Rabu, 05 Agustus 2015

Memilih Pemimpin NU di Akhir Zaman

Memilih Pemimpin NU di Akhir Zaman

A Halim Iskandar ;   Ketua DPW PKB Jawa Timur; Ketua DPRD Jawa Timur
                                                      JAWA POS, 01 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BERMULA dari pesantren Demangan di Madura asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan yang kemudian mengader ulama-ulama besar, mulai Kyai As’ad Syamsul Arifin di Jawa Timur hingga Abah Sepuh di Jawa Barat. NU lahir dari jaringan pesantren yang kemudian menjelma menjadi jaringan organisasi para ulama yang fakih, wira’i dan zuhud. Dengan kata lain, NU merupakan pesantren besar dan bukan sekadar ormas semata. Tanpa adanya pesantren, maka takkan berdiri NU. Pesantren pulalah yang mengader ulama. Tidak ada ulama yang alim berkat didikan universitas. Ulama, pesantren, dan NU merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Muktamar Ke-33 NU di Jombang ini harus menjadi momentum kebangkitan besar pesantren sekaligus ulama.

Membangun kaderisasi NU

Tercatat sejak era Reformasi dimulai, tiba-tiba NU secara mengejutkan banjir kader. Banyak tokoh besar, akademisi, birokrat dan pejabat, anggota parlemen, pengusaha, dan juga politisi tidak takut menyatakan dirinya sebagai warga NU, kemudian berusaha dan ”dimasukkan” dalam struktur kepengurusan NU. Artinya, era Reformasi telah menghapus rasa rendah diri warga NU yang selama Orde Baru takut atau ditakut-takuti untuk mengakui sebagai nahdliyyin.

Booming kader itu baik dan pernah dipraktikkan dalam sejarah NU masa lalu. Ketika NU lepas dari Masyumi dan menjadi kontestan pemilu, saat itu tokoh Masyumi Isa Anshari bertanya kepada Kiai Wahab Hasbullah tentang minimnya kader NU yang siap mengisi pos-pos politik dan pemerintahan. Kiai Wahab dengan enteng menjawab, ”Jika saya akan membeli mobil baru, penjual mobil takkan bertanya kepada saya ’apa tuan bisa mengemudi?’ Pertanyaan seperti itu tidak perlu. Sebab, andai kata saya tidak dapat mengemudi, saya bisa memasang iklan mencari sopir, nanti datang pelamar-pelamar sopir antre di depan rumah saya.” (Andree Feillard:1999:46)

Hari ini NU tidak perlu memasang iklan mencari kader baru. Arus urbanisasi santri desa serta NU-isasi yang massif telah mendorong orang gampang sekali masuk NU dan tibatiba menjadi pengurus penting. Namun, patut menjadi catatan bahwa NU di zaman Kiai Wahab Hasbullah adalah NU yang menempatkan posisi ulama dalam status begitu penting. Alhasil, meski figur ironik seperti Subhan Z.E. muncul menghentak, hal itu tidak serta-merta melikuidasi posisi pesantren salaf serta peran Kiai Wahab Hasbullah atau Kiai Idham Khalid.

Pertanyaannya, bagaimana Muktamar Ke-33 NU dapat mengembalikan dan mempertahankan marwah pesantren dan kiai. Salah satunya, penerapan mekanisme AHWA. Bagi penulis, penerapan AHWA bukan semata-mata mekanisme tersebut merupakan mekanisme yang sesuai dengan asas musyawarah mufakat dalam AD/ART NU maupun sekadar menghindari intervensi politik dan isu politik uang. Lebih penting dari semua itu, AHWA pada dasarnya sejenis cara untuk menempatkan NU agar selaras dengan manhaj Aswaja, baik dalam berpikir, berperilaku, maupun beribadah.

Dalam logika ijtima’iyah Aswaja, jamak diketahui bahwa pemimpin baik akan lahir dari masyarakat yang baik. Jika masyarakat saleh, pemimpinnya saleh. Terkenal kisah Sayyidina Ali yang diprotes rakyat tentang situasi pemerintahan Sayyidina Ali yang kisruh dan tidak tenteram sebagaimana masa Sayyidina Abu Bakar dan Umar. Sayyidina Ali dengan diplomatis menjawab, ”Jika di masa Abu Bakar kehidupan tenteram karena yang menjadi rakyat adalah saya dan sahabat-sahabat lain, di masa saya tidak tenteram karena yang menjadi rakyat 
adalah kalian semua.”

Dalam kepemimpinan NU saat ini, tidak sedikit di antara kita menjumpai kasus-kasus ironis seperti rais syuriah dan ketua tanfidziyah yang tidak memiliki kedalaman ilmu agama, bahkan tidak dapat membaca kitab-kitab kuning. Dulu, jangankan pengurus tingkat cabang atau wilayah, banyak pengurus tingkat ranting yang hafal Alfiyah. Kini hal itu sulit dijumpai. Lebih parah lagi, terkadang ketua tanfidziyah, bahkan rais syuriah, adalah orang yang tidak paham pesantren dan terkadang salah memahami bahwa NU sebagai jamiyyah bukanlah parpol.

Karena itu, penulis berpandangan bahwa AHWA layak diterapkan bukan hanya dalam muktamar, namun juga dalam konferwil, konfercab, bahkan sampai pemilihan pimpinan tingkat ranting. AHWA dapat dipilih dari kiai-kiai pesantren salaf yang bertebaran di Nusantara. Para kiai yang benar-benar ulama itulah yang kemudian menetapkan rais syuriah sekaligus ketua tanfidziyah. Di tangan para ulama, pemimpin yang tidak fakih, tidak wara’ tidak akan terpilih. Berbeda jika mekanisme pemilihan diserahkan kepada warga NU yang bisa jadi memilih tidak berdasar atas kriteria kealiman dan kezuhudan, namun hanya berdasar logika dangkal dan oportunistis.

Para ulama anggota AHWA harus figur yang alim dan dipilih dari pesantren. Pesantren-pesantren yang memiliki kriteria, antara lain, memiliki kesejarahan dengan NU, berkurikulum salaf/mengajarkan kitab-kitab salaf, dan memiliki santri yang banyak, minimal 1.000 santri. Para ulama AHWA juga harus memahami NU sebagai jamiyah nahdliyyah.

Selain diterapkan dalam mekanisme pemilihan pengurus di semua level, mulai ranting hingga wilayah, dalam pemilihan ketua tanfidziyah dan rais syuriah, menurut hemat kami, AHWA seharusnya diterapkan dalam mekanisme pemilihan ketua umum PB NU serta ketua tanfidziyah di level wilayah dan cabang. Alangkah indahnya jika ketua umum dan rais am terpilih berdasar logika bersih dari hati nurani yang sehat para ulama anggota AHWA. Alangkah bijaknya jika ketua umum dan rais am terpilih berdasar isyarat langit melalui istikharah dan munajat ulama-ulama saleh itu. Di masa ini, pengurus yang terpilih berdasar restu langit mutlak dibutuhkan di tengah besarnya tantangan yang dihadapi Aswaja.

Karena itulah, hemat penulis, Muktamar Ke 33 NU ini harus mengatur penerapan AHWA sampai level kepengurusan NU paling bawah serta menghasilkan aturan teknis tentang penerapan AHWA seperti merumuskan kriteria pengurus NU. Di antara kreteria tersebut, memiliki kedalaman ilmu agama, atau alim dan memahami dunia pesantren salaf. Selain itu, pucuk-pucuk pimpinan NU harus mandiri secara ekonomi. Mengapa harus mandiri secara ekonomi karena martabat ulama akan tetap terjaga jika para pengurus NU tidak menjadi manusia proposal yang terkadang menggadaikan martabat ke-NU-annya.

Kemandirian ekonomi akan meninggikan martabat itu, mirip dhawuh Imam Syadzili: ”Aku ini kaya. Karenanya, wahai para penguasa, jangan kasihani aku”. Dhawuh itu sering dilontarkan Imam Syadzili bersamaan dengan pameran materi yang dimilikinya.

Ulama NU yang kaya sifat beraninya takkan turun, tetap kritis, dan mandiri terhadap penguasa. Hal penting lainnya adalah pengurus NU semua tingkatan harus memahami NU secara mendalam serta memahami betul bahwa NU bukan partai politik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar