Senin, 03 Agustus 2015

PinPinBo

PinPinBo

Samuel Mulia ;   Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 02 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang teman lama terbaring di rumah sakit, dengan wajah yang semringah. Ia kelihatan supersehat, tak ada gambaran kalau ia menderita. Padahal, kondisi jantungnya mengalami penyempitan di tiga tempat. Maaf. Dua tempat mengalami penyempitan sebesar 30 persen dan 60 persen, satu tempat lagi sudah tersumbat 100 persen.

Anda jangan tanya berapa kadar kolesterol dan asam urat di dalam darahnya. Dan jangan bertanya apakah selama ini ia berolahraga. La wong saya mendengar ceritanya yang disampaikan dengan wajah sehat walafiat itu tidak merasa iba, tetapi malah menimbulkan reaksi marah.

Jangan sampai kecewa

Saya itu marah bukan karena ingin marah. Alasan pertama saya marah karena saya tak ingin ia mengalami yang saya alami, menyia-nyiakan hidup dengan cara yang tidak disiplin. Alasan berikutnya, saya marah karena saya tahu dia itu orang pandai, otaknya encer, pengalaman profesionalnya tokcer, menguasai beberapa bahasa asing, manusia yang suka gawai dengan segala teknologinya.

Ia bahkan mampu membenarkan komputer rusak dengan kerumitan permasalahannya, kok yaaa… mengurus komputer bisa, mengurus badannya enggak bisa. Kok yaaa… gawai disayang-sayang, perusahaan dicintai setengah mati, kerja pontang-panting, karier dikejar, kok bisa dengan otak encer itu tidak malah memilih untuk pontang-panting menyayangi dan mencintai diri sendiri setengah mati. Bukan katanya, siapa lagi yang bisa mencintai diri sendiri kalau bukan kita sendiri. Ya, kan?

Malam waktu saya menjenguknya, di tengah mulut saya yang tak berhenti bicara, saya langsung mengatakan kepadanya: ”Kamu itu orang yang pin-pin bo. Pintar-pintar bodoh.” Pintar-pintar bodoh itu adalah sebuah perilaku yang dilakukan orang yang pandai, tetapi dengan rela hati memilih untuk menjadi bodoh dengan menelantarkan tubuhnya sendiri dan menggunakan sejuta alasan agar kebodohannya bisa dianggap sebagai sebuah kepandaian dan kebenaran.

Di dalam ruang tempatnya berbaring, saya seperti sedang mengajar murid yang bandelnya setengah mati. Mengapa saya melakukan ”kuliah malam” itu? Karena saya itu pernah tidak mengurus kesehatan dengan baik. Karena saya itu selalu berpikir bahwa saya tak akan pernah sakit. Karena pada akhirnya saya pernah merasakan yang namanya nyaris meninggal.

Kalau meninggal dalam keadaan sudah melakukan pekerjaan rumah, itu tak jadi masalah dan tak menimbulkan kekecewaan. Yang menimbulkan kekecewaan itu adalah kalau harus meninggal dalam keadaan belum sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Dan kemudian menyesal di menit terakhir sambil berucap lirih. ”Seandainya dari dulu saya itu gini, saya itu gitu, saya itu ginigitu.”

Jangan sampai tidak mencintai

Maka saya tak ingin teman saya menyia-nyiakan hidupnya yang masih produktif itu. Apalagi dengan teknologi sekarang, dengan gawai yang ada 24 jam di genggaman, dan teman saya memiliki dua gawai sekaligus di tangannya, ia bisa mengetahui sejuta informasi yang berhubungan dengan dunia kesehatan.

Saya yakin ia lebih banyak menggenggam gawainya daripada menggenggam tangan orang yang mencintainya Saya itu pernah tersenyum membaca sebuah pesan. Begini. I wish you look at me like the way you look at Instagram. Maka pentingnya menjadi sehat itu karena, selain bisa lebih banyak menggenggam gawai, bisa lebih banyak menggenggam manusia yang mencintai kita. Karena menjadi sehat itu, kita bisa melihat berjuta kali orang yang kita cintai seperti kita bisa melihat sejuta posting-an di media sosial.

Karena menjadi sehat itu adalah seperti mengatur kondisi keuangan. Tak ada di dunia ini ada manusia yang mau miskin dan sengsara. Hanya saja, waktu menjalani keinginan itu yang dipikirkan lebih banyak memberi porsi pada ketidakmauan menjadi sengsara secara keuangan, bukan pada ketidakmauan sengsara secara kesehatan.

Menjadi sehat itu membuat seseorang bisa menjadi manusia yang produktif. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Jadi, secara tak langsung, menjadi tidak sehat itu sungguh perbuatan yang egois. Karena sebagai makhluk sosial, saya juga harus bisa mempunyai kegiatan sosial yang artinya melakukan sesuatu untuk orang lain.

Nah, untuk melakukan kegiatan untuk membantu orang lain dan menjadi tidak egois, tidak bisa bermodalkan kadar asam urat dalam darah sampai mencapai nilai 13 sehingga jalan saja kesakitan atau malah tidak bisa jalan sama sekali.

Apalagi buat mereka yang sudah menikah dan memiliki tanggungan, menjadi tidak sehat itu adalah beban yang Anda berikan di bahu anak-anak dan pasangan Anda. Itu egois banget namanya meski Anda bisa membelikan mereka mobil mewah dan tanah sekian hektar.

Menjadi sehat itu mudah sekali, masalahnya bukan soal mau atau tidak mau, persoalan terbesarnya adalah saya dan Anda harus mengerti bahwa mencintai diri sendiri terlebih dahulu itu adalah penting sekali. Sehat itu diawali dari mencintai, bukan dari membaca buku atau mendengar nasihat orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar