Film Nasional Versus Bioskop
A Rahim Latif ;
( Tidak ada penjelasan )
|
KOMPAS,
02 Agustus 2015
”Mas Jokowi, iki tenan loh, Pak. Film Indonesia ora duwe
bioskop.”
Slamet Rahardjo Djarot
Menjelang perayaan Hari Jadi Ke-65 Film Nasional pada 30
Maret 2015, sejumlah budayawan dan sutradara/produser film Tanah Air
mencemaskan kondisi perfilman kita akibat perilaku sekelompok bioskop yang
dinilai diskriminatif, tidak etis. Tampaknya Garin Nugroho kini sudah ”dewasa”. Dia
mengklaim film nasional yang masih ada penontonnya diturunkan/dicabut
pemutarannya oleh pihak bioskop dengan semena-mena, sementara film impor
Hollywood terus diputar walau sudah tidak ada penonton. Perilaku tidak fair
ini membuat Garin memohon Presiden Joko Widodo segera turun tangan membenahi
ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan perfilman kita.
Adapun Slamet Rahardjo Djarot meminta perhatian Presiden
saat menerima penghargaan Pencapaian
Seumur Hidup pada FFI 2015 di Palembang. Untuk pertama kalinya mendapat
kehormatan dihadiri oleh Presiden RI.
”Flag carrier”
Sineas sekaliber Garin Nugroho dan Slamet Rahardjo sungguh
sadar bahwa seni film adalah flag
carrier-nya kebudayaan bangsa. Mereka berhak sepenuhnya untuk menancapkan
bendera kebudayaan itu di setiap jengkal tanah bumi pertiwi. Maka, apabila
ada bioskop atau kelompok bioskop yang menghalangi, melecehkan, bahkan sampai
menolak penancapan bendera tersebut di bumi tempat bioskop itu berpijak,
apakah ini tidak merupakan keangkuhan dan suatu kesalahan besar?
Hans Gunadi, President Director Cinema 21, disertai
Corporate Cinema 21 Catherine Keng berkunjung ke kantor Redaksi Kompas di
Jakarta pada Selasa (7/4). Pada kesempatan itu Hans menyatakan bahwa film
dalam negeri tetap mendapatkan tempat untuk diputar di bioskop-bioskop Cinema
21 karena hal itu merupakan komitmen Cinema 21 untuk memajukan perfilman
Indonesia.
Benarkah? Simaklah beberapa dari sekian fakta yang
kontradiktif berikut ini: hingga sekitar sepuluh tahun lalu bioskop Blok M
Plaza 21 sudah menjadi sangat potensial bagi film nasional. Bahkan, pernah
terjadi seluruh enam layarnya memutar hanya film nasional. Namun, itu tak
pernah terjadi lagi dan mayoritas film yang diputar di bioskop tersebut
adalah film impor saja. Mengapa?
Selanjutnya, apabila Cinema 21 serius bertekad hendak
memajukan perfilman nasional seperti yang dikemukakan Hans tadi, mengapa
hampir setiap kali Cinema 21 mengiklankan pembukaan bioskop baru berlayar 4,
6, dan 8, tidak memutar film nasional? Apakah film nasional tidak layak
diputar saat pembukaan bioskop tersebut? Satu hal mencolok ialah mayoritas
iklan film nasional tidak dimuat di The
Jakarta Post, sementara iklan semua film India terpampang di TJP sebesar
dua kolom. Mengapa?
Hans juga mengatakan, ”lebih mudah membuat keputusan
menurunkan film impor dari layar ketimbang menurunkan film nasional”. Memang
mudah sekali menurunkan film impor AS non-Major Company, apalagi yang mengimpor
film tersebut adalah PT Omega Film yang sesungguhnya terkait dengan Cinema
21. Film Major Company baru bisa diturunkan apabila persentase penonton di
bawah persentase yang ditetapkan oleh sang Major Company. Menurunkan film
mereka secara sembrono akibatnya malah sangat fatal bagi bioskop.
Jangankan menurunkan, menolak tidak memutar film yang
sudah dijadwal oleh Major Company mereka tak kuasa. Hal ini terbukti ketika
mereka ”hanya” memasang satu film dari Hollywood, Ant-Man, saat liburan panjang Idul Fitri sebagai keberpihakan
mereka terhadap film negeri sendiri (Kompas, 11/7). Patut dijelaskan di sini
bahwa selama bulan puasa, bioskop sama sekali tidak memutar film nasional.
Padahal, sudah menjadi semacam kebiasaan bertahun-tahun bioskop memutar 8 hingga
10 judul film nasional di luar bulan puasa.
Pertanyaannya, mengapa hanya empat film nasional yang
diputar menjelang Lebaran? Apakah bioskop tidak bisa menjadikannya sebagai
bebas film impor? Memang tidak bisa! Menurut majalah AS, Time, edisi 01-06 2015, jadwal pemutaran Ant-Man sudah dipatok secara serentak pada 17-7-2015! Jadi,
janganlah berbicara bioskop memihak film negeri sendiri karena hanya memutar
satu film impor, yaitu Ant-Man
tadi.
Semoga pemutaran empat film nasional menjelang Lebaran, Surga yang Tak Dirindukan, Mencari Hilal,
Comic 8 Kasino Kings (Part-I), dan Lamaran,
menyemut penontonnya dan tidak malah ditelan oleh ”Manusia Semut”!
Akhirnya Hans berharap agar pembuat film nasional
memproduksi film berkualitas dan disukai masyarakat. Jika film kekurangan
penonton, pengusaha bioskop sulit bertahan. Mengapa hanya film nasional yang
diberi embel-embel berkualitas dan disukai masyarakat, sementara film impor
tidak? Apakah mayoritas film India berkualitas dan disukai? Rasanya hanya My Name Is Khan dan PK memenuhi
kriteria tersebut.
Masih terkait dengan kunjungan ke Redaksi Kompas,
Catherine Keng menambahkan, ”meski jumlah film impor lebih besar daripada
film nasional, belum tentu berkesempatan diputar di bioskop di Indonesia”. Terus
terang saja, Catherine tidak jujur. Faktanya, tatkala sang bagian akuisisi
film bertransaksi untuk film Twilight yang sebanyak tiga episode itu, pihak
Summit Pictures yang menangani penjualan Twilight dalam keadaan apa pun tidak
mau melepasnya tanpa film-film ”kawinan”.
Nah, film-film kawinan itulah yang tidak diputar. Sama
halnya dengan film India, Kites, yang distributornya di AS ”mengawinkannya”
dengan film India lain, yaitu Welcome
Abba. Akibatnya, Welcome Abba
harus tetap dibeli sekalipun tidak diputar. Inilah yang diistilahkan ”Paid but unplayed”.
Perombakan total
Kehadiran pemerintahan baru—pemerintahan Jokowi-JK—saat
ini ternyata masih sebatas euforia. Benar bahwa untuk pertama kalinya
Presiden RI menghadiri FFI di Palembang akhir tahun lalu, bahkan kemudian
Presiden RI mengundang para insan film untuk diskusi di Istana sambil nonton
film nasional.
Meski ada semangat dari Presiden, bahkan dengan keras
memberi batas waktu satu tahun kepada menteri dan pihak-pihak yang mengatur
perfilman nasional, toh belum juga dirasakan langkah-langkah konkret yang
memberi harapan. Ucapan dan semangat Presiden seakan berhenti setelah para
insan film nasional menuruni tapak tangga Istana untuk pulang. Tak terlihat
langkah strategis apa pun yang dilakukan eksekutif untuk menggalakkan film
nasional.
Agar gertakan Presiden bahwa pada 30 Maret 2016 hari jadi
kebangkitan film nasional menjadi kenyataan dan bukan lagi sebuah impian
kosong, upaya pembenahan perfilman nasional secara komprehensif dan
struktural wajib sesegera mungkin dilakukan. Segala sesuatunya sudah terang
benderang dan terlihat secara kasatmata. Lantas tunggu apa lagi?
Sekaranglah saatnya perombakan total atau tidak sama
sekali, Pak Presiden! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar