Trimedia
Khomeini dan Sarumpaet Madari
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 18 April 2015
Ada segmen menarik pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC),
Selasa (14-4-15) pekan ini, yakni segmen ketika terjadi debat saling sambar
antara tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Trimedia Panjaitan
(Trimed) dan Ratna Sarumpaet terkait praksis demokrasi pada live di TV One
yang membedah isu ”Petugas Partai” tersebut.
Ketika diberi kesempatan berbicara, Sarumpaet mengkritik, antara
lain, kepemimpinan Megawati yang sudah sangat lama dan masih terpilih lagi di
Kongres PDIP pekan lalu. Kata Sarumpaet, seharusnya Megawati menyerahkan
tampuk kepemimpinan kepada kader yang lebih muda. Megawati, tambah Sarumpaet,
sudah lebih dari 15 tahun memimpin PDIP.
Trimed menjelaskan, ”Megawati
terpilih dalam kongres secara sangat demokratis”. Megawati dipilih
berdasar usul berjenjang dari pengurus tingkat bawah sampai tingkat pusat,
yang kemudian didukung secara aklamasi oleh kongres. Bukan Megawati yang
meminta dipilih, tapi warga PDIP sendirilah yang memintanya. Kata Trimed,
Megawati terpilih sebagai produk demokrasi, bukan hasil rekayasa.
Sarumpaet yang adalah seniwati dan aktivis pejuang penegakan HAM
menyambar lagi dengan pernyataan, seharusnya Megawati meminta para kadernya
untuk memilih kader lain yang lebih muda. Megawati seharusnya mendorong warga
PDIP untuk tidak selalu memilih dirinya. Trimed pun menyambar lagi bahwa
semua warga PDIP ikhlas memilih Megawati.
Masak mau dilarang? Demokrasi itu kan memberi kebebasan pada
anggota untuk menentukan pilihannya? Kalau melarang anggota untuk menentukan
pilihannya sendiri, berarti tidak demokratis. Demikian Trimedia. Materi
perdebatan tersebut sangat menarik dalam konteks ambiguitas dan paradoks
demokrasi. Saat mengikuti debat Trimed-Sarumpaet itu, saya jadi teringat pada
sebuah tulisan yang pernah saya baca di majalah Prisma pada 1990-an. Saya
sudah lupa nomor edisi dan nama penulisnya karena sudah lama sekali, lebih
dari 15 tahun lalu.
Tetapi saya ingat penulis itu bercerita tentang perdebatan
antara Ayatullah Khomeini dan Shariat Madari, dua tokoh revolusi Iran yang
mengguncangkan dunia pada 1979 itu. Seperti diketahui, setelah berjuang
selama puluhan tahun, bahkan sempat diasingkan di Paris selama 22 tahun,
Ayatullah Khomeini akhirnya berhasil memimpin revolusi di Iran, menjatuhkan
rezim Syah Iran yang korup dan bertangan besi.
Setelah revolusi yang gemilang itu, Iran memasuki babak baru,
membangun sistem politik yang demokratis atau, tepatnya, sistem teodemokrasi.
Ketika itu Khomeini yang saleh, suci, dan sederhana sangat dihormati,
dikagumi, dan didukung oleh rakyat Iran untuk memimpin dan mengatur Iran
sehingga kekuasaannya menjadi besar luar biasa.
Pelan-pelan kekuasaan Khomeini membesar dan membesar sehingga
semua kekuasaan terpusat di tangannya. Khomeini menjadi penentu kekuasaan
legislatif karena melalui kedudukannya sebagai Waly al Faqieh, dia adalah
penentu undang-undang yang bisa ditetapkan oleh parlemen. Khomeini adalah
penentu pejabat-pejabat puncak eksekutif sebelum maupun sesudah pemilu.
Khomeini juga mengambil fungsi yudikatif ketika, misalnya,
menjatuhkan vonis hukuman mati kepada penulis buku Satanic Veses Salman
Rushdi dan kepada PM Sadeq Godzadeh. Namun, rakyat senang dan selalu
mendukung Khomeini karena kejujuran dan kesederhanaannya. Dalam keadaan
seperti itulah, Shariat Madari datang kepada Khomeini untuk memberi semacam
teguran.
Dia mengingatkan Khomeini bahwa kekuasaannya yang begitu besar
(merambah ke legislatif, eksekutif, yudikatif) itu bertentangan dengan ide
demokrasi yang diperjuangkan Khomeini sendiri. ”Mengapa engkau berkata begitu, sahabatku?” tanya Khomeini. ”Karena engkau telah mengangkangi semua
kekuasaan, itu bukan demokrasi yang kita perjuangkan,” jawab Madari.
”Apa arti demokrasi itu
menurutmu?” tanya balik Khomeini. ”Kekuasaan dan pemerintahan yang diperoleh
atas kehendak dan untuk rakyat,” jawab Madari. ”Kalau begitu saya sudah bertindak demokratis, sebab kekuasaan saya
yang besar ini diminta oleh dan untuk rakyat,” jawab Khomeini lagi.
”Kalau begitu bilang pada
rakyat agar tidak memberi kekuasaan yang terlalu besar kepadamu. Engkau
didengar oleh rakyat. Jika engkau bilang agar rakyat tidak menumpuk kekuasaan
di tanganmu maka rakyat akan mematuhinya,” debat
Madari. Khomeini pun menukas, ”Lo,
kalau saya melarang rakyat untuk memberikan kekuasaan kepadaku sesuai pilihannya
sendiri, berarti saya menentang demokrasi. Rakyat maunya begitu, bagaimana
lagi.” Jadi, perdebatan antara Trimedia dan Sarumpaet itu hampir sama
persis dengan perdebatan antara Khomeini dan Madari.
Persoalannya terletak pada ambiguitas dan paradoks demokrasi itu
sendiri. Dalam sejarah pemikiran politik sejak zaman Yunani kuno (2500 tahun
yang silam), demokrasi memang dinilai ambigu dan bukanlah sistem yang ideal.
Plato, misalnya, menyebut adanya unsur jelek demokrasi karena menyerahkan
penentuan keputusan penting negara kepada rakyat yang umumnya sangat awam dan
berpotensi menimbulkan massa liar.
Sementara itu, Aristoteles mengatakan bahwa di dalam demokrasi
itu banyak demagog, politisi yang ahli orasi dan agitasi dengan berbagai
janji, tetapi sesudah menang dalam pemilihan mereka tidak memenuhi
janji-janjinya. Meskipun begitu, demokrasi merupakan sistem terbaik jika
dibandingkan dengan sistem-sistem lain sebab di dalam demokrasi ada prinsip
penghormatan terhadap rakyat dan hak-haknya.
Di dalam sistem apa pun, negara akan baik jika pemimpinnya
jujur, bersih, dan berintegritas. Kualitas demokrasi akan semakin membaik
jika didahului dengan semakin membaiknya kesejahteraan dan tingkat pendidikan
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar