Masih
Kusutnya Pembangunan Kereta Cepat
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
DETIKNEWS,
04 Januari 2016
Melanjutkan kebijakan
pembangunan High Speed Train (HST) atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung, saya
akan membahas perkembangan terkini dari sisi konsorsium BUMN Indonesia (PT
Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) yang sampai hari ini ternyata masih
bermasalah, khususnya dari sisi kesanggupan finansial.
Seperti kita ketahui
bersama, bahwa komposisi modal PT PSBI adalah 60% berasal dari Konsorsium
BUMN Indonesia dan sisanya (40%) dimiliki oleh Konsorsium BUMN China. Dari porsi 60%,
modal yang harus disetor oleh Konsorsium BUMN Indonesia ke PT PSBI terdiri dari 25% modal sendiri yang
disetor oleh 4 anggota Konsorsium, dan 75% sisanya merupakan pinjaman dari
perbankan China.
Seperti kita ketahui
bahwa PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebagai pimpinan Konsorsium BUMN, beranggotakan
PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Perkebunan Negara VIII (PTPN) dan PT Jasa
Marga Tbk (JM). Mereka masing-masing mempunyai kewajiban untuk setor modal ke
PT PSBI sebesar 38% : 25% : 25% : 12%. Sanggupkah mereka, mengingat total
ekuitas yang mereka punyai juga
terbatas ?
Untuk itu saya kembali
melakukan investigasi perkembangan proses pendirian dan pembiayaan PT PSBI,
serta proses pembangunannya yang sejak awal dipayungi oleh kebijakan (Perpres
107/2015 Tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana kereta Cepat
Jakarta Bandung) yang patut diduga maladministrasi. Dalam tulisan kali ini
akan saya sampaikan beberapa hal penting terkait kusutnya pembiayaan HST yang
perlu diketahui oleh publik.
Perkembangan Proses Pembangunan HST Jakarta-Bandung
Belum juga pembangunan
HST Jakarta-Bandung tuntas, Menko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya sudah
berkoar kembali, bahwa Indonesia akan membangun HST Jakarta-Surabaya. Kalau
ini benar-benar terjadi, maka runtuhlah Nawacita karena infrastruktur terus
dibangun di Pulau Jawa.
Diperkirakan
pembangunan HST versi China pasti akan banyak menemui kendala karena studi
kelayakan/feasibility study (FS)-nya patut diduga abal-abal yang dibuat
kurang dari 4 bulan. Patut diduga isinya mencontek FS HST Jakarta-Bandung yang dibuat oleh
Japan International for Cooperation Agency (JICA).
Berdasarkan diskusi
dengan pembuat analisa keuangan di FS JICA, analisa keuangan di FS China
sangat mirip. Namun beberapa variabel
diubah, seperti perhitungan bunga. Sehingga muncul bunga 2% bukan 0,1% per
tahun yang langsung ditarik ke cash
flow. Apa mungkin HST dioperasikan dengan harga tiket yang mirip (sekitar Rp.
200.000/pax/naik), padahal besaran bunganya berbeda? Dampak perubahan ini
bisa mengakibatkan cashflow mismatch yang merugikan Indonesia dan membuat 4
BUMN anggota Konsorsium bangkrut.
Dari sisi ridership (jumlah penumpang) juga
diubah melalui pengumpulan data yang sulit dipertanggungjawabkan akurasinya.
Menurut FS yang dibuat oleh JICA, ridership
HST adalah 44 ribu orang/hari di tahun-tahun pertama. Sedangkan FS China
sebesar 60 ribu orang/hari di tahun-tahun pertama. Sebuah target yang
fantastis.
Sebagai referensi, KA
Argo Parahyangan untuk mendapatkan penumpang 3.000 orang/hari saja sangat
sulit. Kalau asumsi ridership untuk HST adalah 60 ribu /hari, bisa dipastikan
konsultan mengabaikan pergerakan orang Jakarta-Bandung dan sebaliknya yang menggunakan kendaraan pribadi, bus
AKAP dan kendaraan travel. Mana mungkin mereka mau pindah semua ke HST,
apalagi kalau bepergian sekeluarga. Terlalu mahal tiketnya.
Dari sisi modal,
dengan bunga pinjaman investasi dari China sebesar 2%, Konsorsium BUMN
Indonesia tidak akan sanggup mengangsur, kecuali jangka waktu pinjaman
diperlama, misalnya 100 tahun atau lebih, tentunya tidak masuk akal.
Sejak Nopember 2015,
WIKA sebagai pimpinan konsorsium sudah 'kelimpungan' untuk mendapatkan modal
sebagai setoran awal ke PT PSBI. Untuk memenuhi persyaratan izin trase,
Konsorsium harus menyetor sekitar Rp. 800 milyar ke PT PSBI. Berhubung WIKA
tidak mempunyai dana cukup, akhirnya WIKA mencari pinjaman Bank. Sementara PT
JM akan menyetor ketika izin trase sudah keluar, sedangkan 2 BUMN lain (PT
KAI dan PTPN VIII) keberatan karena tidak ada alokasi dana untuk setoran
tersebut.
Sejatinya, WIKA tidak
mampu setor modal sekitar Rp. 4,2 T (38%) karena total ekuitas WIKA hanya Rp.
5,5 T. Jadi dapat dipastikan WIKA akan mencari dana pinjaman untuk setoran
awal ini. Pertanyaannya, sanggupkah WIKA memenuhi kewajiban membayar bunga
yang besarnya 11%/tahun atau sebesar Rp. 462 milyar/tahun ?
Namun sekitar tanggal
11 Desember 2015, WIKA akhirnya menyetorkan Rp. 280 miliar ke PT PSBI dengan
status pinjaman, bukan setoran modal karena menurut Komisaris untuk setoran
modal harus melalui RUPS. Dana Rp. 280 miliar patut diduga berasal dari
pinjaman Bank. Kalau begitu, apakah WIKA sanggup setor Rp. 4,2 triliun yang
berasal dari pinjaman Bank dengan bunga diatas 10%? Sementara 3 anggota
konsorsium PT PSBI lainnya, belum jelas kapan akan menyetor dananya.
Awalnya WIKA akan
meminjam dana Rp. 800 milyar ke PT JM dan kemudian dana itu dipinjamkan lagi
ke konsorsium BUMN yang lain, tetapi ditolak oleh Dewan Komisaris karena
jumlahnya sangat material dan belum melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Bahkan opini hukum dari bagian legal WIKA juga menyarakan dilakukan RUPS.
Akhirnya Direksi WIKA membatalkan skema ini.
Ada skenario lain dari
WIKA, dimana anak perusahaan WIKA akan menyewa tanah milik PT KAI senilai Rp.
200 miliar supaya PT KAI bisa menyetor modalnya di PT PSBI. Kemudian PT JM
akan membeli unit apartemen milik anak perusahaan WIKA senilai Rp. 200 miliar
dan anak perusahaan WIKA akan meminjamkan dana tersebut ke PTPN VIII supaya
PTPN VIII bisa setor modal ke PT PSBI. Namun cara ini juga batal dilakukan.
Langkah Pemerintah yang Harus Segera Dilakukan
Melihat kondisi
keuangan dan ekuitas keempat BUMN, aturan hukum yang maladministrasi, tidak
jelasnya kualitas FS dan mahalnya investasi HST, disarankan sebaiknya
Pemerintah mengurungkan niatnya membangun HST Jakarta-Bandung dalam waktu
dekat.
Presiden sebaiknya
mengurungkan ground breaking yang
rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2015 sebelum Presiden yang
didampingi Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Meneg BUMN, BAPPENAS, Menteri
Perhubungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria/BPN dll
mendengarkan presentasi Konsultan pembuat FS HST China secara terbuka (undang
pakar dan media).
Jika mau aman saya
sarankan Presiden segera perintahkan supaya Konsultan membuat FS yang
benar-banar baru dan tidak abal-abal. Gunakan data-data yang autentik, sahih
dan baru, supaya bangsa ini tidak terjebak pada kebodohan mental untuk
kesekian kalinya. Pastikan semua variabel yang digunakan masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan ke publik. Salam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar