Jangan Intervensi Guru!
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Desember 2015
KOMUNITAS guru di Indonesia merupakan sasaran empuk bagi
para politikus untuk dijadikan target pendulang suara pada setiap pemilu
nasional maupun daerah. Dengan kisaran 3,2 juta jiwa, secara sosiologis, guru
memiliki potensi dan modal sosial yang tinggi untuk ditarik dalam skenario
besar arus perubahan bangsa ke depan. Karena itu, sangat beralasan jika
Mendikbud secara halus meminta agar para guru tidak dijadikan target politik
para birokrat dan politikus karena bisa mengorbankan proses belajar-mengajar
di sekolah dan mengganggu kemandirian guru dalam mengajar. Pertanyaannya,
mungkinkah para guru dihindari dari persoalan politik dan intervensi
sekelompok penguasa yang ingin menjadikan guru sebagai alat kekuasaan?
Peran politik PGRI
Jawaban dari pertanyaan di atas jelas amat mustahil karena
guru sebagai warga negara memiliki hak politik dan kebebasan berpendapat dalam
iklim demokrasi saat ini. Jika kita lihat sejarah interaksi guru dengan
kondisi sosial-politik di Indonesia, setidaknya ada dua pendekatan bagi para
guru di Indonesia untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai ‘pendekar
pendidikan’ nasional. Pertama, secara politis dapat memperkuat
lembaga-lembaga yang menaungi profesi guru, seperti PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia), Serikat Guru Indonesia, dan lain sebagainya.
Kedua, para guru dapat membentuk wadah-wadah baru yang
secara khusus dibuat mereka sendiri untuk dan dalam rangka meningkatkan
kapasitas serta profesionalitas guru secara berkesinambungan. Kedua cara ini
diharapkan mampu memperkuat arah otonomi pendidikan kita dengan memperkuat
komunitas sekolah sebagai basis analisis seluruh persoalan pendidikan.
Secara politis-historis, peran PGRI dalam mewadahi kaum
guru dalam upaya mewujudkan hak-hak asasi guru sebagai pribadi, warga negara,
dan pengemban profesi memang cukup baik, paling tidak selama periode Orde
Baru. Namun setelahnya, lembaga ini dipertanyakan banyak pihak mengingat perannya
yang kurang sentral dalam mengatasi persoalan otoritas guru secara nasional. Seperti
mengalami delegitimasi secara sosial dan politik, peran PGRI kurang kuat
dalam melakukan advokasi dan pendampingan secara langsung terhadap proses
peningkatan mutu guru di Indonesia. Karena itu, perlu dipikirkan sebuah
bentuk kelembagaan baru bagi para guru untuk meningkatkan otoritas dan
kapasitas guru secara menyeluruh. Artinya, jika secara politis guru tak
memiliki otoritas yang dapat meningkatkan peran mereka secara langsung dalam
meningkatkan mutu pendidikan, guru harus menciptakan otoritas profesional
mereka secara bersama dan berkesinambungan.
Profesional dan Inspiratif
Otoritas profesional berasumsi bahwa proses pembelajaran merupakan
suatu disiplin intelektual yang memerlukan pengembangan dalam suatu wadah
yang baik. Dengan kata lain, jika guru mempunyai otoritas, guru akan mudah
dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak didiknya maupun praktisi
pendidikan lainnya. Di samping itu, otoritas profesional dapat menunjukkan
jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga sekaligus pembelajar
bagi anak didiknya. Ketiadaan otoritas bagi guru dapat diibaratkan seperti
dokter yang melakukan diagnosis tanpa pengetahuan tentang teori dan cara
mendiagnosis penyakit pasien.
Salah satu syarat yang dibutuhkan untuk menumbuhkan
otoritas profesional guru adalah bagaimana memahami untuk kemudian
meninggalkan paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih dari 15
tahun, para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang
selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku. Secara intrinsik, proses
belajarmengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalahmasalah yang
kompleks dan tak terpecahkan, yakni asumsi stimulus-respons terlalu
menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesifik. Pendekatan
behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model
menghafal dan meng-copy masalah menjadi ciri lainnya dari model ini.
Hasil dari praktik behaviorisme dalam proses
belajarmengajar setidaknya meng hasilkan banyak tipologi guru jenis myopic yang berorientasi text-book dan
kurikulum atau guru daripada guru yang memiliki kemampuan membagi inspirasi.
Guru berjenis myopic jelas akan
mudah diintervensi kepentingan apa pun karena mereka hanya mampu melihat
hal-hal yang bersifat kekinian, tetapi tak memiliki kemampuan dalam melihat
jauh ke depan. Seperti para politikus, guru kita kebanyakan ialah orang-orang
yang kurang memiliki inisiatif yang inspiratif.
Kebanyakan guru saat ini mewakili tipologi guru kurikulum,
tetapi kurang memberi inspirasi karena tak memiliki keberanian untuk mengajak
anak didiknya untuk berpikir kreatif (maximum
thinking) serta melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali
keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer
andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan
aneka kebiasaan lama.
Guru-guru kita saat ini terperangkap dengan kompetensi
semu dan senangnya memba ngun batas-batas kekuasaan teritorial antara diri
mereka dan anak didik mereka. Perilaku internal jenis ini ialah belenggu yang
disebut sebagai destructive habits.
Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak
dimiliki, tetapi tak bisa melihat jauh ke depan tentang harapan anakdidiknya
secara manusiawi. Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan, hari ini
sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang
sangat signifi kan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan
emosional.
Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas
dalam struktur kurikulum sehingga anak-anak cenderung dididik untuk menjadi
semacam robot yang minim rasa.
Jika paradigma dan mentalitas guru tak mampu kita ubah
dengan pendekatan yang lebih manusiawi, apa yang kita takutkan tentang adanya
intervensi politik secara besar-besaran ke dalam relung pikir para guru jelas
akan menghambat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar