Ngurusi atau Ngerusuhi NU?
A Halim Iskandar ; Ketua
DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
|
JAWA POS, 13 Juni 2015
MELIHAT situasi dan
dinamika di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, saya jadi teringat wasiat
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ketika beliau masih menjadi rais akbar NU.
Kakek Gus Dur tersebut pernah dawuh (menyampaikan pesan), ’’Siapa yang
bersedia ngurus NU (mengelola NU dengan ikhlas) saya anggap santriku.
Barangsiapa menjadi santriku, aku doakan khusnul khotimah.’’
Dawuh tersebut relevan
direfleksikan kembali, mengingat akhir-akhir ini muncul gejala yang cukup
memprihatinkan di kalangan nahdliyin, bahkan pengurus NU, yang mengarah pada
keengganan ngurusi NU. Kesimpulan tersebut diambil karena secara
implementatif batas ngurusi NU dan ngerusuhi NU (membuat rusuh atau kekacauan
di NU) itu sangat tipis.
Muncul fenomena,
banyak orang yang seolah-olah aktif NU, namun tidak dilandasi semangat
berbakti dan mengabdikan diri pada kepentingan agama dan bangsa. Melainkan,
sekadar mendahulukan kepentingan diri sendiri dan kelompok (firqoh)
masing-masing. Jadi, sejatinya kelompok itu bukan ngurusi NU, tetapi
ngerusuhi NU. Secara gradual, hal tersebut menimbulkan dampak yang sangat
negatif sekaligus menjadi antitesis dari progresivitas dakwah dan amaliah NU
sebagai jami’yah diniyah yang mengemban misi memberdayakan umat dan
menyejahterahkan rakyat.
Dekadensi
Virus pragmatisme yang
menjangkiti dunia ekonomi dan politik Indonesia belakangan ini, rupanya, juga
berpengaruh terhadap perilaku sebagian pengurus, kader, serta aktivis NU.
Mereka sudah tidak berpikir untuk menjadikan NU sebagai rumah tempat menempa
dan menggembleng diri sebagai kader-kader militan yang berjihad memerangi
kebodohan serta kemiskinan umat. Namun, mereka justru hanya berpikir bahwa NU
adalah lembaga strategis yang bisa dimanfaatkan sebagai ’’kuda troya’’ untuk
memuaskan hasrat ekonomi-politik mereka.
Pragmatisme tersebut
terepresentasi dalam sikap oportunistis sebagian pengurus, kader, dan aktivis
NU ketika mendefinisikan NU bagi diri dan kelompoknya. Seperti pepatah klasik
’’ada semut ada gula’’, sebagian pengurus, kader, dan aktivis NU juga
mengikuti prinsip dalam pepatah tersebut. Yakni, antusiasme terhadap NU akan
muncul jika dapat mendatangkan keuntungan pribadi dan kelompok.
Sebagai contoh, ketika
ada hajatan seperti muktamar, munas, atau harlah, sekelompok pengurus/kader
oportunistis yang sebelumnya tidak pernah ngurusi NU tiba-tiba muncul dan
menampakkan diri terlibat dengan tujuan mengambil manfaat dari kegiatan
tersebut. Namun, ketika muncul panggilan untuk mengurus dan merawat NU secara
ikhlas, tanpa pamrih, banyak yang memilih mundur teratur.
Gejala tersebut kian
tampak belakangan ini saat event Muktamar Ke-33 NU di Jombang hendak digelar.
Berbondong-bondong sekelompok pengurus, kader, dan aktivis NU yang sebelumnya
jarang, bahkan tidak pernah ngurusi NU, tiba-tiba unjuk muka dan ’’sok
peduli’’ terhadap NU.
Bahkan, beberapa
kelompok yang tidak terakomodasi dalam kepanitiaan muktamar sampai membuat
manuver untuk menghambat jalannya muktamar. Semua itu berpangkal dari ambisi
untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok dalam setiap hajatan NU. Baik
untuk menjadikan NU sebagai alat bargaining kekuasaan maupun mengambil
manfaat ekonomi semata. Itulah yang didefinisikan penulis bukan ngurusi NU,
tetapi ngerusuhi NU.
Fenomena lain juga
mewabah. Yakni, pengurus NU sudah tidak ngurusi NU, tidak lagi menjalankan
tanggung jawab dan kewajiban sebagai pengurus. Hal tersebut sudah banyak
terjadi di semua level kepengurusan NU, mulai tingkat ranting sampai pengurus
besar (PB). Sebaliknya, tidak sedikit pengurus NU yang hanya ngerusuhi NU.
Karena itu, tidak
salah, dalam buku Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
(2010), terutama di sub-bab yang berjudul Nahdlatulogi ala Mbah Muchith, KH
Muchith Muzadi pernah memberikan tamsil: ibarat kendaraan, NU terlalu banyak
punya sopir, tetapi minim montir.
Analogi tersebut ingin
mengisahkan, ketika ada mobil yang mogok di tengah jalan, hal yang paling
didambakan adalah kehadiran seorang montir yang mampu memperbaiki mobil
tersebut maupun seseorang yang bersedia mendorong mobil itu agar bisa
berjalan lagi. Namun, yang menyesakkan, pemilik mobil itu meninggalkan begitu
saja orang-orang yang membantu memperbaiki mobil mogok tersebut tanpa ucapan
terima kasih.
Ulah sebagian
’’oknum’’ NU yang ingin mencari keuntungan pribadi/kelompok dalam NU
kompatibel dengan analogi Mbah Muchith tersebut. Artinya, tantangan bagi NU
sekarang tidak hanya berasal dari aspek eksternal, melainkan juga dari
kalangan internal.
Ngurusi NU, Ngurusi Indonesia
Tentu tidak sedikit
yang bertanya, mengapa persoalan ngurusi NU dengan ikhlas dan sungguh-sungguh
harus dipikirkan dengan serius? Sebab, perkara itu tidak hanya terkait dengan
eksistensi NU, melainkan juga ada relevansinya dengan eksistensi Indonesia
sebagai darussalam (negara kesejahteraan), bukannya darul Islam (negara
Islam).
Sebab, sejak sebelum
republik ini diproklamasikan, NU berkomitmen terhadap keutuhan kepulauan
dalam wadah NKRI melalui rekomendasi alim ulama dalam Muktamar Banjarmasin
1926. NU pula yang secara independen meyakini Pancasila sebagai asas
organisasi sebelum Soeharto melakukan langkah koersif untuk menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal.
Selain itu, hingga
kini NU masih istiqamah menjalankan perannya sebagai perisai dan benteng
kedaulatan bagi republik ini dari ancaman gerakan-gerakan liberalisme Islam
maupun transnasionalisme Islam yang kontradiktif dengan semangat Islam
ahlussunnah wal jama’ah. Dengan kata lain, NU sudah bertransformasi menjadi
salah satu pilar penting bagi keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Mengutip analogi
Alexis de Tocqueville (1805–1859) sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo (1995),
kontribusi sebuah perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association) yang terepresentasi dalam format non-governmental organization (NGO)
adalah sakaguru civil society,
berperan layaknya seorang ’’ibu’’ yang melahirkan negara sekaligus
’’mengasuh’’ negara.
Karena merupakan
bagian dari NGO dan civil society,
NU harus benar-benar diurus secara serius, tidak malah dirusuhi secara
serius. Berangkat dari dawuh Rais Akbar NU Mbah Hasyim, yang perlu dicatat di
sini, ngurusi NU tidak terbatas pada mencatatkan nama diri dalam struktur
kepengurusan NU. Ngurusi NU sudah menjadi pilihan setiap nahdliyin yang ingin
menjadi santri Mbah Hasyim. Dengan demikian, ngurusi NU tidak perlu menjadi
pengurus NU, tetapi cukup menjadi pelayan yang ikhlas untuk membesarkan NU,
melakukan dakwah Islam ahlussunnah wal jama’ah, serta mempertahankan NKRI.
Sebaliknya, dapat
didefinisikan khianat ketika berstatus pengurus, tetapi justru tidak ngurusi
NU, bahkan sering ngerusuhi NU dengan hanya menjadikan NU sebagai alat
kekuasaan, alat pemenuhan ekonomi, serta alat kepentingan duniawi lainnya.
Karena itu, Muktamar
Ke-33 NU mendatang harus benar-benar dimanfaatkan untuk mendetoksifikasi
anasir-anasir yang selama ini gemar merusuhi NU. Marilah kembali ngurusi NU,
bukan ngerusuhi NU. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa ngurusi NU, tidak
hanya menjadi ekslusivitas dan prerogasi pengurus yang namanya tercantum
dalam surat keputusan dan papan struktur. Tetapi, ngurusi NU menjadi pilihan
setiap nahdliyin yang menginginkan berkah menjadi santri Mbah Hasyim, bahkan
ketika beliau sudah tidak bersama kita.
Tentu, pilihan ngurusi
NU dengan ikhlas akan menjadikan kita sebagai santri Hadratussyekh KH Hasyim
Asy’ari yang didoakan khusnul khotimah.
Amin. Demikian pula sebaliknya, bagi nahdliyin, bahkan pengurus NU sekalipun
yang tidak bersedia ngurusi NU, namun justru ngerusuhi NU, mereka bukanlah
santri Rais Akbar NU yang didoakan khusnul khotimah. Nauzdubillah mindzalik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar