Menuju Kebijakan Energi Bebas Kepentingan
Andang
Bachtiar ; Sekjen Asosiasi Daerah Penghasil Migas
Seluruh Indonesia
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Saat ini pemerintah sedang
membahas konsep cadangan energi nasional.
Namun, dalam proses pembuatannya,
ada kekhawatiran bahwa konsep tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan
nasional, melainkan kepentingan segelintir orang, termasuk kepentingan asing.
Kita berharap mudah-mudahan kekhawatiran itu tidak benar dan tidak menjadi
bagian dari bukti tambahan dari berbagai kebijakan lain yang tidak
menggambarkan kepentingan nasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014
tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah diharapkan memiliki kebijakan
untuk memastikan ketersediaan cadangan energi nasional, yang terdiri dari
cadangan strategis, cadangan penyangga energi, dan cadangan operasional.
Cadangan
energi
Cadangan operasional adalah
cadangan energi yang harus disediakan oleh industri demi melancarkan
kelangsungan operasi industrinya sehari-hari. Saat ini cadangan BBM Pertamina
yang tersedia untuk 19 hari itu dianggap sebagai cadangan operasional.
Di sisi lain, cadangan penyangga
energi adalah cadangan yang seharusnya dikuasai oleh negara dan hanya
digunakan sewaktu- waktu apabila terjadi krisis dan darurat energi.
Kenyataannya, saat ini Indonesia
tidak memiliki cadangan penyangga energi. PT Pertamina (Persero) pun
tertatih-tatih mengemban misi pemerintah dalam pengadaan minyak di dalam
negeri. Apabila muncul sedikit gangguan saja dalam mata rantai penyediaan BBM
di dalam negeri, pihak asing mulai memainkan perannya karena kita tidak
memiliki dan menciptakan kesempatan untuk memperoleh harga beli minyak yang
wajar di pasar dunia.
Terakhir adalah cadangan strategis
energi, yaitu cadangan energi yang masih belum dikeluarkan dari dalam Bumi
atau belum diproduksi bahan mentahnya yang nantinya dapat dipergunakan oleh
negara pada kurun waktu tertentu dengan tenggang waktu ekstraksi, pengolahan
dan produksinya.
Amerika memiliki cadangan
strategis salah satunya di Alaska. Negara-negara di Asia Tenggara, seperti
Thailand dan Malaysia, juga sudah ada. Bagaimana dengan kita, Indonesia?
Jangankan cadangan strategis energi, cadangan penyangga saja-yang seharusnya
siap digunakan-tidak kita miliki.
Urusan perencanaan cadangan
penyangga energi (CPE) sebenarnya sudah diamanatkan kepada Dewan Energi
Nasional (DEN) sebagai bagian dari arah Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Sayangnya, hingga saat ini DEN belum secara resmi mengadopsi CPE.
Salah satu masalah utamanya adalah
karena banyak pihak meragukan integritas konsep CPE, yang menyatakan cadangan
energi kita nantinya akan dimodali dan dikelola oleh swasta. Keraguan makin
kuat akibat informasi yang beredar bahwa konsep dimaksud dibuatkan oleh
konsultan asing (Inggris) yang pembiayaannya juga datang dari Pemerintah
Inggris.
Konsep
baru
Akibat keraguan atas integritas
rancangan yang ada, anggota DEN periode 2014-2019 mencoba memulai kembali
proses pembangunan CPE dengan konsep baru yang sudah dirancang sejak 14
Januari 2015. Jauh berbeda dengan konsep sebelumnya, dalam konsep baru ini
disebutkan bahwa pengelolaan CPE dilakukan oleh badan pemerintahan yang
dibentuk khusus dengan memanfaatkan tangki-tangki idle yang tersedia di
Indonesia, baik yang dimiliki Pertamina maupun SKK Migas yang ada di KKKS.
Konsep yang terbaru ini telah
dipresentasikan di hadapan Ketua Dewan Energi yang tak lain adalah Presiden
RI Joko Widodo pada 25 Februari 2015, dan diperintahkan agar segera
dilaksanakan pematangan konsep dan inisiasi implementasi awalnya.
Namun, sampai sekarang keputusan
formal Konsep CPE belum disepakati
baik dalam sidang anggota DEN maupun sidang paripurna DEN. Di sisi lain,
masih banyak lembaga pemerintah, politisi, ataupun birokrasi yang
terus-menerus mengampanyekan adanya CPE yang dikelola swasta, hal itu
hanyalah wacana yang masih harus dibahas dalam sidang-sidang Dewan Energi
kita.
Sebagian besar anggota DEN
sebetulnya berpandangan negatif atas konsep yang menyebutkan bahwa penguasaan
cadangan penyangga energi kita dikelola oleh pihak swasta, apalagi pihak
asing.
Bisa jadi konsep pengelolaan oleh
swasta adalah konsep yang lebih efisien, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Bisa jadi pula konsultan asing yang terlibat adalah konsultan
asing yang benar-benar tidak memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dan ahli di
bidangnya. Namun, terlepas dari keahlian konsultan asing yang terlibat dan
kesahihan konsep yang ditawarkan, mengingat kondisi pengelolaan sumber daya
alam Indonesia khususnya bidang energi yang sangat tergantung pada asing dan
merugikan kepentingan nasional, adalah wajar apabila keterlibatan pihak asing
menimbulkan keraguan publik. Apalagi jika dalam proses pembuatannya tertutup
terhadap partisipasi publik dan tidak disertai dengan keterbukaan atas
pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar acuan.
Biaya
dan keuntungan
Sudah menjadi praktik yang baik di
sejumlah negara bahwa dalam proses pembuatan kebijakan perlu ada pertimbangan
atas "biaya dan keuntungan" yang ada dari berbagai pilihan
kebijakan (cost and benefit -CBA- analysis). Dengan kata lain, seyogianya
pemerintah tidak hanya memiliki satu pilihan kebijakan (dalam hal ini
menyerahkan kepada swasta), tetapi menggali berbagai pilihan dan kemudian
menimbang dampaknya.
Pilihan dan pertimbangan dampak
ini wajib dibuka kepada publik dalam rangka akuntabilitas pengambilan
kebijakan. Dengan demikian, publik dapat menilai secara independen sejauh
mana suatu kebijakan yang diambil bebas dari konflik kepentingan. Perlu
diingat bahwa kewajiban membuka alasan pengambilan kebijakan sudah
dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik yang perlu diimplementasikan pemerintah.
Di sisi lain, publik harus terus
mengawal proses ini agar pembuatan kebijakan tidak lagi dikuasai kepentingan
pihak-pihak tertentu. Mengingat pengalaman kita dengan asing, apalagi terkait
pengelolaan sumber daya, masyarakat akan bertanya, adakah makan siang yang
gratis?
Adakah negara maju akan menolong
pembangunan kebijakan Indonesia tanpa pamrih demi pertumbuhan ekonomi mereka?
Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting, pemerintah perlu secara tegas
menjawab keragu-raguan ini dengan menerapkan proses pengambilan kebijakan
yang obyektif dan terbuka.
Akuntabilitas dan transparansi
menjadi kata penting untuk memastikan marwah kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan nasional kita. Bidang energi bukan dibangun atas dasar kepentingan
bangsa lain dan tidak sekadar jadi pasar dan mainan politik energi negara
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar