Media
Sosial dan Kemenangan Kelas Menengah
Roy Thaniago ; Pendiri Remotivi;
Sedang belajar Kajian Media dan Komunikasi di Lund
University, Swedia
|
INDOPROGRESS,
04 Januari 2016
PENGHUJUNG 2015 lalu,
Presiden Joko Widodo mengukir rekor baru bidang administrasi pemerintahan.
Hanya dalam waktu satu malam, ia membatalkan Peraturan yang dibikin oleh
menterinya sendiri Ignasius Jonan. Peraturan yang dibatalkan Jokowi itu
adalah tentang larangan beroperasinya Go-Jek dan bisnis semacamnya.
Banyak orang kemudian
menjunjung media sosial sebagai alat yang berhasil menekan Jokowi membatalkan
peraturan itu. Memang, reaksi negatif terhadap pelarangan tersebut
mendominasi pembicaraan di media sosial. Kemudian, baik Go-Jek dan CEO-nya
Nadiem Makariem, melalui akun media sosial masing-masing memanfaatkan momen
ini untuk mengidentifikasi keputusan pembatalan tersebut sebagai kemenangan
“media sosial”, “suara rakyat”, dan “ekonomi kerakyatan”. Dengan gincu
nasionalisme, tentu.
Terlepas dari
pembajakan definisi ekonomi kerakyatan, ada pertanyaan menarik untuk
diketengahkan dari sisi kajian media: apakah benar ini kemenangan media
sosial? Bagaimana proses dan formasi yang tersedia dalam kemenangan itu?
Lantas, siapa yang dimenangkan?
Telah banyak peristiwa
publik mewarnai dan diwarnai di dan oleh media sosial. Elit ekonomi dan
politik melakukan jual-beli pengaruh melalui ruang digital ini. Keputusan
politik atau kebijakan publik sering bersandar dari sentimen yang muncul dari
sini. Proses macam ini menjadi masalah ketika suara media sosial dianggap
representatif untuk mewakili seluruh suara publik yang beragam.
Dalam proses tersebut,
aspirasi antarkelompok yang bertarung bisa dibaca dengan melihat upaya mereka
dalam menunjuk dan mendefinisikan siapa publik dan apa maunya mereka. Memang,
mengutip Coleman dan Ross (2010: 3), “penamaan dan pembingkaian mengenai
siapa publik adalah aktivitas utama dari demokrasi kontemporer yang
termediasi”. Nah, upaya pendefinisian publik inilah yang perlu diperiksa.
Karena bagaimanapun juga, publik adalah “produk dari representasi”, yang
terbentuk melalui “proses mediasi yang didominasi oleh kekuatan politik,
institusional, ekonomi, dan budaya” (ibid, 2010: 3).
Apalagi, kini proses
komunikasi semakin termediasi (Livingstone, 2013: 25)—yang membuat media
sosial menjadi semakin penting untuk dikaji. Ada kesadaran bahwa sesuatu
seolah tiada bila tidak termediasi. Kesadaran digital ini kemudian
menunggalkan “yang termediasi” sebagai representasi masyarakat secara
keseluruhan. Akibatnya, mereka yang tidak masuk atau berperan minor dalam
proses mediasi akan cenderung terpinggirkan.
Sayangnya studi-studi
di Indonesia yang ada berhenti pada pembacaan yang merayakan kehadiran media
sosial ketimbang upaya menginterogasinya. Saya berpendapat perlu ada lebih
banyak bahasan yang memetakan relasi kuasa yang tercipta di dalamnya;
hubungan yang kemudian berperan dalam menyeleksi substansi dan pembingkaian
sebuah isu. Karena ketika media sosial dijadikan sandaran satu-satuya
aspirasi publik keseluruhan, maka beberapa masalah segera mengemuka dengan
terang benderang. Tulisan ini ingin menunjukkan persoalan itu, yakni tentang
kemenangan kelas menengah di media sosial dan proses pembentukan kekuatan
tersebut.
Memindai Media Sosial
Saya hendak memulai
dengan pertama-tama memeriksa klaim-klaim yang mengonstruksi pandangan atas
media sosial.
Mari berangkat dari
glorifikasi orang banyak terhadap media sosial sebagai alat demokrasi yang
independen, non-hierarkis, dan desentralis. Media sosial seolah dinubuatkan
sebagai anti-tesis dari kebanyakan media korporasi,[1] yang di era Reformasi
ini gagal memandu publik terlibat lebih aktif dan berdaulat dalam demokrasi.
Benarkah demikian?
Mari kita uji dengan
soal klaim independen. Kalau independensi didefinisikan sebagai kemandirian
menyusun agenda sendiri dan kemampuan mengelolanya dengan konsisten dan kebal
intervensi, maka kita bisa melihat bagaimana media sosial gagal menjalani
peran ini. Mudah untuk menunjukkan betapa ketergantungan media sosial dari
media arus utama. Agenda pembicaraan di media sosial adalah kepanjangan
tangan dari agenda pembicaraan media korporasi. Apa yang dibicarakan orang di
media sosial adalah apa yang diberitakan oleh media korporasi. Memang, dalam
beberapa kasus tertentu terdapat beberapa pembicaraan yang diawali di media
sosial dan kemudian membesar. Tapi yang tidak bisa dinafikan adalah fakta
bahwa isu tersebut hanya menjadi besar setelah diangkat media korporasi. Pun,
pembicaraan bisa berbelok mendadak ketika media korporasi mengarusutamakan
topik lain.
Artinya, media sosial
bukan saja gagal memiliki agendanya sendiri sebab agendanya ditentukan oleh
media korporasi, melainkan juga gagal dalam menjaga ritmenya sendiri. Merlyna
Lim menyebut media sosial tertanam dalam sistem kontrol, kekuasaan, dan
dominasi media yang lebih besar (2013). Dengan kata lain, pengguna media
sosial yang seolah berkuasa itu sebenarnya lebih sering serupa dengan anak
kecil yang jenis mainan dan waktu memainkannya dipilihkan dan diganti secara
berkala oleh pengasuhnya.
Hal lain, banyak orang
beranggapan bahwa media sosial lebih bersifat non-hierarkis karena adanya
kesejajaran dalam memproduksi, mendistribusi, dan berinteraksi antar-aktor
komunikasi. Anggapan demikian mesti ditunda sebelum memeriksa bagaimana
kekuasaan (power) memainkan
perannya dalam medan tersebut. Nyatanya, patronisme masih berlaku, misalnya,
di mana para pesohor digital memiliki pengaruh jauh lebih besar daripada
penduduk digital[2] biasa dalam melancarkan sebuah isu. Malah—walau tidak
selalu—kesahihan atau tingkat kepercayaan orang terhadap sebuah informasi
tergantung dari “derajat selebritas” mereka yang menyebarkan informasi.
Kacaunya, ukuran ini juga sering dipakai wartawan dalam memproduksi berita.
Begitupun soal
desentralisasi. Apakah Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih mendominasi
apa yang layak dibicarakan di media sosial? Seberapa besar peluang penduduk
digital non-urban di luar kota besar dalam mengadvokasi isunya sendiri?
Tentu, ada persoalan infrastruktur Internet yang tak merata sebagai penyebab
ketimpangan peluang. Tapi perlu dicatat pula aspek ekonomi, sosial, politik,
dan budaya masyarakat yang berada di tepian diskursus “nasional”, yang sedari
lama dipinggirkan karena isunya tak pernah dianggap relevan. Sebab sejatinya
struktur sosial di media sosial merupakan pantulan struktur sosial
sesungguhnya.
Kelemahan-kekurangan
yang ada tersebut bisa dibaca sebagai berikut. Pertama, bahwa kehadiran media
sosial tidaklah otomotatis membawa perubahan, khususnya bagi kelompok
masyarakat yang berada dalam lapisan terbawah dan jarang memiliki ruang untuk
menyuarakan pendapatnya. Kedua, bahwa media sosial punya bias karena ia tidak
pernah menjadi medium yang netral, melainkan selalu menjadi medan pertempuran
antarkelompok yang saling memperebutkan makna dan kekuasaan. Ketiga, bahwa
penduduk digital tidak sepenuhnya berdaulat atau bahkan tidak menyadari bahwa
kesadaran dan tindakan yang mereka lakukan sebagai radiasi dari kerja media
korporasi.
Memang data keras
dibutuhkan untuk membuktikan sanggahan-sangahan tadi. Tapi kalau terbukti
demikian, maka penting untuk memeriksa peran dan keterhubungan antar-aktor
komunikasi di dalam perbincangan publik yang ada, yang umumnya didominasi
oleh para elite seperti pejabat, politikus, pemilik media, wartawan, aktivis,
hingga selebritas di media sosial. Soal inilah yang perlu digali lebih jauh
dalam studi-studi media baru, seharusnya. Namun dalam kesempatan ini saya
ingin menyederhanakan pembahasan dengan menyempitkannya pada hubungan antara
pengaruh media korporasi dalam membentuk watak media sosial.
Saya punya asumsi yang
mesti dibuktikan lebih lanjut, yakni bahwa media korporasi tetap merupakan
aktor utama dalam menyodorkan agenda pembicaraan publik. Seberapa
fundamentalisnya seseorang mengelu-elukan media sosial, kekuatan media
korporasilah yang mengarusutamakan dan meminggirkan sebuah pembicaraan. Dalam
etos kerja yang celakanya hanya bersandar pada logika pasar, media korporasi
tentu punya pembayangan kepada siapa kerja-kerja mereka utamanya ditujukan,
dan ini berujung pada pertanyaan tentang siapa yang dilayani. Dengan
mengetahui hal tersebut kita bisa mendapat pemahaman lebih terang mengenai
beragam sentimen yang mewarnai media sosial, termasuk pada kasus Go-Jek.
Yang Dilayani Media Korporasi
Beberapa peristiwa
berikut bisa memberikan gambaran tentang siapa yang dilayani oleh media
korporasi.
Kunto Adi Wibowo,
mahasiswa doktoral di Wayne State University, Amerika Serikat, pada suatu
waktu menyampaikan pengamatannya atas kejadian meletusnya Gunung Kelud di
Kediri pada 2014. Dia berpendapat bahwa media lebih mengarusutamakan
pemberitaan mengenai jasa penerbangan yang terganggu dan membatalkan
perjalanan banyak orang ketimbag pemberitaan atas korban bencana, kesigapan
pemerintah, atau pemantauan distribusi bantuan. Dalam konteks ini, media
lebih melayani pengguna jasa penerbangan ketimbang warga di sekitaran Gunung
Kelud. Pertanyaan yang dapat ditarik dari sini adalah, gangguan terhadap
perjalanan udara merupakan aspirasi kelompok yang mana?
Pemberitaan buruh
adalah contoh lain tentang bagaimana media lebih fokus pada aspirasi di luar
subjek pemberitaan (buruh). Alih-alih memberikan ruang untuk memahami masalah
dan tuntutan buruh, media lebih fokus mengangkat kemacetan dan sampah yang dihasilkan
dari aksi buruh. Media juga senang bermain-main dengan bahasa yang hiperbolis
sehingga tuntutan buruh menjadi sekadar bahan lelucon di media sosial. Dengan
aksentuasi pada soal-soal tersebut, aspirasi kelompok manakah yang sedang
disuarakan? Mengapa kemacetan yang diakibatkan konser di Gelora Bung Karno
atau penutupan jalan akibat lari maraton, misalnya, punya nada pemberitaan
yang berbeda? Simaklah berita yang menggambarkan kemacetan akibat konser Bon
Jovi ini, diiringi dengan caption “masyarakat begitu antusias…”.
Contoh lain adalah
ketika musim mudik lebaran tiba. Salah satu rutinitas media pada umumnya
adalah dengan memberitakan kerepotan warga kelas menengah Jakarta yang
ditinggal mudik pekerja rumah tangga (PRT) berikut tips-tips mengatasinya.
Coba bandingkan dengan jumlah berita yang mendiskusikan mengenai hak libur
PRT atau pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), misalnya. Akhirnya, pertanyaan
di atas perlu dimunculkan kembali: aspirasi kelompok manakah yang dilayani
media?
Hambatan jasa penerbangan,
ketertiban jalanan Jakarta, menertawakan aspirasi buruh, antusiasme menonton
konser, hingga beban pikiran kala ditinggal PRT mudik tentu adalah aspirasi
kelas menengah. Pertanyaan yang sama dapat dirumuskan ketika terjadi
pelarangan Go-Jek untuk beroperasi, aspirasi siapa yang terganggu? Kita semua
paham bahwa isu tersebut merepresentasikan kelompok masyarakat yang bisa
mengakses layanan Go-Jek, yaitu para pengguna ponsel pintar, mereka yang daya
mobilitas personalnya tinggi, serta para pengguna transportasi publik yang
selalu punya kemampuan ekonomi untuk mengambil pilihan lain ketika
transportasi publik yang murah seperti kereta dan Metromini tidak berfungsi.
Dalam memberitakan
pelarangan Go-Jek, terlihat dengan jelas bahwa media lagi-lagi sedang
melayani aspirasi kelas menengah perkotaan. Media memberikan dukungan moral
kepada Go-Jek secara positif. Mulai dari pemberitaan yang mengantagoniskan
Jonan dengan meminta pendapat Ridwan Kamil, mengutip Jokowi yang mengatakan
“jangan mematikan inovasi”, sampai berita “Kabar Gembira! Menhub Jonan Cabut
Larangan…”. Pertanyaannya: kabar gembira buat siapa? Kabar gembira ini
aspirasi siapa?
Secara kontras, mari
bandingkan dengan pemberitaan Detik.com mengenai aksi mogok awak Metromini
yang terjadi pada saat yang bersamaan. Kalau pelarangan Go-Jek dibingkai pada
kekhawatiran terampasnya kenyamanan, maka pemberitaan mogoknya supir
Metromini dianggap angin lalu, yang seolah tidak mengganggu aspirasi
siapapun: “Bagaimana Hari Anda dengan Metromini Mogok Pagi Hingga Siang Ini,
Terganggu?”, “Metromini di Blok M Mogok, Penumpang Tidak Peduli”, “Penumpang
Cuek Operator Metromini Mogok Massal: Nggak Ngaruh!”, hingga pemberitaan
bernada nyinyir lewat “Mungkin Ikuti #Savegojek, Supir Metromini Gelar
#SaveMetromini di Blok M”.
Tentu mogoknya
Metromini tidak mengganggu aspirasi kelas menengah yang punya pilihan
mengakses beragam moda transportasi. Tapi ini jelas menganggu kelompok
masyarakat yang punya pilihan terbatas. Namun, seolah tak menghiraukan
aspirasi publik yang beragam, Detik.com menunggalkan representasi suara
publik dengan hanya mengandalkan sumbernya dari survei Twitter atau pendapat
warga yang bisa mengakses layanan ojek daring, yang tentunya berpendapat
bahwa mogoknya Metromini tidak berpengaruh terhadap hidup mereka. Pengelolaan
Metromini memang bermasalah dan penuh dibenahi. Tapi mogoknya mereka tidak
bisa dibilang tidak berpengaruh pada siapapun!
Uraian di atas
menunjukkan bahwa dalam beberapa peristiwa, media korporasi dan wartawan
kerap mewakili aspirasi kelas menengah. Mereka gagal menjadi institusi dan
profesi yang mewakili dan menyerap aspirasi yang beragam dari berbagai
kelompok dan jenis kepentingan. Padahal, mengutip Kovach (2007), loyalitas
wartawan adalah kepada warga, bukan semata kepada warga kelas menengah.
Bila kritik pada media
tradisional kerap dialamatkan pada kegagalannya merepresentasikan “yang
lain”, maka dalam konteks budaya digital, media malah melangkah lebih teruk:
pengabaian, menganggap “yang lain” tidak ada. Memang media korporasi memiliki
keterbatasan yang tidak memungkinkannya mampu melayani aspirasi segala
kelompok. Namun keterbatasan yang dipilih tersebut bisa dilihat sebagai
manifestasi keberpihakan media.
Itulah mengapa saya
berpendapat, bahwa kerja media korporasi semacam itulah yang membentuk watak
media sosial dan penduduknya. Dukungan publik yang masif terhadap Prita
Mulyasari (#KoinPrita) dan lesunya dukungan pada kasus Lapindo—sebagaimana
ilustrasi yang dicatat oleh Lim (2013)—misalnya, bukan saja memperlihatkan
kedua contoh tersebut sebagai ekspresi penduduk digital mendefinisikan
“sesamanya” (seorang ibu dipidana karena mengeluhkan layanan rumah sakit
berbayar adalah aspirasi yang bisa dialami kelas menengah perkotaan manapun)
dan “bukan sesamanya” (petani di perdesaan yang lingkungannya ditenggelamkan
lumpur bukan ancaman nyata dan rutin yang menghantui kelas menengah
perkotaan), tapi juga sebagai hasil dari kerja media korporasi yang memberi
aksentuasi kepada “yang kami” dan menganaktirikan yang “bukan kami”. Situs Change.org,
sebagai contoh yang lain, juga menyediakan data yang kaya untuk melihat
sentimen dukungan penduduk digital kepada apa yang didefinisikan sebagai
“kami” dan “bukan kami” atau isu “kami” dan “mereka”.
Begitu berpengaruhnya
media korporasi dalam mengoridori pembicaraan dan sentimen di media sosial,
karena itu sebenarnya terlalu dini untuk melemparkan sinisme semata kepada
kelas menengah—kelas yang kesadaran politiknya dijinakkan selama tiga dekade
berkuasanya Orde Baru. Luputnya melihat media korporasi sebagai aktor utama,
membuat kita sering dan akan terus gagal melihat persoalan ini secara
struktural. Pengabaian masalah struktural inilah yang kemudian melahirkan
kelas menengah yang juga abai pada persoalan struktural pula. Ini tercermin
dalam ekspresi pembelaan fanatik terhadap Go-Jek, namun luput mempersoalkan
kelalaian pemerintah dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan
transportasi publik, seperti amanat UU No. 22 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Jadi, kemenangan siapakah pelarangan Go-Jek? ●
Kepustakaan:
Coleman, Stephen & Ross, Karen.
2010. The Media and The Public: “Them” and “Us” in Media Discourse.
Wiley-Blackel.
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom.
2006. 9 Elemen Jurnalisme. Pantau: Jakarta.
Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but
Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Journal of Contemporary
Asia, 2013 Vol. 43, No. 4, 636–657.
Livingstone, Sonia. 2013. The
Participation Paradigm in Audience Research. The Communication Review,
16:1-2, 21-30.
———-
[1] Meniru gerakan di barat dalam
mengkritik media, dalam tulisan ini saya akan memakai istilah “media
korporasi” untuk menggantikan “media massa” atau “media arus utama” sebagai
cara untuk mencirikannya dengan tepat dengan asosiasi peyoratif: media yang
dibiayai dan dikontrol oleh perusahaan dan pemiliknya
[2] Penggunaan istilah “penduduk
digital” dipakai di sini untuk memberikan kualitas demografis ketimbang
kualitas politis seperti yang melekat dalam istilah “warga digital” atau
“netizen”—yang mana pemakaian istilah ini perlu diperiksa dan disoal.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar