"Jer Basuki Mawa Bea"
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
baru berjalan sembilan bulan, dengan situasi ekonomi yang kurang
menggembirakan. Dipengaruhi ekonomi global, rupiah tertekan hingga Rp 13.312
per dollar AS pada Kamis (4/6/2015).
Semua mata uang Asia mengalaminya,
tetapi rupiah memimpin pelemahan nilai tukar mata uang di kawasan Asia. Angka
itu terendah dalam 17 tahun terakhir sejak krisis finansial 1998. Sebagian
analis yang disurvei Bloomberg mengatakan, rupiah dapat melemah lebih parah
ke kisaran Rp 13.500 per dollar AS akhir 2015.
Meskipun saat ini berbagai
indikator fundamental ekonomi sangat berbeda dengan kondisi 1998, banyak
pihak mulai khawatir. Antara lain karena pelemahan rupiah tidak diikuti oleh
kenaikan ekspor. Pelemahan mata uang Malaysia dan Singapura diikuti dengan
kenaikan ekspor. Pelemahan mata uang Yen di Jepang diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi
pada kuartal pertama 2015. Sementara di Indonesia pertumbuhan ekonomi justru
menurun dibanding rata-rata kuartal pertama 10 tahun terakhir.
Penerimaan pajak kurang dari
target, padahal pajak adalah unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa. Sejak 1998,
di APBN, penerimaan pajak dan PNBP sudah lebih kecil dari pengeluaran rutin
dan pembangunan sehingga untuk membiayai jalannya negara, menyelenggarakan
pembangunan dan membayar cicilan pokok
dan bunga utang lama, kita harus membuat utang baru yang lebih besar dari
cicilan utang lama.
Harga pangan yang meningkat
menjelang Idul Fitri juga menjadi kekhawatiran masyarakat luas.
Prakiraan
positif
Di tengah situasi yang cenderung
suram, muncul analisis lembaga riset internasional mengenai masa depan
ekonomi Indonesia yang menjanjikan.
Dikutip dari CNBC akhir April 2015, Kepala Ekonom Asia Pasifik IHS (lembaga
think tank ternama yang berdiri sejak 1959, berpusat di Colorado, dengan
4.400 tenaga ahli di lebih dari 30 negara) Rajiv Biswas mengatakan, ekonomi
Indonesia berkapasitas tumbuh 5,4 persen pada 2016-2020, cukup tinggi untuk
ukuran dunia.
Buahnya, tahun 2017 ukuran ekonomi
Indonesia akan mencapai 1,14 triliun dollar AS, meningkat dari 870 miliar
dollar AS saat ini. Diramalkan tahun 2023 PDB Indonesia mencapai 2,1 triliun
dollar AS, masuk 10 besar dunia,
melebihi Australia, Rusia, dan Spanyol. Dengan kondisi itu, pengaruh Indonesia akan
meningkat di panggung dan lembaga internasional, seperti G-20, Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia, dan PBB.
Bukti-bukti empirik menunjukkan,
tingkat PDB 1 triliun dollar AS akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Kita harus bersiap memanfaatkan
kondisi tersebut.
Analisis lembaga riset The Boston Consulting Group menyebutkan, jumlah konsumen kelas menengah
Indonesia tahun 2020 akan mencapai 141
juta orang, dua kali lipat tahun 2012 yang 74 juta jiwa.
Besaran ekonomi 1 triliun dollar
AS dan jumlah kelas menengah sebanyak penduduk Jerman adalah modal
pertumbuhan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain di Asia Tenggara.
Pada 21 Mei 2015 Standard &
Poor's (S&P) mengumumkan perbaikan peringkat utang Indonesia dari stabil
ke positif. S&P mengafirmasi dalam
12 bulan mendatang peringkat utang Indonesia pada BB+. Hal ini akan
meningkatkan investasi portofolio dan investasi langsung.
Sinyal baik juga muncul dari
defisit transaksi berjalan triwulan II-2015 yang menurun ke 2,5% PDB,
sesuatu yang kita harapkan ke depan menjadi surplus. Pada triwulan yang sama tahun
2014 defisit 8,7 miliar dollar AS (4,06% PDB) dan tahun 2013 8,6 miliar
dollar AS (3,89% PDB).
Juga catatan positif terobosan
mengendalikan harga pangan melalui pendirian lembaga Badan Pangan Nasional
(BPN) yang berwenang mengusulkan kepada Presiden untuk menugasi BUMN bidang
pangan melaksanakan produksi, penyimpanan, dan distribusi pangan.
Perlu konsolidasi kekuatan negara
menghadapi mafia pangan yang mendikte pasar. Langkah ini perlu diikuti dengan
reformasi agraria, agar petani produsen pangan lebih sejahtera. Ekonomi
nasional akan lebih bergairah dan semakin kuat.
Sepanjang 10 tahun pemerintahan
Presiden SBY, kebijakan populis berupa subsidi sangat besar untuk BBM,
listrik, pupuk, raskin, BOS, dan lain-lain pernah mencapai hampir Rp 400
triliun per tahun atau 30% APBN. Hal ini menumbuhkan kelas menengah yang
sangat besar yang membuahkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada konsumsi.
Suatu kebijakan yang tepat untuk waktu itu.
Setelah kelas menengah
Indonesia meningkat, lebih tepat jika
subsidi yang begitu besar dialihkan
untuk sektor-sektor produktif terutama infrastruktur untuk menciptakan
daya saing nasional yang lebih tinggi, meningkatkan kualitas dan kuantitas
produksi pangan, diversifikasi sumber energi
ke energi terbarukan (hidro dan geotermal), pendidikan dan kesehatan
masyarakat guna meningkatkan kualitas
pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Akibat besarnya alokasi subsidi pada masa lalu, tak banyak infrastruktur baru
yang bisa dibangun. Dengan kondisi itu, devisa masuk melalui investasi
terbatas pada sektor keuangan dan jasa; kurang pada industri manufaktur
karena mahalnya proses produksi dan distribusi.
Pengalihan subsidi energi untuk
membangun infrastruktur secara besar-besaran adalah keputusan politik ekonomi yang sangat tepat yang akan
mendorong pertumbuhan dan investasi.
Pengembangan
infrastruktur
Buah dari pemerintahan terdahulu
dan kebijakan pembangunan Presiden Jokowi, Tol Cikopo-Palimanan sepanjang
116,75 kilometer sudah dibuka, proyek jalan tol trans-Jawa dipercepat dan
jalan tol trans-Sumatera mulai dikerjakan. Tol laut satu demi satu juga mulai
beroperasi. Bendungan Jatigede sebentar lagi diresmikan. Di banyak tempat
lain, proyek pelabuhan laut dan bandara juga sedang dikerjakan.
Menariknya, pembangunan
infrastruktur dilakukan dengan pendekatan baru. Presiden Jokowi menyampaikan
bahwa sebagian dana hasil pengalihan subsidi BBM pada APBN untuk
tambahan modal BUMN Rp 70 triliun
guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan disuntik modal Rp 10
triliun, PT Pelindo (Persero), plus pinjaman dari perbankan Rp 40 triliun,
dapat berinvestasi membangun infrastruktur pelabuhan sampai Rp 50 triliun.
Jika langsung dari APBN, hanya akan menciptakan investasi Rp 10 triliun.
Dengan pola serupa, BUMN PT Hutama Karya disuntik modal untuk membangun tol Palembang-Bandar
Lampung. Pola ini akan diterapkan pada beberapa BUMN. Dengan kebijakan itu,
harapannya pertumbuhan ekonomi tahun 2016 bisa di atas 7 persen.
Kebijakan pemanfaatan dana
pengurangan subsidi BBM untuk menambah modal BUMN meningkatkan pertumbuhan
ekonomi sangat tepat. Yang perlu
dijaga adalah efektivitas dan efisiensi pemanfaatan penambahan modal
tersebut. Bukti empirik menunjukkan negara-negara yang kuat menghadapi
gejolak dunia yang makin sering akibat dari peningkatan interdependensi
adalah yang memiliki cadangan devisa besar, seperti Jepang, Tiongkok, Taiwan,
Jerman, dan Rusia.
Cadangan devisa RI harus meningkat
melalui peningkatan ekspor. Setiap WNI sesuai kapasitasnya juga bisa
ikut meringankan beban negara, antara
lain melalui penghematan penggunaan devisa. Saya teringat ucapan Presiden
Amerika Serikat JF Kennedy, "Don't ask what your country can do
for you, but ask what you can do for your country!"
Sebaiknya masyarakat membatasi bepergian ke luar negeri hanya
jika perlu. Tahun 2014, wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 9 juta
orang (mendatangkan devisa 10,27 miliar dollar AS) dan menurut Bank Dunia,
wisatawan Indonesia ke luar negeri 7,97 juta orang (memerlukan devisa 7,62
miliar dollar AS).
Berhaji atau umrah cukup satu kali
bagi yang mampu sesuai yang diwajibkan. Nanti setelah cadangan devisa kuat,
silakan lebih sering. Tak perlu ada dana aspirasi anggota DPR dan kunjungan
anggota DPR ke luar negeri dilakukan dengan sangat selektif. Hidup hemat
adalah hal yang dilakukan masyarakat Jepang seusai Perang Dunia II. Sebagai
negara yang kalah perang, selain harus memulihkan infrastruktur yang hancur,
ia harus membayar pampasan perang. Dengan berhemat, Jepang mencapai kemajuan
mengagumkan dan tradisi hidup hemat dilanjutkan sampai sekarang meski sudah
makmur.
Perlu pula diberi insentif
produksi dalam negeri untuk substitusi
impor dan barang-barang ekspor. Tiongkok memberikan insentif besar pada
produk-produk ekspornya. Di sini, dari kaki lima sampai mal dipenuhi barang
Tiongkok murah.
Peningkatan porsi energi geotermal
dan tenaga air untuk PLN juga akan
menghemat banyak devisa. Sekarang ini kurang dari 5% tenaga listrik
menggunakan geotermal, padahal 50%
potensi geotermal dunia ada di Indonesia.
Agenda divestasi perusahaan asing
yang bidang usahanya sudah dikuasai pelaku usaha lokal dan hilirisasi
industri pertambangan perlu didorong. Kita tak mau seperti beberapa negara
yang mayoritas perusahaan besarnya adalah perusahaan asing.
Di awal pemerintahan Presiden
Jokowi memang masyarakat mengalami kepahitan dengan nilai rupiah anjlok,
harga BBM dan harga produk pangan yang naik, tetapi perlu disadari bahwa yang
sedang diperbaiki adalah kualitas pertumbuhan ekonomi yang manfaatnya baru
kita rasakan 3-5 tahun mendatang. Rakyat perlu sabar karena yang sedang
dilakukan akan menciptakan masyarakat sejahtera yang mandiri dan berkelanjutan.
Kelak rakyat Indonesia menikmati
pelayanan negara dengan asuransi kesehatan, sekolah gratis sampai sekolah
lanjutan atas bahkan universitas, jaminan hari tua, pengangguran dan orang
yang tidak produktif ditanggung negara, serta sistem transportasi yang murah
dan efisien. Kesemuanya itu sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakat yang
telah semakin produktif dan makmur.
Kata pepatah Jawa, jer basuki mawa bea. Untuk sejahtera
perlu pengorbanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar