Sabtu, 20 Juni 2015

Aristoteles, Messi, dan Ramadan

Aristoteles, Messi, dan Ramadan

Ali Murtadlo  ;  Komisaris JTV
JAWA POS, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit. Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang. Kedahsyatan, karena itu, bukan dihasilkan dari sekali tindakan, tapi kebiasaan. (Aristoteles, filsuf Yunani)

KESUKSESAN yang dihasilkan berkat tindakan berulang itu telah dibuktikan oleh Lionel Messi. Kapten Argentina yang menjadi striker utama Barcelona tersebut baru mengantarkan klubnya meraih treble winners: Copa del Rey, La Liga Spanyol, dan Liga Champions. Fantastis.

Apa rahasianya? Menurut ahli gizi Barcelona, Messi mengubah pola makannya setahun terakhir ini, dari berbasis hewani ke nabati. Dia mengonsumsi banyak sayuran, buah, biji-bijian, dan sereal. Protein dia peroleh dari ikan dan biji-bijian (Jawa Pos, 11 Juni 2015). Diet, kata tim gizi Barcelona, telah mengubah stamina Messi yang semula cepat loyo menjadi selalu fit meski terus-menerus dimainkan sebagai first starter di laga apa pun.

Apa hubungannya dengan Ramadan? Ramadan adalah penggemblengan umat Islam untuk meraih takwa. Ayyamam ma’dudat: beberapa hari tertentu, yakni satu bulan penuh. Berarti perbuatan yang berulang (repeatedly do) untuk menjadi kebiasaan (habit). Untuk melatih diri bangun pukul 03.00 guna makan sahur, diperlukan waktu 30 hari. Salat Subuh dan salat wajib lain secara jamaah di masjid tepat waktu perlu latihan 30 hari.

Untuk latihan berlapar-lapar dan haus, diperlukan waktu sebulan penuh. Latihan mulut agar bisa ngomong jujur dan nice perlu waktu. Untuk menjaga mata agar tidak jelalatan, perlu waktu berlatih. Begitu juga telinga, perlu pembiasaan untuk tidak suka mendengarkan gibah (gunjingan). Hati pun perlu digembleng 30 hari agar tidak berbolak-balik, hari ini khusyuk, besok liar. Begitu juga agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi (fasada fil ardh), perlu berlatih di kawah candradimuka yang bernama Ramadan. Untuk tidak menerobos lalu lintas, tidak menerabas trotoar bagi pejalan kaki, dan bisa menahan diri dengan tidak mau diberi tas plastik setiap membeli air minum kemasan atau apa pun di supermarket karena akan merusak bumi.

Mengapa 30 hari? Para ahli teori perubahan perilaku mengatakan, diperlukan waktu yang berbeda-beda agar sebuah tindakan menjadi habit. Stephen Covey lewat buku-buku Seven Habits-nya, cukup di bawah 20 hari untuk berproses menjadi terbiasa. Charles Duhigg, penulis The Power of Habit, mengatakan 21 hari.

Hal Elrod, penulis The Miracle Morning, mengatakan 30 hari. Elrod memerinci begini: Sepuluh hari pertama adalah masa tersulit, seperti hampir mustahil bisa dilakukan. Tekad kuatlah yang bisa meloloskan seorang dari fase unbearable itu. Contohnya membiasakan diri bangun pukul 03.00 untuk sahur. Pasti bagi yang belum terbiasa menunaikan Tahajud, sulitnya setengah mati. Perlu alarm atau sentuhan tangan untuk bisa bangun.

Sepuluh hari kedua, papar Elrod, adalah fase uncomfortable, belum nyaman tapi sudah mulai terbiasa. Tak perlu dibangunkan lagi, tapi masih sering begini: ”Masih jam tiga, lima belas menit lagi ah.” Akibatnya kebablasan sampai pukul 05.00.

Sepuluh hari ketiga adalah fase unstoppable. Sudah tidak bisa distop lagi. Bangun sendiri, alarm dan sentuhan tangan tak perlu lagi. Itulah yang dinamakan biorhythm. Tubuh kita sangat canggih. Ritme saraf otak kita bisa disetel seperti kemauan kita. Mau menyetel stop merokok, bisa. Sebaliknya juga bisa. Tubuh kita menyerahkan sepenuhnya kepada juragannya: jalan kebaikan atau keburukan, rute surga atau neraka.

Ramadan memilihkan jalan takwa alias rute menuju surga. Takut kepada Allah, mematuhi semua perintahnya, menjauhi segala larangannya. Perlu latihan 30 hari untuk itu. Kedengarannya sepele, tapi praktiknya perlu perjuangan dan tekad yang kuat. Tanyalah perokok berat, apa yang tersulit dari puasa? Tanpa jawaban pun, Anda sudah bisa menemukan tatkala waktu buka puasa tiba. Ketika Anda bergegas menyeruput air minum dan makan kurma, teman Anda memilih agak menjauh untuk memantik korek apinya dan mengisap sebatang rokok.

Perlu contoh lagi betapa kuatnya kebiasaan? Berilah sebotol air putih kemasan kepada seorang kawan yang baru saja datang dari kegiatan berterik matahari. Herannya, dia menggeleng. Katanya, tidak bisa minum air yang tidak berasa, bisa mual dan muntah. Aneh tapi nyata: minum air putih pun perlu dilatih.

Kembali ke Ramadan. Mengapa penggemblengan 30 hari bisa tidak berbekas sama sekali? Kembali bangun siang, kembali suka mengumpat, kembali pelit, kembali jelalatan. Ke mana kebiasaan emas 30 hari itu? Itulah masalahnya, mengapa derajat takwa kita tak pernah naik kelas dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Padahal, salat terus. Padahal, khatib jumatan mengingatkan terus. Padahal, Ramadan melatih terus. Pasti ada yang salah pada salat kita, jumatan kita, praktik Ramadan kita.

Salat misalnya. Menurut QS Al Ankabut ayat 45, salat akan membuat orang yang menunaikannya terlatih mencegah perbuatan keji dan mungkar. Kenyataannya, tetap saja menyukai kekejian dan keburukan. Pasti yang salah bukan perintah salatnya, melainkan pelaku salatnya. Mungkin salat dilakukan untuk sekadar mengugurkan kewajiban, jauh dari khusyuk dan terpelihara (Al Mu’minun ayat 2 dan 9).

Padahal, salat yang benar, selain tanha ’anil fahsya iwal munkar, bisa mencegah dan menyembuhkan kanker (Prof Dr Moh. Sholeh, guru besar UIN Sunan Ampel, meneliti manfaat Tahajud dan menulis disertasi tentang psikoneuroimunologi untuk meraih gelar doktor di FK Unair) dan meraih kebahagiaan (Prof Dr Ali Aziz, guru besar UIN Sunan Ampel, dengan terapi salat bahagia-nya). Dan itu sangat cocok dengan buku best seller Shigeo Haruyama M.D., The Miracle of Endorphin. Menurut Haruyama, otak kita bisa mengeluarkan hormon kebahagiaan kalau kita pintar memompanya. Dan, menurut saya, alat pemompa yang efektif adalah Tahajud, zikir, dan puasa. Selamat berpuasa, semoga kita bisa meraihnya. Amin YRA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar