Pilkada Serentak Keperkasaan Petahana
R Siti Zuhro ; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Desember 2015
USAI sudah gebyar pilkada serentak. Tercatat ada 264
daerah yang berpartisipasi dalam pilkada serentak pertama. Namun, tak seperti
yang dibayangkan, suasananya relatif adem ayem. Sambutan masyarakat terkesan
kurang meriah. Hal tersebut juga tampak dari jumlah rata-rata pemilih yang
kurang dari 60%. Bahkan, di Medan, diperkirakan hanya antara 20%30%.
Secara umum pilkada serentak relatif berlangsung damai.
Tak ada gejolak dan konfl ik sosial serius. Namun, semua pihak tetap harus
waspada karena hasilnya masih dalam proses KPU. Ini justru momen yang paling
rawan konflik dan gesekan sosial.
Keperkasaan petahana
Menurut catatan KPU, ada 173 calon yang berstatus petahana
yang bertarung dalam Pilkada Serentak 2015, baik calon kepala daerah maupun
calon wakil kepala daerah. Rinciannya, 168 petahana bertarung di daerah yang
sama, 3 petahana naik ke provinsi, dan 2 bertarung di daerah lain.
Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei,
mayoritas petahana dinyatakan memenangi pertarungan. Lembaga Survei Indonesia
(LSI), misalnya, menyebutkan 70% calon petahana menang. Temuan tersebut
sesungguhnya tidak mengejutkan. Di atas kertas, petahana bukan saja lebih
populer, melainkan juga memiliki jaringan birokrasi dan sosial yang lebih
kuat dan dukungan modal. Tanpa kerja keras sekali pun, mereka lebih
berpeluang menang asalkan tak memiliki kasus yang menstigma dirinya.
Namun, hal tersebut bukannya tak bisa disaingi. Problem
utama para pesaingnya ialah mayoritas mereka merupakan tokoh-tokoh karbitan
yang muncul menjelang pilkada serentak, bukan tokoh grass root hasil
kaderisasi partai di daerahnya. Faktor mahar politik telah menyebabkan banyak
kader terbaik partai terlempar dari proses rekrutmen bakal calon kepala
daerah. Karena itu, dengan waktu yang sangat singkat, tak mudah bagi calon
tersebut untuk meraih popularitas dan elektabilitas.
Pernyataan kemenangan petahana hanya karena lebih populer,
bermodal kuat, dan memiliki jaringan birokrasi serta sosial yang luas
merupakan pelecehan. Sejak digulirkannya pilkada langsung pada 2005, petahana
menyadari betul bahwa mereka tak bisa mengandalkan ketiga faktor tersebut untuk
mempertahankan kursinya. Selama lima tahun, kerja keras mereka lakukan untuk
bisa terpilih kembali karena nasib mereka ditentukan rakyat dan bukan oleh
puluhan anggota DPRD. Secara tidak langsung, pilkada oleh rakyat telah
mendorong munculnya sang inovator. Sebanyak 1.000 lebih pilkada yang
berlangsung sejak 2005-2014 telah memberikan pelajaran bagi mereka untuk
tidak bermain-main dengan rakyat.
Pilkada dan otda
Pilkada langsung merupakan salah satu wujud demokrasi lokal
pascaditerapkannya desentralisasi dan otonomi daerah (otda) pada 2001. Pelaksanaan
desentralisasi dan otda mendorong kebangkitan politik lokal, yaitu masyarakat
daerah memiliki kedaulatan politik untuk memilih pemimpin dan membangun
daerah dengan kewenangan yang relatif luas. Perubahan fundamental tersebut bisa
diterjemahkan sebagai penghargaan terhadap kebinekaan daerah dengan hasan dan karakteristik
atau keunikan yang dimilikinya.
Idealnya antara otda dan pilkada saling terkait karena tak
akan ada pilkada langsung kalau tak ada kebijakan otda. Bila tujuan otda
ialah mewujudkan kualitas pelayanan publik yang prima dan menyejahterakan
rakyat, pilkada langsung bertujuan memilih pemimpin daerah yang amanah yang
dihekendaki rakyat dan diyakini akan mampu membawa kemajuan daerah.
Berdasarkan pertimbangan keterkaitan otda dan pilkada tersebut dan agar
korelasinya positif, pilkada serentak dilaksanakan sejak 2015.
UU baru tentang Pilkada (UU No 8 Tahun 2014) diharapkan
mampu menjadi payung hukum yang mengikat semua stakeholders yang terkait pilkada serentak. Meskipun belum
sepenuhnya memuaskan publik, UU Pilkada yang baru ini harus menjadi rujukan.
Meskipun ada pasalpasal (tentang politik kekerabatan dan calon tunggal) yang
sudah di-judicial review dan
dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan berarti pilkada serentak
disimpulkan berimplikasi negatif terhadap hasilnya. Upaya kita ialah membuat
keserentakan pilkada lebih bermakna dan berpengaruh positif terhadap
pendalaman demokrasi (deepening
democracy) di daerah dan munculnya para inovator.
Ibarat segitiga sama kaki, ada hubungan yang saling
terkait antara demokrasi, otda, dan pemimpin atau kepemimpinan (leadership). Demokrasi memberikan
peluang yang luas bagi warga masyarakat yang kompeten, yang memenuhi syarat
untuk menjadi pemimpin. Otonomi mewajibkan daerah menjalankan urusan yang
menjadi kewenangannya dan mendorong praktik pemerintahan yang partisipatif,
transparan, dan akuntabel. Pemimpin dengan kepemimpin annya dituntut untuk
mampu mengeksekusi programprogram yang dijanjikan dalam kampanye pilkada yang
sejalan dengan tujuan otda. Inilah tantangan konkret pemimpin daerah.
Petahana, fenomena sang inovator
Sejak era otda dan pilkada langsung, sejumlah pemimpin
daerah berhasil melakukan terobosan dengan menunjukkan good/best practices. Prestasi mereka dalam pemerintahan dan
pelayanan publik mendapat sorotan dan apresiasi positif publik, baik dari
lembaga pemerintah maupun nonpemerintah. Inovasi pelayanan publik yang
dimotori pimpinan daerah tersebut membawa kesejahteraan bagi masyarakat,
keadilan, dan pemerataan yang relatif konkret. Beberapa daerah bahkan
mendapatkan penghargaan baik dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah.
Sejak 2001 The Jawa
Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), misalnya, telah berusaha
mempromosikan good practices dari
berbagai pemerintah daerah dengan tujuan memotivasi daerah untuk melakukan
terobosan-terobosan dalam penyempurnaan dan perbaikan pelayanan serta
penyelenggaraan pemerintah. Setiap tahunnya, JPIP memberikan penghargaan
kepada daerah-daerah yang dinilai berhasil.
Hal yang sama juga dilakukan pemerintah. Pada acara
peringatan Hari Otda (April 2014), Kemendagri memberikan penghargaan
(Parasamya Purna Karya Nugraha) kepada tiga provinsi (Jateng, Jatim, dan
Sulsel), tiga kabupaten (Pacitan, Jombang, Sleman DIY), dan empat kota
(Cimahi, Yogyakarta, Depok, Tangerang). Sementara itu, Kemenpan Rebiro dalam
lomba inovasi pelayanan publik (2014) juga memberikan penghargaan kepada
empat provinsi (Jatim, DIY, Kalteng, Jambi), 10 kabupaten (Lumajang,
Pasuruan, Banyu wangi, Aceh Sela tan, Sragen, Badung, Pinrang, Teluk Bintuni,
Malang, Pana jam Paser Utara), dan tujuh kota (Surabaya, Malang, Denpasar,
Jambi, Pekalongan, Lubullinggau, Solo).
Bagi rakyat, munculnya kepalakepala daerah yang visioner,
administrator, kreatif, dan inovatif sangat ditunggu. Rakyat juga membutuhkan
(kepastian) kesinambung an pembangunan atau kemajuan di daerahnya. Karena
itu, tidak mengherankan kalau sebagian besar petahana yang maju (menurut ha
sil hitungan cepat) menang dalam pilkada serentak. Kemampuan petahana dalam
menganalogikan dirinya dengan masyarakat, dalam meyakinkan rakyat dan
menjadikan dirinya sebagai sosok yang menjanjikan bagi daerah, telah
membuatnya terpilih kembali. Keberhasilan beberapa petahana, seperti Tri
Rismaharini (Surabaya), Abdullah Azwar Anas (Banyuwangi), Rendra Krisna
(Malang), dan Hadi Rudyatmo (Solo) dalam melakukan inovasi pelayanan publik,
telah memperkuat popularitas dan akseptabilitas mereka, baik di daerah maupun
di tingkat nasional dan bahkan internasional.
Kepemimpinan sebagaimana ditunjukkan kepala-kepala daerah
tersebut merupakan faktor penting penentu kemajuan daerah. Dalam otonomi
daerah, upaya melakukan inovasi membutuhkan keberanian pemimpin dalam
mengambil keputusan untuk menerobos kekakuan-kekakuan birokrasi dan
perilaku-perilaku konservatif yang ada dalam masyarakat. Terobosan kebijakan
dan inovasi yang dilakukan kepala daerah dan/atau kepala SKPD acap kali
membuahkan hasil positif bagi daerah (best
practices). Terobosan kebijakan atau inovasi daerah tersebut diharapkan
bisa menciptakan kepastian hukum, keamanan, dan mengeliminasi pungutan liar
yang acap kali dikeluhkan publik.
Selain itu, untuk menjaga keberhasilan tersebut,
seharusnya juga diikuti dengan institusionalisasi inovasi pelayanan publik agar
ada kesinambungan yang terukur dan untuk menghindari terjadinya ganti
pemimpin ganti kebijakan. Melalui pilkada serentak, pemimpin dituntut mampu
membuktikan diri sebagai negarawan dan bukan sekadar penguasa. Dengan begitu,
para kepala daerah akan makin terpicu untuk mampu melakukan perbaikan sistem
dan peningkatan peran kepemimpinan, khususnya dalam menciptakan inovasi, baik
untuk memajukan perekonomian maupun pemberdayaan masyarakat.
Karena itu, terobosan-terobosan atau inovasi untuk
memajukan daerah seharusnya menjadi sebuah keniscayaan. Melalui pilkada
langsung, para kepala daerah dan pemda diharapkan lebih menyadari mereka tak
bisa lagi melaksanakan tugas-tugas secara linier (business as usual) karena kinerja mereka bukan saja diawasi,
melainkan juga dinilai, baik oleh pemerintan di atasnya maupun oleh
masyarakatnya.
Ke depan perlu didorong secara lebih serius lagi agar
pilkada serentak mampu melahirkan inovatorinovator daerah secara signifikan. Persoalannya
tak sekadar perbaikan birokrasi KPU, tetapi juga perbaikan serius partai
politik dan pendewasaan rakyat. Di satu sisi, guna mengurangi mahar politik,
partai politik perlu memperoleh dukungan dana dari negara yang diikuti dengan
penyederhanaan partai dan transparansi/audit anggaran. Dengan itu, kader-kader
terbaik partai akan memiliki peluang yang lebih terbuka untuk menjadi bakal
calon kepala daerah. Di sisi lain, rakyat pun harus terus didewasakan secara
politik agar menjadi pemilih cerdas/rasional yang mampu memilih pemimpinnya
secara logis, menolak politik uang, dan cara-cara curang dalam pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar