Senin, 14 Desember 2015

APBN dan Politik Negara

APBN dan Politik Negara

Fachry Ali  ;  Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha Indonesia
                                                      KOMPAS, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Melalui majalah Tempo (15/11), terbetik berita pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.  Dinyatakan bahwa beberapa jam sebelumnya, rapat pemerintah dengan DPR mandek karena Fraksi Gerindra menolak usul pemerintah. Inilah yang mendorong pertemuan kedua tokoh tersebut. "Pertemuan mereka diawali penjelasan pemerintah tentang politik anggaran, target penerimaan, hingga belanja negara. Tensi diskusi mulai panas tatkala membicarakan penyertaan modal negara (PMN) pada sejumlah badan usaha milik negara. Bambang menjelaskan mengapa pemerintah menyuntikkan dana. Prabowo tak sependirian," demikian disebutkan. Dalam ketaksependirian inilah Prabowo, seperti dikutip mingguan itu, berkata, "BUMN penting, tetapi bukan prioritas saat ini."

Mengapa Partai Gerindra menolak PMN ke dalam beberapa BUMN itu? Di sini Tempo mengutip Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani, "Pertama, BUMN seharusnya memberi untung, bukan membebani negara. Kedua, dana bantuan APBN 2015 tak terserap sepenuhnya." Dan, akhir cerita, APBN 2016 yang sedianya terancam disahkan tanpa program PMN kepada BUMN.

Dalam konteks politik, APBN adalah pernyataan "subyektif" sebuah rezim dalam bentuk rencana alokasi anggaran selama satu tahun. Program PMN kepada BUMN tertentu adalah refleksi "subyektivisme" ini. Agen-agen perwujudan janji kampanye Presiden Joko Widodo dalam pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan dan energi, serta industri dalam negeri harus berada di bawah kontrol. Tak ada agen yang bisa dikontrol untuk tujuan berat itu selain BUMN. Untuk merealisasikan subyektivisme inilah BUMN perlu suntikan dana negara agar modal mencukupi untuk melaksanakan tugas yang menantang dan berat itu.

Peran negara

Pada titik ini, ingatan kita terbawa ke belakang: pemikiran dan sepak terjang begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Bertindak sebagai Menteri Perdagangan dan Industri di bawah Perdana Menteri Mohammad Natsir, sebuah kabinet yang dalam lukisan Bruce Glassburner dalam artikelnya, "Economic Policy Making in Indonesia, 1950-1957" (1962), the most distinctly dedicated toward action in economic affairs of any in Indonesian republican history, Sumitro melancarkan program bersifat nasionalistis pada Maret 1951: Program Urgensi Ekonomi. Karena persoalan politik, yakni bubarnya Kabinet Natsir pada tahun itu juga, pelaksanaan program ini tak berada di tangan Sumitro. Namun, apa inti gagasan Sumitro ini?

Berbicara melalui bukunya, Persoalan Ekonomi di Indonesia (1953), Sumitro menekankan pentingnya peranan negara dalam perekonomian. Melalui perspektif John Maynard Keynes dan golongan "Post-Keynesian", seperti Hansen, Hicks, Harrod, Samuelson, dan Lerner, Sumitro membedah perekonomian Indonesia pasca kolonial. Pertama, "Segi Strukturil Susunan Ekonomi" didominasi aktivitas agraria, baik untuk memproduksi bahan makanan maupun ekspor bahan mentah kebutuhan industri negara-negara maju. Terutama yang terakhir, pola ekonomi ini sangat rentan terhadap fluktuasi pasar dunia. Di samping pelajaran Depresi Besar 1930-an, berakhirnya Perang Korea 1950-1953 telah menyebabkan harga ekspor karet dan timah Indonesia jatuh dan mengancam cadangan devisa.

Fakta ini dibenarkan Benyamin Higgins. Dalam bukunya, Indonesia's Economic Stabilization and Development (1957), dinyatakan, cadangan devisa Indonesia pada pertengahan 1952-1954 mengalami krisis. "Indonesia's dependence for money income on a narrow range of material exports made her economy unstable", tulis Higgins.

Kedua, dalam "Segi Sosio-Ekonomi". Di sini Sumitro melihat bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu sangat kekurangan keterampilan teknikal, organisasi, dan kemampuan manajerial. Ini, tulis Sumitro, "mengandung pengaruh yang buruk untuk proses ekonomi".

Ketiga, "Konsentrasi Kekuasaan Ekonomi". Dalam melukiskan ini, Sumitro menulis: "Kekuasaan ekonomi di dalam masyarakat-masyarakat belum berkembang dalam arti kata ekonomis biasanya terpusat pada beberapa lapisan masyarakat, baik golongan yang asing maupun golongan-golongan yang asli. Golongan yang menguasai proses ekonomi biasanya juga menguasai saluran-saluran ekspor dan terpusat pada kota-kota perdagangan. Di mana ekspor mengambil peranan penting sebagai faktor yang menentukan jumlah pendapatan masyarakat, hal itu berarti bahwa lapisan-lapisan masyarakat yang dimaksudkan itu juga menguasai sebagian besar pendapatan nasional".

Dengan diagnosis inilah Sumitro menekankan pentingnya peran negara dalam perekonomian. Berbeda dengan masyarakat industri maju, di mana negara "membatasi diri dalam menjalankan peranan sebagai balancing agent yang sekadar berikhtiar mengadakan stabilisasi pada penanaman ataupun permintaan efektif melalui politik budgetair guna melunakkan guncangan-guncangan konjungtur", tujuan pokok untuk kebijaksanaan negara di wilayah underdeveloped "harus lebih mengutamakan politik pembangunan ataupun development polities". Setelah menguraikan ini, Sumitro memberikan tekanan pamungkas: "Maka itu, kebijaksanaan pemerintahan juga secara lebih aktif menentukan dan memengaruhi jurusan produksi dan penanaman (modal)".

Dalam perdebatan tentang APBN 2016, Gerindra dan mereka yang menolak program PMN untuk BUMN menyatakan bahwa dana yang dianggarkan sebesar Rp 38 triliun itu sebaiknya dipergunakan untuk sektor lain yang lebih produktif. Argumen ini mirip dengan Sjafruddin Prawiranegara dalam perdebatannya dengan Sumitro tentang APBN 1952. Bagi Sjafruddin, dana pembangunan pabrik semen sebagai bagian program industrialisasi sebesar Rp 120 juta yang dianggarkan dalam APBN 1952 itu lebih baik untuk pengembangan sawah di luar Jawa, yang dapat menyiapkan 60.000 hektar sawah dengan kemungkinan penghasilan 120.000 ton padi atau 60.000 ton beras dan dapat mempekerjakan 30.000 kepala keluarga. Sjafruddin memang berpendapat, seluruh sumber daya negara dikerahkan untuk pembangunan pertanian dan mendorong pembangunan industri oleh kaum partikelir (swasta) domestik ataupun asing.

Bagi Sumitro, antara pembangunan agraria dan industri bukanlah pilihan. Karena struktur ekonomi Indonesia masa itu timpang pada agraria, industri harus dibangun untuk menciptakan keseimbangan. Akan tetapi, yang jauh lebih penting bagi tema tulisan ini adalah sikap Sumitro tentang peran negara dalam industrialisasi. Sementara Sjafruddin membiarkan pembangunan industri pada kekuatan "pasar", dalam artikelnya, "Sekitar Pembangunan Ekonomi" (1952), Sumitro justru berpendapat sebaliknya. Di sini ia menyatakan: "...di lapangan industri yang mau tidak mau harus dikuasai oleh negara dan pemerintahan. Setidak-tidaknya harus diawasi sepenuhnya karena memengaruhi kemakmuran nasional seluruhnya dan menentukan perkembangan selanjutnya dalam masyarakat Indonesia".

Ini penting ditekankan dengan empat pertimbangan pokok. Pertama, pertumbuhan penduduk yang cepat, yang pada waktu itu diperkirakan 700.000 jiwa per tahun, menurut Sumitro, tak akan tertampung di sektor agraria. Pada 1963, melalui bukunya, The Agricultural Involution, Clifford Geertz sampai melahirkan frasa urbanization without industrialization berdasarkan fenomena pertumbuhan penduduk di Jawa tanpa industrialisasi. Untuk mengantisipasi "urbanisasi tanpa industrialisasi" inilah Sumitro menekankan industrialisasi di samping pembangunan pertanian.

Kedua, dalam posisi di mana tak ada modal yang terakumulasi di tengah masyarakat, hanya negaralah yang harus bertindak aktif dalam industrialisasi. Ketiga, seperti halnya Keynes, Sumitro tak yakin bahwa aktor swasta akan mau mengambil risiko menjadi pionir dalam industrialisasi di sektor-sektor yang berhubungan dengan kemakmuran rakyat banyak tanpa keuntungan segera (quick yielding). Keempat, industrialisasi identik dengan proses pencerdasan bangsa karena penyelenggaraannya membutuhkan kemampuan teknik dan manajerial.

Faktor-faktor inilah yang mendorong gagasan active state (negara aktif) dalam Program Urgensi Ekonomi Sumitro pada 1951, seperti disinggung di atas. Dengan memanfaatkan seluruh sumber daya negara, Sumitro ingin merombak struktur ekonomi warisan kolonial. Salah satunya telihat pada Program Benteng, membangun kaum pribumi industrial untuk mengisi kekosongan aktor-aktor ekonomi produktif dalam susunan masyarakat Indonesia pasca kolonial melalui lisensi fasilitas impor. Seperti telah dinyatakan, karena persoalan politik, program ini tak bisa ditangani Sumitro sendiri. Akan tetapi, gagasan ini justru dengan bersemangat dilanjutkan kabinet-kabinet di bawah Partai Nasional Indonesia dan hanya berhenti pada 1957 dalam Kabinet Djuanda.

Relevansi negara aktif

Ada dua pertanyaan tersisa. Pertama, dalam konteks sistem ekonomi global sekarang, apakah pandangan Sumitro yang menekankan active state masih relevan? Jika Sumitro masih dalam posisi 1950-an, siapakah atau jenis aktor apakah yang menjadi substitusi "pengusaha nasional" dalam Program Urgensi Ekonomi-nya ketika ia melihat penyusunan APBN 2016?

Untuk yang pertama, kerisauan Sumitro terhadap konjungtur harga-harga komoditas ekspor bahan mentah dan ekstraktif yang mengancam cadangan devisa hingga hari ini terbukti. Krisis finansial global 2008 yang berpusat di AS, resesi negara-negara Eropa dan Jepang yang masih berlanjut hingga kini, serta kontraksi pertumbuhan Tiongkok telah menyebabkan hampir seluruh permintaan ekspor komoditas agraria (perkebunan) dan ekstraktif Indonesia menurun. Kerisauan Sumitro awal 1950-an bahwa struktur perekonomian warisan kolonial tak viable dan karena itu harus dirombak dengan industrialisasi yang bertujuan menciptakan import substitution (bahan pengganti impor) masih layak dipertimbangkan.

Walau kini berlaku global chain production system (pembuatan cadangan produk yang terbagi secara global, tidak terpusat pada satu negara), kebutuhan impor bagi proses produksi Indonesia tetap tak terhindarkan. Ini, di tengah penurunan ekspor, tidak saja mengancam cadangan devisa, tetapi juga berpotensi menimbulkan current account deficits (kerugian neraca berjalan).

Untuk yang kedua, dalam rangka menciptakan active state yang efektif, Sumitro tentu akan mengalihkan perhatiannya pada penguatan BUMN melalui PMN dalam penyusunan APBN 2016 daripada "pengusaha nasional". Ketika menggagas Program Urgensi Ekonomi awal 1950-an, Sumitro belum melihat adanya korporasi negara yang telah relatif canggih seperti BUMN dewasa ini. Dalam faktanya, Sumitro memang menyaksikan Program Benteng yang tak ditanganinya itu telah menimbulkan sinisme melalui frasa "Alibaba" karena kegagalannya sehingga dihentikan pada 1957. Sebagai begawan ekonomi, andai masih hidup, Sumitro tentu sangat memahami betapa labil sistem kapitalisme global dewasa ini. Bukankah kampiun kapitalisme global, seperti AS, juga terjerembap ke dalam ketidakpastian ekonomi? Bukankah Tiongkok, yang selama tiga dekade mencatat pertumbuhan ekonomi, kini mengalami kontraksi karena berusaha menggeser peranan negara ke sistem yang lebih memihak sistem pasar?

Maka, andai Sumitro memiliki BUMN seperti yang berkembang dewasa ini pada 1950-an, tentu ia akan lebih condong mendukung permodalannya melalui APBN daripada memberikan kepada individu-individu pengusaha yang belum terbukti sintas (survive) secara ekonomi.

Mengapa? Pertama, karena dalam situasi sistem ekonomi global yang tak memberikan kepastian, dan dengan melihat struktur kecenderungan pemikiran Sumitro pada 1950-an itu, sangat besar kemungkinan begawan ekonomi ini akan menguatkan BUMN melalui suntikan dana APBN. Sebab, dengan itu, negara seperti dinyatakan dalam tulisannya, "Makro-Ekonomi dan Kebijaksanaan Negara untuk Daerah-daerah yang Kurang Bertumbuh di Dalam Susunan Ekonomi" (1953), negara akan mampu mengontrol kemakmuran bangsa. Kedua, justru dengan menguatkan BUMN melalui suntikan dana APBN ini gejala yang disebut Richard Robison sebagai patrimonial aspect of state power dapat dihindari. Dalam bukunya, Indonesia: The Rise of Capital (1986), Robison menyatakan, Program Benteng yang mengatur hubungan negara dengan individu-individu itu telah menimbulkan "penyelewengan" arah program ketika para birokrat membangun jalinan kepentingan dengan para pengusaha penerima fasilitas negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar