Selasa, 21 April 2015

Disonansi Kognitif

Disonansi Kognitif

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 19 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya kira hampir semua orang pernah nonton sulap. Yang sederhana, tongkat tiba-tiba bisa jadi bunga. Yang lebih canggih, seorang wanita cantik dimasukkan ke dalam peti, dikunci, dan digergaji menjadi tiga bagian, dipisah-pisahkan ketiga bagian itu, tetapi ketika ketiga potongan itu disatukan kembali dan dibuka oleh si pesulap, si wanita cantik meloncat keluar dengan dua tangan ke atas sambil menebar senyum seksinya. Mau yang paling canggih? David Copperfield bisa menghilangkan helikopter dan bisa menembus Tembok Cina!

Dalam psikologi, efek dari sulap tergolong apa yang dinamakan disonansi kognitif, yaitu suatu keadaan mental di mana satu elemen mental terjadi pada waktu yang bersamaan dengan elemen mental yang lain yang saling bertentangan. Tongkat bukan bunga, tetapi kok ada tongkat bisa jadi bunga? Manusia dipotong-potong seharusnya berdarah-darah, menjerit-jerit dan mati, kok ini malah tertawa-tawa dan hidup lagi? Helikopter sebesar itu kok bisa lenyap ditelan angin, dan Tembok Cina setebal itu kok bisa ditembus tubuh manusia? Tidak mungkinlah itu. Tapi nyatanya itu realita yang kita lihat.

Buat kebanyakan manusia normal seperti kita-kita ini, apa yang kita lihat, yang kita dengar atau kita persepsikan itulah realita. Kalau realita tidak sama dengan yang kita pikirkan, atau realita yang satu bertentangan dengan realita yang lain, atau pikiran yang satu bertentangan dengan pikiran yang lain, itulah disonansi kognitif.

Kalau kita menonton sulap, efek dari disonansi kognitif adalah terhibur, kagum atau penasaran. Tetapi disonansi kognitif bisa menimbulkan efek yang lain juga. Efek terkejut terjadi misalnya jika anda mendengar berita bahwa seorang teman tiba-tiba meninggal dunia, padahal beberapa jam yang lalu baru saja anda mengobrol dengan dia.

Efek sangat marah akan terjadi kalau misalnya seorang istri mencintai suaminya yang juga mencintai dirinya seorang tiba-tiba mendapati di HP suaminya ada pesan-pesan SMS (Selankah Menuju Selingkuh) dari seorang wanita sahabatnya sendiri. Atau akan timbul efek lucu dan tertawa jika kita misalnya melihat Jojon (alm) yang tinggi besar dan berkumis Hitler, bertingkah laku seperti anak PAUD.

Aonson dan Festinger (1957, 1968) dalam teori mereka tentang disonansi kognitif menyebutkan empat sumber situasi mental tersebut yaitu (1) Inkonsistensi Logika. Misalnya tidak logis tongkat kok bisa jadi payung, (2) Perbedaan Nilai Budaya, misalnya, di Arab tidak ada selingkuh, tetapi tidak apa-apa buat seorang istri ketika suaminya memberitahu langsung bahwa ia akan menikah lagi (kalau terjadi di Indonesia, sang istri langsung digotong ke UGD), (3) Opini Umum. Sumber disonansi kognitif yang ini biasa terjadi pada prasangka sosial atau prasangka politik, misalnya kok bisa Ahok jadi gubernur, padahal opini umum (bukan fakta atau norma) seharusnya pemimpin itu muslim, dan (4) Pengalaman Masa Lalu, misalnya orang yang sudah lama tidak pulang kampung mengalami disonansi kognitif, terkejut dan heran ketika melihat betapa kota kelahirannya sekarang sudah banyak berubah, sudah banyak mal, jalan-jalan sudah lebar-lebar dan sebagainya.

Tetapi apapun efeknya dan penyebabnya, orang tidak suka berlama-lama dalam keadaan disonansi kognitif.

Ada tiga cara untuk menyelesaikan disonansi kognitifnya, yaitu (1) mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku yang menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan, misalnya, ketika mendengar tentang kematian seorang kawan, mengecek ke berbagai sumber untuk memastikan apakah kawan itu benar meninggal atau tidak, (2) mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain, seperti istri yang mendapati suaminya selingkuh, mengubah jalan pikirannya bahwa agama tidak melarang dan anak-anak masih membutuhkan ayahnya, sehingga istri itu malah mendorong suaminya untuk segera menikahi WIL atau wanita idaman lain itu (ibu-ibu jangan marah duluuu ini hanya contoh…hihihi), dan (3) trivialization yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaikan antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai hal yang biasa, misalnya, si penonton sulap mengabaikan saja berbagai ketidaksesuaian itu sebagai tidak penting, sudah biasa, dan tidak usah diperpanjang.

Sekarang bagaimana jadinya kalau disonansi kognitif terjadi terus-menerus, berkelanjutan dan tidak mau hilang-hilang? Biasanya terjadi kejenuhan, capek, burn out, putus asa, stress dan depresi, karena walaupun seringkali menghibur, disonansi kognitif bukanlah hal yang menyenangkan. Cobalah dengarkan lawakan yang selalu berulang-ulang, hanya itu-itu saja. Walaupun awalnya kita ikut tertawa, tetapi lama-lama bosan dan kesal juga, dan kalau bisa menyuruh orang itu ke laut saja dan berhenti melawak, atau kalau mendengar dari TV ya, ganti channel saja.

Masalahnya dalam dunia politik sosial-politik Indonesia akhir-akhir ini, disonansi kognitif itu terus-menerus dan sambung-menyambung. Belum selesai perdebatan tentang pencalonan Kapolri. Komjen Pol BG yang sudah disetujui DPR kemudian ditarik lagi, public sudah dirisaukan dengan ulah Polri menangkap Wakil Ketua KPK, BW, di jalanan, diborgol pula, padahal baru saja presiden memerintahkan agar jangan sampai antara KPK dan Polri saling mengkriminalisasikan. Belum selesai diskusi soal itu, muncul lagi pesan Megawati dalam penutupan Kongres PDIP bahwa petugas partai (yang dimaksud jelas Presiden Jokowi, yang memang pada waktu pemilu diusung oleh PDIP dan koalisinya) harus taat pada arahan partai, dan di mata PDIP yang ada hanya Jokowi yang petugas partai, karena kalau yang hadir Presiden Jokowi, tentu ada upacara penyambutan, “Bapak Presiden RI Joko Widodo berkenan memasuki ruangan, seluruh hadirin dimohon berdiri!”.

Maka berdirilah semua tamu, termasuk Ketua PDIP. Tetapi itu tidak terjadi, sehingga publik pun (minimal saya pribadi) makin disonan… Capek deeeh…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar