Rabu, 06 Januari 2016

Mewaspadai Konflik (Terbuka) Arab Saudi-Iran

Mewaspadai Konflik (Terbuka) Arab Saudi-Iran

  Hasibullah Satrawi  ;  Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
                                             MEDIA INDONESIA, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

EKSEKUSI mati terhadap salah satu tokoh Syiah terkemuka di Arab Saudi, Nimr al-Nimr, telah mengantarkan konflik antara Arab Saudi dan Iran ke permukaan yang lebih kasatmata. Sebagaimana dimaklumi, pada Sabtu (2/1) Arab Saudi mengumumkan telah mengeksekusi mati 47 orang dengan tuduhan terorisme. Salah satunya Syeikh Nimr al-Nimr. Eksekusi itu memancing kemarahan besar dari komunitas-komunitas Syiah, khususnya di Iran sebagai negara yang mayoritas penduduknya bersekte Syiah, hingga terjadi aksi penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada pemutusan diplomatik di antara kedua negara.
Ibarat gunung es, konflik yang semakin kasatmata antara Arab Saudi dan Iran pascaeksekusi Syeikh Nimr al-Nimr hanyalah bagian atas dari fenomena gunung es. Dikatakan bagian atas karena konflik ini masih sangat besar kemungkinannya untuk terus meningkat hingga membawa kedua negara pada perang terbuka.
Kegagalan Arab Spring
Bila diamati secara cermat, segenap konflik di Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir dapat disebut sebagai perang sektarian, Sunni dengan Syiah. Secara periodik, perang sektarian di Timur Tengah belakangan ini terjadi pada paruh terakhir 2012 di Suriah yang sekaligus menjadi tanda kuat bagi gagalnya Arab Spring yang melanda dunia Arab pada akhir 2010.
Pada awalnya, Arab Spring tak ubahnya bunga yang mekar di kalangan dunia Arab sekaligus menjadi tanda bagi terbentuknya pemerintahan yang lebih demokratis, terbuka, dan jauh dari aksi-aksi otoritarianisme. Itu sebabnya, Arab Spring kerap disebut dengan istilah Musim Semi Arab (ar-rabi' al-`arabi).
Dengan segala ketulusan, kemurnian, dan harapan yang ada, Arab Spring terus menggulingkan penguasa-penguasa dunia Arab yang secara samar-samar sebelumnya diberitakan kerap memperlakukan rakyatnya secara otoriter. Bahkan, Arab Saudi pun sempat digoyang oleh Arab Spring (khususnya di wilayah timur yang salah satu tokohnya ialah Nimr al-Nimr).
Begitulah seterusnya hingga Zainal Abidin di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir dapat dilengserkan oleh rakyatnya sendiri. Kemurnian Arab Spring tampak mulai berkurang ketika terjadi di Libia karena tak hanya melibatkan rakyat, tapi juga negara-negara luar. Hal kurang lebih sama juga terjadi dengan Arab Spring di Yaman yang pada akhirnya bisa dikondisikan oleh negara-negara Arab Teluk, termasuk Arab Saudi.
Arab Spring yang terjadi di Suriah juga kurang lebih sama, ditambah dengan penggunaan sentimen Syiah-Sunni pada paruh terakhir 2012. Bashar al-Assad yang tak mau turun dari takhtanya dianggap telah membantai orang-orang Sunni. Rezim Bashar al-Assad pun kerap mendapat kecaman dari komunitas-komunitas Sunni yang bersifat mayoritas di dunia Arab dan Timur Tengah secara umum. Saat ini Arab Spring pun benar-benar menjadi perjuangan yang gagal.
Kedekatan khusus rezim Bashar al-Assad dengan unsur-unsur Syiah sejak dulu (mulai Iran sampai Hizbullah di Libanon) menjadi pembenar tersendiri bagi sentimen sektarian yang mulai hadir dalam krisis politik di Suriah. Apalagi rezim ini terus mendapatkan dukungan dari unsur-unsur Syiah di atas. Sementara kelompok revolusi dan masyarakat Suriah yang mayoritas Sunni terus didukung dan diperkuat oleh unsur-unsur Sunni, seperti Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara Arab Teluk lainnya. Hingga sentimen sektarian tak ubahnya `gula aren' yang matang di atas `wajan' krisis di Suriah sekaligus menjadi daya tarik bagi datangnya pejuangpejuang asing dari luar untuk berperang di negeri itu.
Konflik sektarian
Pada beberapa bagian, konflik sektarian di Timur Tengah dapat disebut sebagai konflik paling sensitif sekaligus klasik. Di satu sisi karena pendukung dari kedua belah pihak sangat besar jumlahnya di kawasan ini, dan di sisi lain karena di wilayah ini terdapat monumenmonumen sejarah yang merekam dengan sangat kuat sejumlah konflik dan perang atas semangat sektarian.
Hal yang harus diperhatikan, konflik sektarian di wilayah ini bisa terkelupas secara mudah dan menganga kembali sebagai luka baru akibat peristiwa-peristiwa politik kekinian. Demikianlah, persoalan pergantian kekuasaan di Suriah akhirnya menjadi konflik semiterbuka antara Arab Saudi dan Iran. Begitu juga persoalan ambisi kekuasaan mantan Presiden Yaman, Ali Badullah Saleh, untuk kembali berkuasa telah membuka luka sektarian yang akhirnya benar-benar menganga sebagai luka yang baru hingga sekarang.
Di sini dapat ditegaskan, bila sebuah konflik dapat dikategorikan berdasakan jenisnya, konflik sektarian di Timur Tengah bisa disebut sebagai salah satu konflik utama yang paling sensitif. Sementara konflik antaragama tidak terlalu dominan di kawasan ini, setidaktidaknya bila dibandingkan de ngan konflik sektarian.
Sementara itu, pengalaman konflik di Indonesia berkebalikan dengan konflik yang terjadi di Timur Tengah, karena konflik yang paling traumatis sekaligus paling sensitif di negeri ini ialah konflik antaragama, setidak-tidaknya bila dibandingkan dengan konflik yang bercorak sektarian.
Indonesia waspada
Oleh karena itu, konflik sektarian yang terus terjadi di Timur Tengah, termasuk konflik yang semakin terbuka antara Arab Saudi dan Iran, harus diwaspadai dan diantisipasi secara serius oleh segenap elemen bangsa, khususnya pemerintah. Dengan demikian, konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak menambah bobot konflik negeri ini.
Hal itu penting diperhatikan mengingat di satu sisi Timur Tengah acap menjadi sentrum bagi masyarakat Indonesia. Hal-hal yang terjadi di wilayah para nabi itu pun kerap mendapatkan perhatian dari masyarakat luas.
Di sisi lain, kesadaran kritis masyarakat terkait dengan konflik di Timur Tengah masih sangat lemah sehingga tak jarang konflik yang ada acap dipahami dalam kacamata teologis yang tak jarang menimbulkan pro dan kontra, walaupun konflik yang ada bersifat politik-kekuasaan, bukan teologikeagamaan.
Dalam beberapa waktu terakhir, pro-kontra, dukung-mendukung, bahkan saling menyesatkan terkait isu Sunni-Syiah sudah terjadi di sebagian pihak di Indonesia, khususnya di dunia maya. Bila itu terus berlanjut tanpa adanya antisipasi yang optimal, bukan tidak mungkin konflik sektarian juga akan menjadi jenis baru konflik utama di negeri ini.
Padahal pada waktu yang bersamaan bangsa ini belum bisa membebaskan diri secara total dari konflik-konflik yang bersifat antaragama. Maka, mewaspadai konflik sektarian sekaligus menyelesaikan konflik yang bersifat antaragama mendesak untuk segera dilakukan. Dengan begitu, bangsa ini dapat menuju pada kehidupan yang damai dan terbebas dari segala jenis konflik. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar