Senin, 22 Juni 2015

Angeline dan Anak-anak Kita

Angeline dan Anak-anak Kita

Kristi Poerwandari  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 14 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Disiarkan di TV, Angeline, yang dilaporkan hilang 16 Mei, pada 10 Juni ditemukan terkubur dekat kandang ayam di belakang rumah ibu angkatnya, dengan jejak-jejak penganiayaan di tubuhnya.

Wali kelas bercerita bahwa Angeline, 8 tahun, adalah anak yang sangat murung dan pendiam. Ia kurus, sering datang terlambat, kadang pusing di sekolah karena belum sarapan. Pernah hadir dengan wajah dan rambut yang sangat kotor, sampai dimandikan oleh gurunya. Ketika ditanya ada apa, ia tidak bersuara. Ia hanya diam menatap, dengan mulut seperti terkunci.

Pada saat yang sama, 9-10 Juni 2015, lembaga-lembaga yang menekuni kajian jender di UI, bekerja sama dengan Universitas Leiden, mengadakan lokakarya mengenai perkawinan anak. Di sekitar kita ada anak perempuan, sebut saja Lena, yang pada pertengahan 2014 dikawinkan di usia ke-14, pada September 2014 hamil, dan pada Januari 2015 dikembalikan begitu saja ke rumah orangtuanya karena sang suami sudah tidak menghendaki lagi.

Anak kita

Lies Marcoes menyebut bahwa anak-anak yang dikawinkan itu adalah ”yatim piatu sosial”, sebenarnya punya ayah-ibu, tetapi dilepas begitu saja untuk menjalankan tugas-tugas yang jauh melampaui usianya. Disuruh kawin, berhubungan seksual, hamil, melahirkan, mengurusi suami dan anak—ketika mereka belum siap melakukannya—dengan konsekuensi hilangnya keceriaan masa kanak dan seluruh masa depannya.

Ada pula, sebut saja, Sekar, yang kawin dan langsung hamil di usia 15 tahun, ditinggalkan suami bekerja di negara tetangga. Ketika diminta mengirim uang, lelaki itu marah karena yang dipikirkan suami adalah mengumpulkan uang untuk membeli motor. Tak berapa lama lelaki itu kawin lagi. Di usia hampir 16 tahun, Sekar sudah harus bertanggung jawab menafkahi anak dan dirinya sendiri, tanpa bekal apa pun karena apa yang bisa dilakukan oleh perempuan 16 tahun yang digelendoti anak? Pendidikannya saja langsung terhenti karena sekolah langsung menyuruhnya keluar ketika ketahuan perutnya sudah berisi.

Memang Sekar kawin atas kehendak sendiri, tetapi tetap ia tanggung jawab kita semua karena cakrawala berpikirnya dibatasi oleh cakrawala berpikir masyarakatnya. Mengenai perempuan hamil tidak dapat lagi sekolah, lembaga dan pejabat berwenang dapat berkata ”bukan kami yang menetapkan, itu kebijakan sekolah”, tetapi kita dapat bertanya lebih lanjut: apakah Kementerian Pendidikan mewajibkan sekolah untuk tetap memberikan akses pendidikan sebaik-baiknya bagi perempuan usia anak, bagaimanapun kondisinya? Sekar tanggung jawab kita karena bila negara dan masyarakat sungguh peduli, ia tidak perlu harus menikah di usia 15 tahun, kehilangan pendidikan, sekaligus kehilangan masa depan.

Angeline juga dapat kita simpulkan sebagai yatim piatu sosial karena meski masih ada ibu kandung, dan diangkat anak oleh keluarga yang berkecukupan, ia sama sekali tidak memperoleh kasih sayang, rasa aman, dan perlindungan. Siapa pun pelakunya, ia dipekerjakan. Wali kelas bercerita bahwa ia pernah datang terlambat, dan ketika ditanya, ia mengaku harus memberi makan ayam yang jumlahnya puluhan.

Tanggung jawab orang dewasa

Wali kelas bercerita dengan suara bergetar. Ceritanya memberikan refleksi, betapa gamang kita menghadapi kasus-kasus seperti yang terjadi pada Lena atau Angeline. Sejauh mana kita dapat melibatkan diri jika anak masih punya orangtua atau keluarga? Bukankah sering keluarga akan marah karena orang luar ikut campur? Bagaimana pula jika nanti kita dianggap salah oleh hukum karena mengambil tindakan yang melampaui wewenang kita?

Akibatnya, sering kita terlambat. Maka, Lena dikawinkan dan beberapa bulan kemudian dalam keadaan hamil di usia 14 tahun ia dikembalikan begitu saja karena sudah tidak dihasrati lagi. Maka, Angeline juga ditemukan sudah meninggal, dengan kekerasan benda tumpul di kepala, sundutan rokok, dan jerat plastik di lehernya.

Ada UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Terlepas dari keterbatasan UU ini, setidaknya semua orang yang akan menikah, sudah menikah atau akan mengangkat anak, para guru, dan pihak-pihak yang berkecimpung dengan anak perlu diwajibkan membacanya dengan teliti untuk meminimalkan ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau sikap-sikap defensif terkait pelanggaran hak anak.

Persoalannya bukan hanya kemiskinan. Di kalangan kaum berkecukupan pun dapat terjadi. Orang dewasa masih banyak yang mendukung terjadinya perkawinan anak, atau kekerasan terhadap anak, dengan berbagai alasannya.

Anak perempuan sering rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuknya dan dilanggar hak-hak dasarnya, dengan konsekuensi yang lebih rumit, seperti hamil, melahirkan, belum lagi stigma-stigma dan diskriminasi sosial yang dilekatkan. Meski demikian, anak lelaki juga rentan kekerasan, membawa luka batin, terpotong masa depannya, dan di masa dewasa dapat menjadi agen yang mereproduksi praktik hidup yang menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Pada akhirnya, kepentingan terbaik anak adalah kepentingan terbaik bangsa. Anak yang difasilitasi agar dapat tumbuh dan berkembang maksimal akan menjadi orang dewasa yang mampu berperan maksimal dan melahirkan anak-anak yang lebih berkualitas. Angeline dan Lena dan banyak yang lainnya adalah anak-anak kita, yang telah dirampas masa kini dan masa depannya. Dalam tatap mata murung dan ketidakmampuan bersuara, sebenarnya mereka menghadirkan tanya, sungguhkah kita peduli, dan apa yang telah kita lakukan untuk mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar