Memilih
Kembali Megawati
adalah
Keputusan Bijaksana
Salim Said ; Guru Besar Ilmu Politik Pertahanan Indonesia;
Direktur Eksekutif Institut Peradaban
|
SINAR HARAPAN, 15 April 2015
Keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memilih
kembali Megawati sebagai ketua umum (ketum) adalah keputusan bijaksana. Ini
bukan tanpa direncanakan. Keputusan mengangkat kembali Megawati sebagai Ketum
PDIP sudah disepakati pada Rakernas PDIP di Semarang sekian bulan silam.
Adalah berlebih-lebihan kerendahanhatinya jika Mega mengaku "tidak
menyangka" dipilih kembali sebagai Ketum PDIP.
Megawati jelas berkepentingan memimpin kembali PDIP. Ini karena
kalau kongres dibiarkan berjalan
secara demokratis, hampir tak ada jaminan PDIP tidak dilanda perpecahan
seperti yang dialami beberapa partai lainnya akhir-akhir ini.
Salah satu acara kongres, munas, atau muktamar berbagai partai
akhir-akhir ini adalah munculnya "agenda" perpecahan karena
perebutan kepemimpinan. Dilihat dari sudut ancaman seperti ini, Megawati
sangat bijaksana bersepakat dengan sejumlah kadernya untuk tetap menjadi
Ketum PDIP.
Apakah Megawati gagal melakukan kaderisasi? Ya, tapi juga tidak.
Kelihatannya gagal. Namun, jika demikian
sebagian besar partai politik (parpol) kita juga mengalami kegagalan
bersama. Partai-partai kita sekarang
ini sebagian besar memang partai-partai yang berpusat pada poros pribadi.
Inilah penjelasannya kenapa sulit membayangkan Partai Demokrat (PD) sanggup
bertahan utuh tanpa SBY (dan mungkin kelak juga tanpa keturunannya), Hanura tanpa
Wiranto,Gerindra tanpa Prabowo, dan mungkin juga nanti Nasdem tanpa Surya Paloh.
Lagi pula kaderisasi, terutama hanya mungkin jika partai-partai
merumuskan ideologi dan agenda politik yang jelas. Di masa-masa sebelumm Orde
Baru yang terjadi adalah justru sebaliknya. Ideologi terlalu menonjol
sehingga kerja sama antara partai tak kunjung tercapai. Rezim Orde Baru
adalah pemerintahan antiideologi, tapi sebenarnya menciptakan ideologinya
sendiri yang tidak lain adalah pragmatisme.
Di masa itu yang penting adalah pembangunan sebagai pelaksanaan
pragmatisme. Tampaknya partai-partai pasca-Orde Baru telanjur terlena dalam
cara berpolitik Orde Baru yang risih terhadap ideologi. Megawati memang
selalu bicara tentang ajaran Soekarno. Namun ajaran yang mana, tidak pernah
jelas kecuali Trisakti. Sulit dibayangkan ada orang Indonesia yang menolak
Trisakti. Akan tetapi, persoalannya adalah agenda apa yang harus dijalankan
untuk sampai pada tingkat Trisakti.
Setelah terpilih melanjutkan "kontrolnya" atas PDIP
yang ditengarai sangat tergantung pada trah Soekarno, beban tambahan bagi
Megawati sejak kongres Bali adalah mengaderisasi (mempersiapkan) cucu-cucu
Soekarno untuk melanjutkan kepemimpin trah itu atas PDIP.
Pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi Megawati dan PDIP ke depan,
apakah akan menemukan cucu Soekarno yang bisa diterima massa PDIP? Dalam hal
ini dua hal yang perlu diingat. Megawati muncul sebagai tokoh politik penting
pasca-Orde Baru bukan melulu karena dia putri Soekarno, melainkan juga karena
dirinya dipersepsikan sebagai korban kezaliman Orde Baru. Dengan kata lain,
yang membesarkan Megawati tak hanya Soekarno, tapi terutama Soeharto.
Hal kedua yang tidak kurang penting bagi keutuhan PDIP dan
kelanggengan trah Soekarno pada kepemimpinan PDIP adalah dinamika politik
yang tercipta dan terus berkembang
oleh perubahan masyarakat dan makin jauhnya jarak generasi sekarang dan generasi mendatang dari masa Soekarno.
Juga harus diingat, PDIP bukan kelanjutan Partai Nasional Indonesia
(PNI), melainkan gabungan banyak dan berbagai partai, meski yang mayoritas
adalah mantan anggota PNI. Karena itu, kalau Megawati terlalu menekankan
ajaran Soekarno sebagai ciri PDIP, bukan tidak mungkin sang ketum secara
berangsur mengalienasi anggota PDIP yang sumbernya bukan PNI.
Di Bali beberapa hari lalu, pertanyaan-pertanyaan demikian
mungkin belum mendesak dipikirkan. Itu karena yang jadi soal bagi Megawati
hari-hari ini adalah menguatkan kembali kontrolnya atas "petugas partai'
yang dipilih dan didukungnya sebagai presiden. Urusan partai sudah dipandang
beres.
Dari Bali, Megawati pulang sebagai penguasa tunggal PDIP tanpa
ancaman yang mengusik keutuhan partai dan dominasi sang ketum. Namun, untuk
berapa lama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar