Migas, Minerba, dan Outlook 2016
Sunarsip ; Ekonom Kepala The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
14 Desember 2015
Dalam dua bulan menjelang
berakhirnya tahun 2015 ini, isu di seputar sektor energi dan sumber daya alam
(ESDM) banyak mewarnai dinamika perekonomian kita. Terakhir, kita dihebohkan
dengan polemik seputar masa depan keberlanjutan Freeport di Papua pascaberakhirnya
kontrak Freeport pada 2021.
Terlepas dari polemik seputar
kontrak Freeport tersebut, harus diakui bahwa sektor ESDM memang memainkan
peran penting bagi perekonomian Indonesia. Jatuh bangunnya sektor ini turun
menentukan jatuh bangunnya perekonomian Indonesia.
Selama 2015 ini, pertumbuhan
sektor ESDM tidak terlalu menggembirakan. Penyebabnya adalah rendahnya
harga-harga komoditas energi (migas dan batu bara), mineral, dan logam yang
disebabkan karena melemahnya permintaan (demand) atas berbagai komoditas
tersebut. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan sektor ESDM terpuruk alias
negatif. Pada kuartal III-2015, sektor pertambangan tumbuh negatif 5,6 persen
(year on year/yoy). Pertumbuhan negatif pada kuartal III-2015 ini melanjutkan
kinerja yang sama pada semester pertama 2015 yang juga tumbuh negatif 3,6
persen (yoy).
Seiring dengan jatuhnya kinerja
sektor ESDM ini, daerah-daerah yang memiliki ketergantungan pada komoditas
tersebut juga mengalami kinerja pertumbuhan yang negatif. Pada kuartal
III-2015, seiring dengan jatuhnya harga minyak, daerah penghasil minyak dan
gas bumi (migas) seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur juga mengalami
pertumbuhan negatif. Sementara itu, seiring dengan jatuhnya harga-harga dan
juga lesunya aktivitas pertambangan mineral yang disebabkan regulasi larangan
ekspor mineral, ekonomi Papua juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang
negatif.
Melemahnya kinerja pertumbuhan di
sektor ESDM ini pada akhirnya turut menyebabkan pelemahan kinerja di sektor
lainnya. Di sektor perbankan, misalnya, juga terjadi pemburukan kualitas
kredit yang dikucurkan ke sektor pertambangan. Hal ini terlihat dari
tingginya angka kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) kredit di sektor
pertambangan pada kuartal III-2015. Kalimantan, Papua, dan Maluku mengalami
peningkatan NPL tertinggi. Tingginya NPL Kalimantan disebabkan oleh
ketergantungan terhadap sektor pertambangan. Sementara, di Papua dan Maluku
peningkatan NPL disebabkan oleh sektor perdagangan yang juga terimbas oleh
lesunya sektor pertambangan.
Perkiraan saya, pada kuartal IV
2015 ini, kinerja sektor ESDM akan sama, yaitu masih melanjutkan pertumbuhan
yang negatif. Indikasinya sudah terlihat, seperti ditunjukkan oleh semakin
turunnya harga-harga komoditas energi (migas dan batu bara) dan juga harga
mineral dan logam dalam dua bulan terakhir.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada
November 2015, indeks harga energi (terhadap harga tahun 2010) tinggal 55,17
atau tinggal separuhnya. Sementara itu, harga mineral dan logam masing-masing
tinggal 63,81 dan 57,85. Ekspor migas selama Januari-Oktober 2015 juga
menurun 38,76 persen (yoy). Beruntung, impor migas mengalami penurunan lebih
tinggi, yaitu sebesar 42,08 persen sehingga secara neto defisit migas bisa
ditekan tinggal 5,4 miliar dolar Amerika Serikat. Pertanyaannya, akankah
kinerja sektor ESDM pada tahun 2016 nanti akan membaik?
Kita mencatat hampir seluruh
outlook menempatkan ekonomi Indonesia 2016 lebih baik dibanding 2015.
Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan bahwa perekonomian global pada 2016
akan sedikit lebih baik dibanding 2015. Dengan kata lain, terdapat peluang
ekonomi kita mengalami pembalikan positif (rebound). Dan peluang rebound ini
juga dimiliki oleh sektor ESDM. Perkiraan saya, kinerja ESDM di 2016, akan
sedikit lebih baik dibanding 2015.
Namun demikian, terdapat beberapa
risiko yang juga masih menghantui ekonomi kita. Pertama, dari sisi eksternal,
ekonomi global memang membaik. Sayangnya, perbaikan ekonomi global ini tidak
disebabkan oleh faktor Cina. Pada 2016, IMF memproyeksikan Cina hanya tumbuh
6,3 persen, jauh di bawah 2014 sebesar 7,3 persen dan 2015 sebesar 6,8 persen
(proyeksi). Padahal, Cina adalah negara terbesar tujuan ekspor kita, terutama
ekspor komoditas kita.
Kedua, risiko berlanjutnya
penurunan harga komoditas. Penurunan harga komoditas diperkirakan masih
berlanjut pada 2016 sejalan dengan berakhirnya super-cycle harga komoditas.
Perkembangan ini tentu harus dicermati karena dapat semakin menurunkan ekspor
Indonesia dan menghambat pemulihan ekonomi apabila kita tidak dapat
melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor berbasis sumber daya alam.
Di luar faktor eksternal tersebut,
beberapa faktor yang bersumber dari internal juga akan turut menahan laju
pemulihan kinerja sektor ESDM. Salah satunya adalah bersumber dari faktor
regulasi.
Pada Januari 2016, pelonggaran
ekspor mineral yang diberikan pemerintah pada perusahaan pertambangan mineral
dan logam tertentu akan berakhir. Dan bila pemerintah tidak lagi
memperpanjang izin ekspor mineral karena persyaratan membangun smelter belum
kunjung dipenuhi, dapat diperkirakan bahwa daerah-daerah yang memiliki
ketergantungan tinggi terhadap sektor pertambangan akan terimbas oleh
terhentinya aktivitas pertambangan di daerahnya tersebut. Kondisi ini, pada
akhirnya, akan meneruskan pertumbuhan negatif sektor pertambangan.
Setidaknya, pada kuartal I 2016, pertumbuhan sektor ESDM masih akan
melanjutkan tren negatif atau pertumbuhan positif tetapi cenderung tipis.
Mengingat pentingnya kedudukan
sektor ESDM ini, maka menjadi penting untuk segera ditemukan solusi bagi
percepatan kinerja sektor ini. Percepatan kegiatan hilirisasi di sektor
pertambangan mineral dan logam penting, karena ini menyangkut konsistensi
kita terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara (UU Minerba) kita. Kegiatan hilirisasi juga penting untuk menciptakan
nilai tambah bagi hasil pertambangan minerba kita. Oleh karena itu, berbagai
hambatan terkait dengan proyek hilirisasi ini perlu segera dicarikan jalan
keluar.
Kegiatan investasi di sektor
migas, baik hulu maupun hilir, juga perlu dorongan. Pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah insentif di bidang perpajakan untuk mendorong kegiatan
investasi di sektor hilir migas, termasuk bagi pembangunan kilang baru.
Namun, sektor hulu migas juga perlu memperoleh dorongan yang sama. Kegiatan
hulu migas saat ini sedang lesu, baik dari sisi produksi apalagi kegiatan
eksplorasi. Kegiatan eksplorasi membutuhkan investasi besar. Tanpa ada
insentif khusus, terutama di saat harga minyak masih sangat rendah, kegiatan
eksplorasi menjadi tidak menarik.
Indonesia memiliki potensi
cadangan migas yang besar yang belum dieksploitasi, terutama di kawasan lepas
pantai (offshore). Namun, kurangnya dukungan infrastruktur, kegiatan
eksploitasi (dan eksplorasi) di offshore menjadi kurang menarik. Di Malaysia,
untuk mendorong kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di offshore, diberlakukan
insentif fiskal yang berbeda dengan yang kegiatan di darat (onshore). Hal
inilah yang turut mendorong perkembangan yang pesat pada kegiatan hulu migas
di Malaysia.
Tampaknya, memang masih banyak hal
yang perlu dikejar untuk memulihkan kinerja sektor ESDM. Jatuhnya harga
komoditas memang menjadi tantangan. Namun, juga sekaligus menjadi momentum
untuk fokus pada percepatan kegiatan investasi di sektor ESDM. Dan saya
berpendapat bahwa fokus pada sasaran sektoral adalah kuncinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar