Mengevaluasi Pemberantasan Terorisme
Hasibullah Satrawi ;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida);
Pengamat Politik Timur Tengah dan
Dunia Islam
|
MEDIA
INDONESIA, 17 November 2015
SERANGKAIAN aksi terorisme yang mengguncang
Prancis (dan beberapa negara lain seperti peledakan pesawat di Mesir yang
diduga kuat juga terkait dengan serangan terorisme dan bom bunuh diri
Libanon) tidak lama ini, menunjukkan bahwa pemberantasan terorisme yang
dilakukan banyak pihak selama ini masih jauh dari hasil yang diharapkan.
Alih-alih jaringan terorisme terus meluas ke banyak negara. Jaringan
terorisme global pun mengalami metamorfosis dari Tanzim Al-Qaeda menjadi IS
yang jauh lebih sadis dan brutal.
Oleh karena itu, sejatinya ada evaluasi
menyeluruh terhadap upaya pemberantasan terorisme yang ada, baik secara
nasional maupun global.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua kelemahan
paling mendasar dari upaya pemberantasan terorisme selama ini.
Perspektif tidak
holistis
Pertama, perspektif dan penyikapan yang tidak
holistis. Ibarat aliran air, sejatinya ada sebuah titik di dalam terorisme
yang bisa disebut sebagai hulu dan hilir. Ada bagian di dalam terorisme yang
dapat disebut sebagai `sebab akibat', sebagaimana hukum kausalitas. Hulu atau
sebab dalam terorisme adalah hal-hal yang membuatnya ada dan berkembang, baik
berbentuk ideologi, keadaan sosial, maupun yang lainnya, sedangkan hilir atau
akibat dalam terorisme adalah realitas keberadaannya.
Sejatinya, pemberantasan terorisme bersifat
komprehensif; dari hulu hingga ke hilir, dari sebab hingga ke akibat. Inilah
titik terlemah dari upaya pemberantasan terorisme selama ini, baik dalam
konteks nasional maupun global.Dalam konteks nasional, contohnya, upaya
pemberantasan terorisme acap tak menyentuh sisi sosial ekonomi, khususnya di
kalangan keluarga tidak mampu. Padahal, seperti terjadi di beberapa kasus,
kondisi sosial, ekonomi, dan keluarga seseorang sangat berpengaruh bagi jalan
kekerasan serta terorisme yang diikutinya.
Hal yang justru menjadi concern utama pemberantasan terorisme di Indonesia ialah
penindakan, pembongkaran jaringan, dan pencegahan yang bersifat sosial
keagamaan. Hal ini pun tidak berjalan optimal, salah satu sebabnya adalah
kurangnya sinergi di antara lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi
seperti di atas. Sebab yang lain adalah lemahnya perundang-undangan yang ada
sebagai payung hukum dalam pengguguran janin-janin terorisme sejak di dalam
`kandungannya'.
Hal kurang lebih sama (tapi dengan titik tekan
yang berbeda) juga terjadi dalam upaya pemberantasan terorisme di ranah
global. Upaya pemberantasan terorisme yang ada kurang mencakup persoalan
ketidakadilan global dan penyelesaian konflik Timur Tengah yang selama ini
menjadi bagian dari hal-hal yang menetaskan pelbagai macam jaringan terorisme
di kawasan. Dalam konteks IS yang terlahir dari krisis Suriah, contohnya,
negara-negara dunia lebih mendahulukan upaya-upaya untuk menghancurkan
jaringan terorisme baru itu, baik dengan menyerang langsung maupun memburu
simpatisannya di negara masing-masing, sedangkan konflik Suriah sebagai
sumber utamanya, tak jelas upaya penyelesaiannya sampai hari ini.
Lemahnya peran korban
Kedua, lemahnya perhatian dan peran korban
dalam upaya pemberantasan terorisme. Harus diakui bersama, sejauh ini upaya
pemberantasan terorisme belum menghadirkan perspektif korban secara lebih
terorganisasi sekaligus memberikan perhatian terhadap penyelesaian
masalahmasalah yang mereka hadapi akibat musibah terorisme. Padahal, korban
terorisme merupakan cermin bagi kejahatan terorisme yang dapat dilihat secara
jelas oleh masyarakat. Pelbagai macam kejahatan dan sadisme terorisme
tergambar secara sangat jelas di dalam diri maupun keluarga para korban.
Sementara pada waktu yang bersamaan, upaya
pemberantasan terorisme yang ada, acap memberikan peran dan perha tian yang
sangat besar terhadap pihak-pihak lain terkait dengan terorisme (di luar
korban), mulai dari akade misi, peneliti, para ahli, pengamat, aparat, hingga
mantan teroris (atau biasa disebut dengan istilah mantan pelaku).
Tentu, peran dari pihak-pihak di atas (di luar
korban) sangatlah vital dalam upaya pemberantasan terorisme. Akan tetapi,
tanpa memberikan peran dan perhatian yang sama terhadap para korban, hal di
atas bisa menjadi kontradiktif. Dikatakan demikian, karena korbanlah yang
benar-benar merasakan pelbagai kejahatan yang timbul dari aksi terorisme.
Minimnya peran dan perhatian terhadap korban
seperti di atas tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak
negara lain. Beberapa bulan lalu, contohnya, dalam acara workshop tentang
penanggulangan terorisme yang diadakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, penulis
pernah satu panggung dengan salah satu korban bom dari Prancis bernama Latifa
ibn Ziaten. Beliau ialah perempuan muslimah taat yang harus kehilangan
anaknya (berprofesi sebagai aparat keamanan Prancis) akibat menjadi korban
bom di Prancis beberapa tahun lalu.
Dalam presentasinya, ibu berdarah Maroko itu
mengakui telah turun ke banyak sekolah dan kampus untuk berkampanye tentang
bahaya terorisme kepada masyarakat luas. Namun demikian, aktivitas yang
dilakukan masih bersifat individual bukan gerakan yang bersifat masif,
terstruktur, dan terorganisasi.
Pemberdayaan korban
Oleh karena itu, penguatan, pendampingan, dan
pemberdayaan para korban terorisme sangatlah penting dalam rangka menghadapi
ancaman terorisme di tengah-tengah masyarakat. Harus jujur diakui, sejauh ini
hanya sedikit pihak yang memberikan perhatian terhadap peran korban dalam
menghadapi ancaman terorisme di tengah-tengah masyarakat.Lebih sedikit lagi
ialah mereka yang memberikan perhatian terhadap aneka macam persoalan yang di
hadapi korban setelah mengalami musibah yang ada.
Berdasarkan pendampingan yang dilakukan
Aliansi Indonesia Damai (Aida) terhadap komunitas-komunitas korban bom di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, perhatian negara pun sangat kurang
terhadap mereka, baik pada saat-saat kritis sesaat setelah kejadian bom
maupun pada masa-masa sulit sesudah kejadian tragis yang dialaminya; mulai
dari pengobatan hingga menghadapi aneka persoalan yang muncul kemudian
seperti dijelaskan di atas.
`Fajar harapan' baru menyingsing di dunia para
korban bom pada akhir 2014 bersamaan dengan disahkannya UU No 31 tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini memberikan harapan besar kepada
para korban bom karena menggariskan sejumlah hak, seperti hak kompensasi,
restitusi, rehabilitasi, dan yang lainnya (Pasal 5-7). Semua pihak sejatinya
memberikan dukungan dan mempercepat proses implementasi terhadap UU tersebut,
mengingat penantian para korban bom yang sudah terlalu lama atas kehadiran
negaranya sendiri.
Melalui perspektif holistis yang disertai
dengan pendekatan komprehensif (termasuk perhatian dan peran korban), kita
harapkan upaya pemberantasan terorisme akan berjalan secara lebih efektif.
Setidak-tidaknya tidak menjadi `peperangan' yang nyaris tanpa ujung seperti
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar