Senin, 22 Juni 2015

Detox

Detox

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 14 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang perempuan merokok dan makan tanpa henti. Pemandangan ini terjadi di salah satu halaman luas sebuah tempat berolahraga. Di halaman itu tersedia penjaja makanan yang harus saya akui lezatnya luar biasa, dari bubur ayam, empal gentong, sampai soto mi dan aneka gorengan.

Racun raga

Kejadian itu awalnya diperhatikan oleh salah satu kolega kerja yang berujar, "Pada akhirnya pergi ke tempat olahraga seperti ini, ya... buat tambah tidak sehat." Saya berolahraga di tempat itu nyaris tiga kali dalam seminggu. Awalnya, saya tak tahu kalau di salah satu halaman itu dijual makanan yang menggoyang lidah dan membuat ketagihan.

Namun, sejak mengenal dan merasakan lezatnya makanan yang tersedia, sudah dua kali saya mendatangi tempat itu. Yang pertama setelah berolahraga, dan yang kedua khusus datang ke tempat itu, tidak untuk berolahraga, tetapi hanya untuk mengisi perut yang keroncongan.

Sejujurnya saat kedatangan yang kedua, saya dihujani rasa bersalah yang sangat. Saya merasa sepantasnya saya datang ke tempat ini untuk berolahraga, untuk membuang kalori, mengurangi timbunan lemak di perut, dan tidak malah melakukan hal yang sebaliknya, menambah kalori dan menambah timbunan lemak.

Namun, perasaan bersalah itu terkalahkan dengan santan gurih yang menggenang di dalam piring makan dan menenggelamkan ketupat dan daging yang empuk. Sungguh benar kata kolega kerja di atas, pergi ke tempat ini semakin membuat tambah tidak sehat.

Belum lagi setelah makan, para perokok tak mungkin melupakan kegiatan merokoknya. Jadi, tempat yang ditujukan untuk menjadi sehat benar-benar membuat manusia semakin jauh dari sehat.

Di kantor, seorang kolega kerja lainnya rajin melakukan detoksifikasi. Kemudian, saya memutuskan untuk ikut program penghilangan racun-racun tubuh itu. Pertama kali ikut langsung gagal total. Saya tidak kuat, badan terasa lemas dan sempoyongan.

Kejadian itu saya ceritakan kepada salah satu teman dan ia langsung nyeletuk, "Yang pertama elo mesti lakuin tuh detox mulut dan pikiran elo, bukan detox fisik, bro." Waktu saya mendengar komentar yang menusuk dan menyinggung itu, saya hanya tertawa terbahak, tetapi setelah itu jadi kepikiran.

Racun jiwa

Sesungguhnya racun yang berada di kepala, mulut, dan hati itu acap kali memberi dampak. Dampak pertama adalah timbulnya keinginan. Ingin membalas dendam, ingin menjatuhkan lawan, ingin agar orang itu bisa sengsara seperti sengsara yang saya rasakan.

Saya ingin orang lain tersakiti seperti mereka menyakiti dan menghina keberadaan saya. Saya ingin mencaci maki klien, adik, bos, teman sejawat, pacar. Racun itu telah membuat saya cepat sekali tersinggung, defensif, dan meninggikan suara dalam perdebatan.
Dampak kedua, racun yang sama itu juga telah membuat saya merasa senang. Senang melihat orang lain sengsara, senang memanipulasi, senang menipu, senang mencuri, senang berselingkuh, senang korupsi, senang bisa berpikir bahwa harta yang banyak bisa membuat saya menguasai hidup orang lain.

Saya senang karena pesaing saya bangkrut, senang bisa memonopoli, senang bisa menjadi orang jahat tetapi membungkus kejahatan itu dengan gaya hidup seperti malaikat, senang berutang tetapi enggan untuk membayar utang.

Dampak terakhir adalah membuat saya keder. Keder kalau nilai tukar dollar makin tinggi, keder kalau sampai sekarang saya belum berpasangan, bagaimana nanti kalau sudah tambah tua dan siapa yang akan menemani kalau saya sakit? Keder karena target yang ditentukan bakal tidak tercapai, keder ketika harus berhadapan dengan lawan yang raksasa, keder karena saya di-PHK.

Menurut teman saya yang lulus melakukan pembuangan racun raga itu, badan terasa lebih sehat dan harus tak bisa dilakukan hanya sekali atau sesekali. Mereka memiliki jadwal tetap pembuangan racun.

Maka, saya mulai berpikir. Mungkin saya juga harus membuang racun jiwa itu dengan jadwal tetap. Dan saya yakin, ketika pembuangan racun yang pertama, saya juga akan sempoyongan.

Sempoyongan karena racun yang biasanya bisa melahirkan rasa senang melihat pesaing bangkrut, sekarang harus prihatin dan menunjukkan rasa simpati.

Namun, sempoyongan bukan sebuah keadaan untuk menggagalkan program detoksifikasi. Yang menggagalkan adalah tidak adanya keinginan untuk menjadi sehat. Tidak berminat membuang racun akan memberi saya alasan yang paling sah untuk membenci orang lain karena manusia itu memang wajar bisa membenci, sama wajarnya seperti manusia bisa tidak membenci.

Namun, saya acap kali lupa, saya ini bisa mendadak sakit dan bisa jadi tidak sembuh dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan beracun. Maka, dalam kondisi seperti itu, dengan cepat saya akan berjanji. Saya berjanji melakukan detoksifikasi mulut, hati, dan kepala.

Mengapa saya berjanji? Karena dalam keadaan seperti itu, saya tak lagi bisa merasakan bahwa kebencian, pencurian, atau perselingkuhan itu sebuah kewajaran yang manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar