The Finnish Way dan Pendidikan Aceh
Satia Prihatni Zen ;
Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 16 November 2015
SEJAK 2001, ketika OECD (Organization for Economic Co-operation and Development)
mengumumkan hasil ujian PISA (Program
for International Student Assessment) yang menempatkan Finlandia sebagai
salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, semua mata terarah pada negara
tersebut. Bagaimana tidak, sebuah negara kecil di Eropa berpenduduk 5,5 juta
yang terletak antara Swedia dan Rusia, bisa menjadi super-power pendidikan.
Sejak itu telah banyak publikasi yang menuliskan reformasi pendidikan di
Finlandia telah berlangsung semenjak 1970-an.
Namun, kekaguman dunia juga mendorong
tumbuhnya rasa ingin tahu akan apa yang disebut dengan the Finnish Way dalam mengelola pendidikan, yaitu pengelolaan
yang bercirikan kepercayaan, profesionalisme, dan tanggung jawab bersama (Hargreaves & Shirley, 2009). Dalam
hal ini, rasa ingin tahu tersebut juga mendasari banyak negara untuk mencoba
meniru apa yang dilakukan Finlandia dalam mengelola pendidikannya.
Dalam buku Finnish Lesson 2.0, Pasi Sahlberg
menggambarkan tiga paradoks pendidikan Finlandia, yaitu teach less, learn more (sedikit mengajar, banyak belajar); test less, learn more (sedikit ujian,
banyak belajar); dan enhanced equity
through growing diversity (meningkatkan kesamarataan melalui peningkatan
keragaman).
Waktu belajar siswa di Finlandia memang
relatif lebih pendek, juga bisa dilihat dari waktu guru-gurunya bekerja. Namun,
durasi yang relatif lebih pendek ini diisi dengan proses pembelajaran yang
berkualitas dan efektif. Guru-guru di Finlandia memiliki kompetensi, otonomi,
dan kredibilitas untuk memodifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan di
lapangan melalui pendekatan riset dan bekerja bersama lintas bidang studi.
Selain itu, tes dilakukan dengan minimal,
tetapi bukan berarti tidak dilakukan proses penilaian (assessment). Asesmen yang dilakukan berdasarkan pada pembelajaran
dan menekankan kepada pencarian informasi untuk membantu siswa dalam proses
belajar mereka, sehingga metode asesmen dapat menjadi sangat bervariasi dan
beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Asesmen berorientasi
untuk membantu siswa dan guru mengidentifikasi kemajuan siswa, tidak untuk mencari
nilai semata.
Kesamarataan dimaknai sebagai akses terhadap
pendidikan yang berkualitas dimiliki semua anak di Finlandia, tanpa melihat
latar belakang ekonomi, suku, dan daerah. Kualitas sekolah yang berada di
kota maupun di desa sama baiknya dan responsif terhadap kebutuhan siswa yang
berada di sekolah tersebut. Selain itu, kesamarataan juga dituangkan ke dalam
kebijakan pendidikan inklusif yang dimaknai sebagai proses pendidikan yang
menerima siswa dengan segala ragam kemampuan, kesulitan belajar sekecil apa
pun segera dideteksi dan diatasi bersama. Di Finlandia, istilah ready for school dimaknai sebagai
sekolah yang siap menerima anak, bukan anak yang siap sekolah (Sahlberg,
2014).
Paradoks pendidikan Finlandia didasari
kesamaan visi dan pandangan dari seluruh warga Finlandia yang dirangkum dalam
Finnish Dream, yakni semua anak di
Finlandia akan mengenyam pendidikan berkualitas yang dibiayai negara, tetapi
dikelola secara lokal. Hal ini juga didukung sektor kesehatan dan
kesejahteraan yang saling berkelindan, seorang anak yang sehat dan sejahtera
akan belajar dengan lebih maksimal. Kebijakan operasionalnya terlihat dari
bagaimana sekolah di Finlandia menyediakan makanan siang yang sehat untuk
seluruh muridnya, atau bagaimana orangtua diberikan waktu yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pengasuhan anak mereka yang baru lahir, tanpa harus
kehilangan penghasilan dalam bentuk cuti yang dibayar negara.
Aceh dan Helsinki
Lalu, apa hubungan pendidikan Finlandia
tersebut dengan Aceh saat ini? Hubungan emosional antara Aceh dan Finlandia
terjalin erat ketika proses perdamaian yang dilakukan pada 2005 akhirnya
terwujud dalam penandatanganan MoU perdamaian yang dikenal sebagai MoU
Helsinki. Setelah 10 tahun perdamaian terwujud di Aceh, banyak sektor yang masih
perlu dibenahi. Pendidikan ialah salah satu sektor yang memerlukan perhatian
serius.
Ketertinggalan Aceh dalam sektor pendidikan di
antaranya tergambar dari rendahnya kualitas lulusan, sebaran guru yang tidak
merata, kompetensi guru yang masih kurang, juga pengelolaan pembiayaan yang
belum maksimal. Berbagai kebijakan yang menelan dana tidak sedikit telah
dilakukan untuk mengatasi hal ini.
Sayangnya, banyak kebijakan yang telah
diputuskan di tingkat nasional dan provinsi mengalami kendala dalam pelaksanaan
di lapangan. Rendahnya kompetensi pendidik di Aceh ditengarai menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan hal itu. Namun, sudah saatnya pemerintah,
masyarakat, dan komunitas pendidikan berhenti saling tuding. Tindakan nyata
perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini. Bentuk aksi yang paling cepat dapat
dilakukan ialah melakukan peningkatan kapasitas guru.
Pada 2 Oktober 2015, sebuah terobosan
dilakukan untuk memulai langkah
tersebut. Perjanjian kerja sama yang
dilakukan antara Finland University dan Yayasan Sukma untuk menyediakan
program master untuk pendidikan guru, merupakan inovasi yang sudah
dinantikan. Program tersebut didasari kepercayaan bahwa kapasitas guru dalam
meneliti dan merefleksikan pembelajaran ialah kunci dari peningkatan
kapasitas yang relevan dengan kebutuhan lokal. Sering kita mendengar keluhan
dari guru yang merasa program peningkatan kapasitas saat ini kurang relevan
dengan kebutuhan mereka di lapangan, dan sulit dilakukan di sekolah.
Program Master
Degree for Teacher Education yang dilakukan Yayasan Sukma bekerja sama
dengan Finland University akan mengambil tempat di sekolah dengan porsi
penelitian dan refl eksi yang cukup besar, tanpa mencabut akar guru dari
lingkungan, tempat tugas dan peran guru tersebut dilakukan. Program diawali dengan
membuka wawasan guru sebagai pembelajar, orientasi program akan membiasakan
guru untuk menempatkan dirinya sebagai ahli dalam pendidikan dan
pembelajaran.
Selain itu, dalam program ini, guru akan
diberikan perspektif baru mengenai kurikulum yang dinamis, evaluasi terhadap
proses pembelajaran dengan menimbang konteks budaya dan masyarakat, serta
pendidikan inklusif yang mencakup keragaman kemampuan dan kebutuhan siswa
secara umum. Struktur kurikulum dan metode implementasi program tersebut
diharapkan dapat membekali guru dengan kemampuan dan keberanian untuk
memodifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa di kelas, dengan
mempertimbangkan kompetensi nasional dan global yang akan diperlukan siswa
untuk berkiprah di masyarakat. Hal ini tentu memerlukan proses, dan perlu
ditekankan bahwa meniru tanpa mempertimbangkan konteks lokal akan membawa
kita pada kekeliruan yang lain. Hal ini sudah sering dilakukan dalam
kebijakan sebelumnya yang berbuah kepada kemandekan kebijakan tersebut dalam
implementasi.
Andy Hargreaves (2009) dalam bukunya The Fourth Way menggambarkan hal ini
dengan baik, ketika mengatakan bahwa ada sebuah jalur yang dapat ditempuh
dalam menerapkan inovasi pendidikan yang diambil dari negara lain. Jalur
tersebut menekankan pada tujuan moral dari pendidikan dan komitmen yang
tinggi terhadap peningkatan kapasitas. Namun, Hargreaves juga mengingatkan
bahwa peningkatan kapasitas yang membabi buta tanpa mempertimbangkan
keterlibatan dari guru secara terus-menerus (sustain) serta hanya mempertimbangkan jalannya kebijakan
tersebut, pasti akan berakibat buruk terhadap sistem pendidikan suatu negara
dalam jangka panjang apalagi jika kebijakan itu dilakukan secara masif dengan
tujuan mengejar penerapan kebijakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar