penting untuk menjaga kualitas penyelenggaraan pilkada.
Hal ini penting untuk
menghindari batasan selisih suara menjadi tempat berlindung bagi para pelaku
pelanggaran dan kecurangan. Kategori pelanggaran dan kecurangan sebagai objek
perkara perselisihan hasil pilkada dapat mengacu pada putusan-putusan MK yang
telah ditetapkan selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar