Revisi Peraturan Pemerintah
Azyumardi
Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Penerima
MIPI Awards 2014 untuk Kategori Pemerhati Pemerintahan
dari
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Presiden Joko Widodo agaknya
kembali melakukan kebijakan yang bagi sebagian kalangan disebut blunder. Kali
ini ketika Jokowi memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya (3/7/2015) merevisi atau
mengubah bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015
tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu belum lama ditandatangani Presiden,
persisnya 30 Juni 2015.
Revisi PP JHT tampaknya terkait
erat dengan protes dan demonstrasi kaum pekerja yang mulai marak begitu
mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka berdemo tidak hanya di tengah puasa
Ramadhan yang panas, tetapi juga mengancam bakal mengerahkan massa besar awal
Agustus 2015.
Mereka, misalnya, menuntut untuk
bisa mencairkan dana JHT sebulan setelah keluar dari tempat bekerja. Tuntutan
buruh ini kemudian menjadi substansi ”arahan” Presiden untuk merevisi PP JHT.
Bukan hanya kali ini Presiden
mengubah peraturan atau keputusan yang ditetapkannya. Sebelumnya, kontroversi
muncul terkait Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Uang Muka
Pembelian Kendaraan bagi Para Pejabat Tinggi Kementerian/Lembaga/Komisi.
Setelah marak protes dan heboh pro-kontra, Presiden segera mencabut perpres
tersebut (6/5/2015).
Masih ada lagi perpres bermasalah,
misalnya Perpres No 190/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja
yang dicabut dengan penerbitan perpres untuk setiap kementerian, Perpres No
190/2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang direvisi lewat Perpres No
26/2015, dan Perpres No 6/2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif yang ternyata
tidak jelas kelembagaannya.
Dari satu segi, revisi, perubahan,
atau pencabutan PP atau perpres memperlihatkan sensitivitasPresiden terhadap
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat—apalagi aspirasi itu diekspresikan
secara keras.
Namun, di sisi lain, perubahan PP
atau perpres dalam waktu tak terlalu lama memperlihatkan kurangnya pengkajian
cermat, mendalam, dan komprehensif berbagai hal yang mau diatur dan
ditetapkan Presiden. Muncul juga kesan, rancangan PP atau perpres itu disiapkan
secara terburu-buru.
Ini mencerminkan kelemahan
koordinasi antarinstansi, lembaga, dan tenaga ahli terkait hal dan masalah
yang mau diatur lewat keputusan Presiden. Akibatnya, draf PP atau perpres
sampai ke meja Presiden belum sempurna, masih ada poin krusial yang terbukti
mengundang reaksi keras masyarakat.
Kasus ini sekaligus
mengindikasikan, Presiden tidak membaca naskah PP atau perpres yang
ditandatangani secara cermat. Presiden terlihat percaya dan tergantung
sepenuhnya kepada paraf pejabat kementerian terkait, Sekretariat Negara, atau
Sekretaris Kabinet.
Sudah menjadi praktik lazim,
pejabat tinggi seperti menteri membubuhkan parafnya begitu saja setelah
melihat ada paraf dirjen atau staf ahli, misalnya. Namun, ketika Presiden
menandatangani PP atau perpres, publik sulit menerima alasan apa pun; apakah
karena Presiden tidak cermat membaca pasal demi pasal, halaman demi halaman,
atau ayat demi ayat peraturan itu. Publik mengharapkan Presiden betul-betul
cermat sehingga terhindar dari kesalahan yang tidak perlu.
Presiden juga tidak bisa beralasan
kasus seperti itu terjadi karena lemahnya koordinasi antarpejabat pada
kementerian/lembaga terkait sehingga peraturan yang sudah ditandatangani
seolah nyelonong begitu saja.
Apa punpenyebabnya, revisi atau perubahan
PP atau perpres dalam waktu cepat memunculkan citra flip flop bagi Presiden. Istilah flip flop yang lazim digunakan dalam politik Amerika Serikat atau
U-turn di Inggris atau backflip di Australia dan Selandia Baru mengacu pada
sikap atau perilaku pejabat atau politisi yang mudah dan
tergopoh-gopohmengubah pendapat atau keputusannya.
Perubahan sikap, posisi, dan
kebijakan secara cepat dalam konteks flip
flop biasanya disertai upaya justifikasi. Pejabat atau politisi
bersangkutan mengklaim perubahan itu konsisten—antara kebijakan awal dan
perubahan yang dilakukan. Bahkan, mereka berhujah, revisi atau perubahan itu
perlu untuk menciptakan keadaan lebih baik lagi.
Terlepas dari apakah justifikasi
dan klaim itu bisa diterima publik, flip
flop memunculkan citra pejabat yang mudah berubah, tergantung ”arah
angin”. Jika angin terlalu kencang—seperti protes dari kalangan publik—dia
segera mengubah pandangan, posisi, dan kebijakannya. Terlihat dia tidak kokoh
(firm) dengan pandangan, sikap, dan keputusan yang telah dia ambil
sebelumnya.
Langkah flip flop atau U-turn tidak menguntungkan bagi konsistensi,
keteguhan, dan wibawa pemerintah. Jika kasus seperti ini berlanjut,
kredibilitas dan wibawa Presiden menjadi taruhan. Sudah waktunya Presiden
meningkatkan koordinasi dan harmonisasi kementerian serta lembaga. Koordinasi
mutlak tidak hanya terkait peraturan, tetapi juga dalam berbagai fungsi dan
program.
Presiden perlu lebih memfungsikan
atau menugaskan khusus pejabat tertentu di sekitarnya untuk betul-betul memelototi
setiap PP, perpres, atau keppres sebelum dia tanda tangani. Hanya dengan itu,
Joko Widodo terselamatkan dari citra flip
flop yang tak menguntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar