Etika
dan Hukum
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2016
Salah satu fenomena
menarik di tahun 2015 yang baru saja kita tinggalkan adalah menguatnya
perhatian dan tuntutan publik terhadap standar dan penegakan etika pejabat
publik. Kesadaran tentang pentingnya etika dan penegakannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesungguhnya telah ada sejak
reformasi bergulir. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari pembentukan
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara. Selain itu,
sejak reformasi juga telah banyak dibentuk undang-undang yang mewajibkan
adanya standar etika bagi profesi atau jabatan publik tertentu. Bahkan, dari
sisi institusi juga telah terbentuk dan bekerja berbagai lembaga pengawas dan
penegak etika, antara lain Komisi Yudisial, Dewan Etik Hakim Konstitusi,
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Mahkamah Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pada 2015 perhatian terhadap
etika semakin kuat karena terjadinya beberapa kasus pelanggaran kepatutan
oleh pejabat publik yang menjadi sorotan masyarakat. Kasus-kasus itu tidak
selalu dilihat dalam perspektif hukum, namun juga disorot sebagai pelanggaran
etika dan kepatutan sehingga dapat saja terjadi suatu tindakan tidak termasuk
dalam kategori tindakan pelanggaran hukum, namun telah melanggar etika.
Semakin kuatnya etika sebagai pedoman sikap dan perilaku juga ditunjukkan
oleh dua pejabat publik setingkat direktur jenderal, yaitu Dirjen Pajak dan
Dirjen Perhubungan Darat, yang mengundurkan diri sebagai bentuk
pertanggungjawaban etik karena merasa gagal mengemban tugas yang diemban.
Namun, masih ada
sebagian pejabat dan kalangan yang melakukan upaya pembelaan justru dengan menggunakan
alasan hukum. Doktrin supremasi hukum dijadikan sebagai dasar untuk menolak
tanggung jawab etik yang harus dijalankan. Hukum ditempatkan sebagai
satusatunya institusi sosial yang menentukan ada tidaknya kesalahan serta
satu-satunya dasar pertanggungjawaban dan penjatuhan sanksi.
Hal ini seolah
menimbulkan pertentangan antara etika dan hukum. Bahkan, pada saat terdapat
putusan yang bertentangan dapat menggerus legitimasi etik dari ketentuan
hukum yang akan semakin memperkecil ketidakpercayaan publik kepada hukum.
Antara Etika dan Hukum
Etika dan hukum tidak
mungkin saling bertentangan. Prinsip ini dapat dilacak secara genealogis dari
sisi filsafat. Keduanya merupakan pedoman perilaku manusia sekaligus
instrumen sosial untuk mewujudkan tertib kehidupan bermasyarakat yang lahir
dari pemikiran dasar tentang manusia dan kemanusiaan. Sebagai pedoman
perilaku, etika bersumber dari ajaran-ajaran tentang kebenaran dan standar perilakumanusia
yang benar. Dari sinilah lahir etika yang merupakan filsafat perilaku
manusia. Sebagai cabang dari filsafat, tentu saja isi dari filsafat perilaku
bersifat sangat abstrak dan subjektif.
Untuk menjadikan
pedoman perilaku, etika dapat dijadikan sebagai instrumen kontrol dalam
membentuk kehidupan tertib sosial. Etika diturunkan menjadi norma hukum yang
dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan. Penormaan dan pemositifan
dilakukan dengan tujuan dapat terumuskan kaidah yang penegakannya dapat
dilakukan secara objektif sehingga dapat menjadi ukuran oleh semua orang.
Mengingat hukum
diturunkan dari etika, maka dapat dipastikan bahwa semua pelanggaran hukum
adalah pelanggaran etika. Sebaliknya, karena tidak semua kategori perilaku
yang benar dapat diformulasikan dalam unsur perilaku yang objektif, tidak
semua pelanggaran etika adalah pelanggaran hukum. Etika lebih melihat pada
motif, kehati-hatian, dan kepatutan yang sudah seharusnya menjadi
pertimbangan pilihan tindakan, apalagi bagi pejabat publik.
Keberadaan hukum tidak
menghilangkan fungsi etika sebagai pedoman perilaku dan instrumen kontrol
sosial. Bahkan dalam perkembangannya etika semakin dibutuhkan untuk
meringankan kerja hukum, yaitu untuk mencegah dan sebagai deteksi dini adanya
potensi pelanggaran hukum. Dari perspektif ini, penegakan etika, khususnya untuk
profesi atau jabatan publik, tidak lagi dapat ditinggalkan sebagai urusan
internal profesi atau jabatan publik tertentu. Tanpa adanya pelembagaan
penegakan etika, hubungan dan tindakan profesi dan jabatan yang semakin
kompleks tidak mungkin dapat dikontrol dari sisi etik.
Pelembagaan Penegakan Etika
Karena itu, kita
membutuhkan peningkatan pelembagaan penegakan etika untuk mendukung penegakan
hukum. Setidaknya ada empat bentuk pelembagaan penegakan etika yang
diperlukan.
Pertama, walaupun
etika bersifat abstrak dan subjektif dalam bentuk kategori perilaku yang
dianggap benar, namun saat ini diperlukan penormaan etika dalam bentuk kode
perilaku yang memungkinkan menjadi acuan bagi pelaku maupun institusi penegak
etika. Tentu saja penormaan ini berbeda dengan norma hukum yang bersifat
formal dan tertutup. Kode perilaku disusun dalam bentuk prinsip atau nilai
yang harus dipedomani disertai dengan uraian perilaku yang harus dilakukan
sebagai wujud dari prinsip atau nilai itu. Pelanggaran terhadap kode etik dan
perilaku tidak ditentukan semata-mata oleh apakah suatu tindakan memenuhi
unsur perilaku yang ditentukan, tetapi oleh penilaian wajar apakah suatu
tindakan sesuai atau merugikan dan bertentangan dengan prinsip atau nilai
yang ditentukan.
Kedua, sifat abstrak
dan subjektif dari etika dan kode perilaku memberikan peran besar terhadap
siapa pun yang bertugas sebagai anggota lembaga penegak etika. Anggota
lembaga penegak etika berbeda dengan penegak hukum yang spesifik harus
memiliki latar belakang pendidikan hukum. Anggota lembaga penegak etika dapat
berasal dari latar belakang pendidikan apa pun, asal memiliki legitimasi etik
yang tinggi. Legitimasi ini tidak hanya dibuktikan dengan putusan formal
tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum, tetapi dari
keseluruhan perjalanan hidup yang diakui oleh masyarakat.
Ketiga, agar dapat
memilih figur yang benar-benar memiliki legitimasi etik tinggi dan tidak
mudah diintervensi, lembaga penegak etika harus dibentuk sejak awal sebelum
suatu dugaan pelanggaran etika terjadi. Artinya, lembaga ini bersifat tetap.
Keanggotaan tidak boleh ditutup hanya dari internal suatu profesi atau
jabatan tertentu karena dapat terpeleset menjadi lembaga melindungi rekan
sejawat. Keanggotaan hanya dari internal juga mengingkari pandangan bahwa
anggota lembaga penegak etika harus memiliki legitimasi etik yang tinggi
terlepas dari latar belakang pendidikan dan profesi.
Keempat, keberadaan
lembaga penegak etika hanya akan efektif apabila putusannya dipatuhi. Karena
itu, putusan lembaga penegak etika harus bersifat final dan mengikat. Putusan
lembaga penegak etika bukan merupakan putusan tata usaha negara yang dapat
diajukan upaya hukum. Putusan lembaga penegak etika juga berbeda dengan
putusan pengadilan karena hanya dapat menjatuhkan sanksi maksimal
pemberhentian. Dengan sendirinya terhadap suatu tindakan yang telah diputus
oleh lembaga penegak etika, tetap dapat diproses secara hukum. Bahkan ketika
putusan hukum menyatakan tidak bersalah, tidak mengganggu putusan lembaga
penegak etika karena, sekali lagi, pelanggaran etika tidak sama dengan pelanggaran
hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar