Mengembangkan Otoritas Profesional Guru
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 November 2015
SEORANG teman dari Kemendikbud dua minggu lalu
menelepon saya. Ia mengatakan bahwa ia bingung dengan rencana Mendikbud Anies
Baswedan yang hendak melaksanakan lagi uji kompetensi guru (UKG) terhadap
semua guru di Indonesia. Pasalnya, bukan hanya terletak pada substansi yang
hendak diujikan, melainkan juga menyangkut biaya yang tidak sedikit. Padahal,
data UKG tahun-tahun sebelumnya masih ada dan mangkrak hanya sebagai data
tanpa ada intervensi kebijakan yang serius terhadap guru dalam 2 tahun
terakhir. Data UKG sejak 2012 hingga 2014 relatif sama. Itu menandakan
Kemendikbud belum melakukan banyak perubahan berarti untuk meningkatkan
kapasitas guru.
Muncul dua pertanyaan dari saya, yaitu apakah
Menteri Anies Baswedan tidak percaya dengan hasil UKG yang sudah ada? atau
jangan-jangan Pak Menteri hanya menjalankan program yang sudah direncanakan
sebelumnya dalam rangka evaluasi kinerja kementerian yang daya serap
anggarannya masih rendah? Agar tak banyak spekulasi yang muncul, saya menebak
Menteri Anies ingin pelaksanaan UKG tahun ini lebih baik dari segi substansi
dan teknis pelaksanaannya.
Namun, itu tetap saja tak masuk di akal saya
karena kebijakan melakukan UKG setiap tahun tetap merupakan pemborosan karena
pemerintah belum maksimal melakukan intervensi terhadap data yang ada.
Otoritas profesional
dan pedagogis
Menyangkut profesionalitas guru, saya ingin bertanya
apakah aspek pedagogis guru bisa dites melalui serangkaian soal di komputer
seperti yang diujikan dalam UKG? Menurut saya, itu sangat absurd karena aspek
pedagogis akan lebih baik diujikan melalui serangkaian observasi yang terukur
dan sistemik di dalam sebuah sekolah. Karena itu, penting bagi seluruh
stakeholders pendidikan di Indonesia untuk memahami esensi profesionalitas
guru berdasarkan kemampuan manajerial sekolah di tiap-tiap wilayah. Mengapa?
Otoritas profesional berasumsi bahwa proses
pembelajaran merupakan suatu disiplin intelektual yang memerlukan
pengembangan dalam suatu wadah yang baik. Dengan kata lain, jika guru punya
otoritas, ia akan mudah dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak didiknya
maupun praktisi pendidikan lainnya. Di samping itu, otoritas profesional
dapat menunjukkan jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga
sekaligus pembelajar bagi anak didiknya. Ketiadaan otoritas bagi seorang guru
dapat diibaratkan seperti seorang dokter yang melakukan diagnosis tanpa
pengetahuan teori dan cara mendiagnosis pasien.
Salah satu syarat yang dibutuhkan untuk
menumbuhkan otoritas profesional guru ialah memahami dan kemudian
meninggalkan paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih dari 15
tahun para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang
selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku. Secara interinsik, proses
belajar mengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang
kompleks dan tak terpecahkan, yaitu asumsi stimulus respons terlalu
menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesifik. Pendekatan
behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model
menghapal dan meng-copy masalah
menjadi ciri lain dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah
berkembang sedemikian pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada
teori behaviorisme harus segera diubah ke pendekatan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai
kapasitas akademis guru dan siswa secara bersamaan.
Teori fungsional (functioning theory) berkembang dalam 20 tahun terakhir. Model ini
mensyaratkan otoritas guru tergantung dari siapa yang mengajar. Dalam bahasa
Jerome Bruner, model teori itu seperti fungsi seorang ibu yang berinteraksi
dengan anaknya melalui akuisisi bahasa (Bruner,
Learning the Mother Tongue, Human Nature, September 1978). Artinya, teori
ini melihat bahasa sebagai hasil interaksi seorang ibu atau guru ketika
menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri
seorang anak. Di dalam kelas, guru harus melihat penugasan dalam penulisan
bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi penulisan yang
mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap seorang
anak.
Karena itu, diperlukan cara untuk menguji
kompetensi profesional dan pedagogis guru dari jarak yang paling dekat dengan
siswa dan lingkungan sekolah. Ambil contoh bagaimana SSB melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap guru dan siswa. Bagi manajemen SSB, monitoring yang
paling utama justru harus dilakukan terhadap guru terlebih dahulu sebelum
mereka menguji dan mengevaluasi para siswa. Karena itu, kami beruntung
memiliki tools seperti sistem informasi sekolah terpadu online (sisto), yang
digunakan tidak hanya mela cak kemampuan siswa dalam belajar, tetapi juga
mendeteksi kemampuan mengajar para guru dari waktu ke waktu. Model monitoring
dan evaluasi guru jenis ini diyakini mampu meningkatkan kapasitas dan
kemampuan guru pada empat hal yang menjadi isu utama undang-undang guru,
yaitu kompetensi profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadian (sikap).
Untuk mengukur kompetensi profesional seorang
guru, sisto yang kami buat cukup mendata seberapa banyak buku, artikel,
jurnal, dan tulisan yang digunakan dan dibaca para guru ketika mereka meng
ajarkan materi tertentu. Guru tak hanya dibekali buku teks mata ajar tertentu
yang menjadi spesialisasinya, tetapi juga wajib membaca bahan-bahan lain
dalam rangka mendukung proses belajar mengajar yang lebih kreatif dan menyenangkan.
Setiap minggu guru SSB diwajibkan mengisi modul profesional guru yang ada
dalam sisto secara rutin untuk melihat berapa banyak bahan yang dibaca guru
tersebut selain buku teks.
Kompetensi pedagogis juga diukur dan
dievaluasi secara terencana dan berjenjang melalui modul supervisi dan
observasi kelas yang secara terus-menerus dilaku kan direktur sekolah, kepala
sekolah, guru, dan pengawas sekolah. Melalui instrumen supervisi dan
observasi kelas, direktur sekolah dan kepala sekolah bertugas dan bertanggung
jawab untuk mengevaluasi apakah kemampuan implementatif guru pada aspek metodologis
dan strategi pembelajaran berkembang atau tidak. Lagi-lagi, modul kompetensi
pedagogis yang terintegrasi ke dalam sisto ini juga terbuka untuk stakeholders lain yang ingin melihat
peta perkembangan pedagogis guru secara periodik.
Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning (2013)
menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya
mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis
berdasarkan struktur sosial budaya di tempat sekolah itu berada. Meskipun
kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul, menjadikan
sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah imperatif. Saya
menunggu kebijakan uji kompetensi guru (UKG) jenis lain, yaitu berbasis
sekolah seperti yang dilakukan SSB, tidak masif seperti sekarang dan menelan
biaya yang juga sangat besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar