Presidensial
Pasca-Pemilu 2014
Janedjri M Gaffar ;
Doktor
Ilmu Hukum, Alumnus PDIH
Universitas
Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 15 September 2014
Pada
1 Oktober mendatang kita akan memiliki DPR baru hasil Pemilu 2014. Sedangkan
presiden dan wakil presiden terpilih akan mengucapkan sumpah pada 20 Oktober
mendatang. Hasil dua pemilu tersebut telah mengubah peta politik dan akan
memengaruhi dinamika ketatanegaraan. Peta politik cenderung berubah menjadi
dua kekuatan politik yaitu koalisi pemerintah dan koalisi nonpemerintah. Satu
menguasai pemerintahan, sedangkan yang lain menguasai mayoritas kursi DPR.
Peta ini menjadi ujian baru bagi sistem ketatanegaraan kita, terutama agar
tetap berjalan sesuai karakter sistem presidensial, tidak terjebak dalam
kecenderungan sistem parlementer.
Presidensial di
Indonesia
Pilihan
terhadap sistem pemerintahan presidensial ditegaskan melalui Perubahan UUD
1945, bahkan disepakati untuk memperkuat sistem presidensial yang sebelumnya
banyak mengandung unsur parlementer. Kesepakatan dasar tersebut diwujudkan
dengan mengembalikan kewenangan pembentukan undang-undang kepada DPR di satu
sisi dan di sisi lain meneguhkan kedudukan presiden yang bersifat fix term
sebagai konsekuensi dari presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat,
tidak lagi oleh MPR. Perbedaan dasar antara sistem parlementer dan
presidensial sesungguhnya adalah pada siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan.
Pada
sistem parlementer, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen.
Parlemenlah yang menentukan bagaimana pemerintahan dijalankan dan siapa yang
menjalankan. Pemerintah, dalam hal ini perdana menteri dan kabinet, tidak
lain adalah semacam komite di dalam parlemen. Karena itu, parlemen dapat
sewaktu- waktu mengganti pemerintahan, apalagi jika terjadi perubahan peta
kekuatan politik dan koalisi. Sistem presidensial memiliki perbedaan tajam
dengan parlementer. Pemerintahan dipegang oleh presiden yang dipilih melalui
pemilu yang terpisah dengan pemilu parlemen.
Antara
kelembagaan dan kekuasaan parlemen dengan presiden adalah dua hal yang
berbeda dan terpisah. Pemerintahan tidak digantungkan kepada parlemen.
Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki hak sepenuhnya menentukan
jalannya pemerintahan dan pembangunan berdasarkan visi, misi, dan program
yang diusung, yang karena itulah rakyat memilihnya. Kedudukan pemerintahan
berimbang dengan kedudukan parlemen. Di dalam sistem presidensial, fungsi parlemen
bukan menentukan ataupun membentuk pemerintahan, melainkan lebih pada fungsi
pembentukan undang-undang sebagai kerangka yang harus dijalankan pemerintah,
fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.
Tentu
saja tidak ada satu pun sistem pemerintahan yang sepenuhnya sama. Setiap
negara memiliki karakter atau penyesuaian dengan kondisi internal. Misal,
presidensial di Indonesia tidak sama dengan presidensial di AmerikaSerikat.
JikadiAmerika, presiden memiliki hak veto atas rancangan undang-undang (RUU)
yang telah disetujui oleh kongres, namun presiden tidak memiliki kewenangan
dalam seluruh proses pembahasan. Di Indonesia sebaliknya, presiden memiliki
kewenangan dalam proses pembahasan dan persetujuan RUU, namun tidak memiliki
hak veto. Namun, perbedaan yang ada itu tidak mengurangi prinsip presidensial
yaitu kekuasaan pemerintahan ada pada presiden.
Presidensial
Pasca-Pemilu 2014
Sejak
perubahan UUD 1945 kita telah menjalankan sistem presidensial yang telah
diperkuat. Pada masa itu tidak pernah terjadi ketegangan hubungan yang
berarti dalam hubungan antara DPR dan presiden. Faktor yang paling
berpengaruh adalah karena cairnya hubungan antara kekuatan-kekuatan politik.
Walaupun terbentuk Sekretariat Gabungan dan terdapat partai-partai
nonpemerintah, hubungan masih bersifat lentur dan setiap partai memiliki
otonomi dalam menentukan sikap dan pendapat mengenai berbagai persoalan
kenegaraan. Pemilu 2014 menghasilkan peta kekuatan politik yang berbeda.
Telah terbentuk koalisi partai pendukung pemerintah di satu sisi dan di sisi lain
koalisi partai nonpemerintah.
Koalisi
ini tampaknya lebih permanen meski tetap dapat berubah dalam perjalanan lima
tahun ke depan, apalagi jika terjadi pergantian kepemimpinan partai politik.
Terbentuknya dua kekuatan koalisi ini ujian bagi sistem presidensial kita.
Ada kekhawatiran akan menimbulkan ketegangan hubungan antara presiden dan DPR
yang dapat berujung pada stagnasi pemerintahan dan pembangunan. Kekhawatiran
ini bercermin pada hubungan antara partai pemerintah dan partai oposisi di
berbagai negara dan pengalaman kita tatkala menerapkan sistem pemerintahan
parlementer. Namun, kekhawatiran ini tidak perlu berlebihan jika dikembalikan
pada perbedaan dasar antara presidensial dan parlementer.
Keberadaan
partai koalisi nonpemerintah tentu juga harus dimaknai dalam sistem
presidensial. Koalisi nonpemerintah di DPR tetap berperan dalam koridor tugas
dan wewenang yang dimiliki untuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan,
dan anggaran. Oposisi dalam pemerintahan presidensial tidak boleh dimaknai
sebagai kekuatan antipemerintahan atau kekuatan yang bertujuan untuk
mengganggu atau bahkan menjegal pemerintahan yang telah ditentukan oleh
konstitusi bersifat fix term . Oposisi dalam sistem presidensial adalah
kekuatan penyeimbang guna memastikan pemerintahan dan pembangunan adalah
untuk seluruh rakyat dan tidak disalahgunakan. Bukan kekuatan asal beda
atausenantiasaberorientasi untuk merebut kekuasaan pemerintahan.
Satu Tujuan Beda Peran
Kita
percaya bahwa segenap komponen bangsa, khususnya kekuatan partai politik,
baik yang ada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, memiliki
satu tujuan, yaitu menjalankan pemerintahan dan pembangunan demi
kesejahteraan rakyat. Setiap anggota DPR, pemerintah, dan partai politik
tentu memahami bahwa kalaupun terdapat koalisi nonpemerintah, harus berbeda
dengan oposisi dalam sistem parlementer. Perbedaan antara partai pemerintah
dan nonpemerintah hanyalah pada peran yang dijalankan, bukankekuasaanyangdiperebutkan.
Partai pemerintah berperan melalui penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan.
Partai
di luar pemerintah, termasuk partai pemerintah tentunya, berperan melalui
pembentukan undang-undang, pengawasan, dan penyusunan anggaran. Berpijak pada
perspektif konstitusi demikian itulah, kita dapat mewujudkan
konstitusionalitas Indonesia yakni kesesuaian segala aspek penyelenggaraan
dan kehidupan negara berdasarkan aturan dasar yang menjadi materi muatan
konstitusi, yang dilaksanakan, baik dalam bentuk aturan hukum, tindakan
penyelenggara negara, maupun tindakan warga negara. Dengan demikian, berbagai
agenda pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional dapat dilaksanakan
dan diwujudkan.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar