Modal
Ekonomi 2016
Firmanzah
; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2016
Sangat beralasan
mengapa kita perlu optimistis dalam menghadapi ekonomi 2016. Secara umum
ekonomi Indonesia 2016 diproyeksikan lebih baik bila dibandingkan dengan
2015. Meskipun kita perlu tetap waspada terhadap serangkaian risiko yang
masih tetap kita hadapi, baik yang sudah diperkirakan maupun yang muncul
secara tiba-tiba (sudden-shock).
Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) juga mulai efektif berlaku dan ekonomi Indonesia masuk ke tahapan
yang krusial dengan tidak hanya bebas tarif impor saja, melainkan juga
liberalisasi sektor-sektor lain seperti tenaga kerja terampil.
Layaknya sebuah
kompetisi, kita perlu mengidentifikasi apa saja yang menjadi modal penting
dan strategis ekonomi nasional agar bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya
di era kompetisi bebas kawasan. Selain itu, mengidentifikasi modal ekonomi
juga penting agar kita tidak kehilangan fokus pengembangan di tengah situasi
ketidakpastian yang masih akan kita hadapi di 2016. Saya rasa kita semua
sepakat, modal terpenting di era knowledge-based
society dan digital-based
generation adalah sumber daya manusia.
Kreativitas dan
inovasi manusia-manusia Indonesia perlu terus didorong dalam kegiatan
perekonomian. Aktivitas ekonomi yang produktif di era digital dengan koneksi
kegiatan produksi riil di masyarakat menjadi peluang bagi semakin besarnya
kelas menengah di Indonesiadan semakin terbukanya pasar ASEAN. Indonesia
perlu diarahkan tidak hanya menjadi negara industri berbasis perakitan (assembly-based industry), melainkan
juga menuju R&D based industry dan
design-based industry. Kedua basis industri tersebut memiliki margin
keuntungan lebih besar bila dibandingkan hanya proses perakitan. Kedua basis
industri bertumpu pada kualitas, daya inovasi, dan kreasi sumber daya manusia
produktif di setiap level dan sektor industri.
Bagi pemerintah,
tantangan saat ini adalah bagaimana menyusun program kerja yang mampu
meningkatkan kualitas tenaga kerja nasional untuk menjadikan Indonesia keluar
dari jebakan negara industri berbasis perakitan. Hal ini lantaran banyak
riset dan penelitian di berbagai negara yang menunjukkan aktivitas perakitan
memiliki margin keuntungan yang paling kecil bila dibandingkan dengan
aktivitas R&D dan desain. Banyak negara keluar dari jebakan negara
berpenghasilan menengah (middle-income
trap) dengan mengubah positioning industri nasional tidak lagi
mengandalkan perakitan atau hanya pabrikasi dalam sistem rantai nilai
produksi regional maupun global. Salah satu pilar dalam MEA adalah mewujudkan
apa yang disebut sebagai regional-based production dan tentunya kita tidak
berharap Indonesia hanya menjadi tempat perakitan dan produksi sementara
kegiatan R&D dan desain dikembangkan di negara lain.
Modal penting
berikutnya yang harus bisa kita manfaatkan adalah ketersediaan kelas menengah
atau pasar domestik nasional. Tidak semua negara memiliki pasar domestik yang
cukup besar relatif terhadap kapasitas produksi nasional seperti Indonesia.
Negara seperti Singapura, China, Amerika Serikat, dan banyak negara Eropa
berada dalam posisi kekurangan daya serap pasar domestik. Akibatnya mereka
cenderung aktif mencari pasar di luar negeri untuk memasarkan produk dan jasa
yang dihasilkan. Bagi Indonesia, pasar domestik tersedia dan hal ini bisa
menjadi faktor penarik (pull-factor)
bagi berkembangnya sektor UMKM serta perusahaan menengah dan besar. Indonesia
adalah surga bagi para entrepreneur karena tingginya permintaan pasar dalam
negeri (over-demand). Kebijakan
yang tidak hanya mendorong munculnya entrepreneur
baru, tetapi juga bagaimana meng-inkorporasi entrepreneur sektor informal yang jumlahnya sangat besar menjadi
sektor formal (proses formalisasi) merupakan tantangan bagi pemerintah untuk
bisa mengoptimalkan modal penting ekonomi nasional, yaitu ketersediaan
permintaan pasar domestik.
Saya juga melihat,
arah dan komitmen nasional untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
nasional menjadi modal penting bagi Indonesia dalam menarik investasi. Harus
kita akui tidak semua negara memiliki komitmen dan politicalwill dalam
mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur di negaranya. Likuiditas
global yang melimpah pada satu titik memerlukan rencana pembiayaan
sektorsektor riil dan produktif.
Oleh karenanya, yang
diperlukan saat ini adalah kejelasan rencana dan daftar proyek-proyek
strategis yang akan dibangun sehingga memudahkan bagi investor global untuk
mendanai realisasi.
Tentu perdebatan
antarpejabat pemerintah soal rencana ambisius mengenai pembangunan pembangkit
listrik 35.000 megawatt menjadi kontraproduktif dalam konteks ini. Soliditas
dan kolektivitas para pengambil kebijakan sangat dibutuhkan agar Indonesia
dapat memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan luarnegeri bagi pembangunan
infrastruktur negara kita. Ini karena kalau tidak, negara-negara seperti
Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, Thalaind dan Filipina yang akan
memanfaatkan.
Ruang fiskal kita yang
ekspansif juga dapat menjadi modal penting bagi pencapaian target-target
pembangunan nasional. Selain itu, arah pembangunan nasional juga perlu
selaras dengan komitmen pembangunan dunia pengganti MDGs (Millennium Development Goals), yaitu
SDGs (Sustainable Development Goals).
Data sementara dari
Kementerian Keuangan per 31 Desember 2015 menunjukkan realisasi penerimaan
negara mencapai 85% dari target atau Rp1.491,7 triliun, di antaranya
penerimaan pajak sebesar Rp1.005,7 triliun. Sementara total belanja negara
adalah 91% atau Rp1.810 triliun. Defisit fiskal menjadi sekitar 2,8%.
Membesarnya defisit fiskal menunjukkan APBN kita dalam posisi ekspansif. Di
tahun 2016 posisi ekspansif APBN kita masih akan berlanjut. Dalam hal ini
pemerintahbaikpusatmaupundaerah memiliki tanggung jawab untuk dapat menyerap
dan membiayai aktivitas dan program yang memiliki efek-pengganda besar bagi
pengentasan kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, pemerataan
pembangunan nasional, dan target-target pembangunan lainnya.
Seperti kita ketahui
bersama kekayaan sumber daya alam baik darat, laut maupun udara juga menjadi
modal penting Indonesia untuk bisa dioptimalkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Tata aturan yang jernih dengan semangat
mengedepankan kepentingan nasional bagi pemanfaatan sumber daya alam di atas
kepentingan politik, golongan, dan individu perlu menjadi semangat bagi semua
pihak. Kemampuan mengatur akan hal ini menjadi penentu apakah kekayaan alam
akan menjadi berkah atau bencana bagi rakyat Indonesia. Pengalaman di banyak
negara yang gagal menemukan konsensus dan kematangan dari para elite politik
tidak jarang membuat negara dalam kondisi instabilitas berkepanjangan.
Kekuatan-kekuatan di
luar negara mereka yang justru mendikte arah dan kebijakan nasional yang
semakin menjauhkan mereka dari kepentingan nasional mereka. Oleh karenanya,
kesadaran dan konsensus dari para elit politik dan pengambil kebijakan sangat
dibutuhkan agar kekayaan alam kita menjadi modal berharga dan bukan sumber
konflik yang berpotensi mengoyak kesatuan antar-anak-bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar