Kepastian
Arah Penyelesaian Sengketa Pilkada
Samsul Wahidin ;
Guru
Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
|
KORAN
SINDO, 15 September 2014
Jika
tak ada aral, pada 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) akan kembali
dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini
menyusul disetujui oleh sebagian terbesar kekuatan politik di DPR tentang
pengembalian kewenangan memilih oleh para wakil rakyat di daerah tersebut.
Seiring
itu, penyelesaian sengketa pilkada juga berubah. Perubahan itu menyusul
dibacakan putusan No 1- 2/PUU-XII/14 berdasarkan permohonan uji materi
inkonstitusionalitas Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan
itu dijatuhkan pada 19 Mei 2014. Membaca legal reasoning dari putusan
tersebut, secara teknis ternyata penyelesaian sengketa pilkada telah membuka
ruang untuk korupsi.
Bukti
konkretnya adalah tertangkap tangan Akil Mochtar sebagai terdakwa korupsi
sengketa pilkada. Sebelum prahara MK yang mendudukkan Akil sebagai terdakwa,
sebenarnya pembentuk UU sudah berencana mengalihkan penyelesaian sengketa
pilkada tersebut dengan memberi kewenangan ke peradilan umum.
Berarti
naungan formalnya adalah Mahkamah Agung dengan jajaran peradilan di bawahnya.
Di dalam RUU Pilkada yang sebentar lagi disahkan, sengketa pilkada akan
dikembalikan ke Mahkamah Agung (MA). Itu diatur pada Pasal 28 ayat 1.
Dinyatakan:
”Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan diajukan ke Mahkamah Agung
paling lambat tiga hari setelah penetapan penghitungan suara dalam pemilihan
gubernur dengan tembusan panitia pemilihan (panlih)”. Ketentuan ini berlaku
untuk pemilihan gubernur (pilgub). Sejalan dengan mekanisme ini, perselisihan
pilkada tingkat kabupaten/kota akan diselesaikan di pengadilan tinggi (PT).
Penegasan ini diatur pada RUU Pasal 130 Ayat 1.
Dinyatakan:
”Terhadap penetapan reka-pitulasi penghitungan suara dan penetapan calon
bupati/ wali kota terpilih, calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan tinggi paling lambat tiga hari setelah
penetapan”. Putusan lembaga pengadil tersebut bersifat final and binding (final dan mengikat, tak ada upaya hukum lain).
Klausul ini penting sebab jalur reguler perkara puncaknya senantiasa di MA.
Dengan demikian, putusan sengketa pilkada hanya dilakukan pada satu tingkat
dan hanya satu kali.
Penyelesaian Bukan
oleh MK
Membaca
dasar hukum, mengapa sengketa pilkada itu masuk ke MK hingga saat ini adalah
Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dimaksud. Pada pasal itu dinyatakan bahwa ”Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama
18 (delapan belas) bulan sejak undangundang ini diundangkan”.
Sedangkan
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum.
Sebagai konsekuensi, pilkada masuk ke rezim pemilu dan namanya pemilukada.
Sebagai
akibat ke hilirnya, oleh karena kewenangan MK adalah menyelesaikan masalah
sengketa pemilu, pemilu untuk gubernur, bupati dan wali kota yang semestinya
hajat lokal menjadi hajat nasional yang diselenggarakan di daerah. Sebenarnya
terlalu besar jika memasukkan hajat daerah yang notabene wilayah kecil.
Hal
demikian juga tidak sesuai dengan berbagai upaya yang arahnya desentralisasi
dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah. Dari sisi ini,
mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada ke pengadilan
tinggi untuk level bupati/wali kota masuk akal.
Secara
praktis, sengketa pemilukada bupati/ wali kota yang harus disele-saikan di
level MK memerlukan biaya besar. Apalagijika sengketa itu berasal dari daerah
yang jauh dari Jakarta. Kecenderungan selama ini, persidangan penyelesaian
sengketa pemilukada di MK itu bahkan cenderung melibatkan massa. Ongkos untuk
itu terlalu mahal, khususnyajikadibandingkan dengan penyelesaian yang
dilaksanakan di ibu kota provinsi yaitu di pengadilan tinggi setempat. Kalau
itu terjadi, berarti berubah lagi dari rezim pemilukada ke rezim pilkada.
Sisi
lain yang menjadi keberatan dari sengketa pemilukada dan kalau nanti
diselesaikan didaerah menjadi sengketa pilkada adalah kondisi pengadilan yang
disinyalemen masih tidak atau belum bersih dari penyimpangan. Bahasa
praktisnya institusi pengadilan meskipun gaji hakimnya sudah dinaikkan, namun
masih subur dicokoli mafia hukum.
Pada
level MA pun demikian. Banyak cerita buruk tentang perilaku hakim MA yang
mencuat ke publik. Ada yang menilai, perpindahan dari MK ke MA ibarat keluar
dari mulut harimau, tapi masuk ke mulut buaya. Sami mawon . Pada perspektif
yuridis, berdasarkan hukum acara selama ini MA tidak memeriksa fakta. MA
adalah peradilan tertinggi, bukan judex
factie.
Kalau
kemudian perselisihan gubernur masuk ranah MA, itu memerlukan pembenahan
terhadap asas hukum dimaksud dan itu levelnya adalah UU. Hal ini yang secara
tersirat menjadi pertimbangan dalam putusan mengapa MK akhirnya memilih untuk
tidak mengadili sengketa pilkada.
Dengan
pembatalan ketentuan tentang kewenangan MK mengadili sengketa pilkada,
kekhawatiran bahwa MK akan memegang kewenangan ”instan” tersebut tidak
diperlukan. Artinya MK dengan sukarela melepaskan kewenangan yang sebenarnya
bertentangan dengan khitah nya sebagai penengah atas sinyalemen pertentangan
antara UU dan UUD.
Sebagai
catatan, pada putusan yang dibacakan pada 19 Mei 2014 itu sengketa pilkada
tetap ditangani MK sampai diberlakukan UU Pilkada dalam beberapa waktu
mendatang. Padahal seharusnya putusan MK taat asas bahwa putusan berlaku
sejak diucapkan.
Ketentuan
pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD sudah tidak berlaku sejak saat
itu. Artinya bahwa seharusnya kewenangan atas sengketa pilkada segera
diserahkan kepada lembaga sebelum pengalihan kewenangan yaitu pada Mahkamah
Agung dan pengadilan tinggi.
Bukan
menunda dengan alasan ketidaksiapan lembaga yang dibungkus dengan kalimat—
menunggu perubahan undang-undang. Kendati demikian, kabar gembiranya toh UU
itu segera disahkan dan tidak ada sengketa pilkada yang sedang ditangani MK.
Jadi sengketa pilkada yang akan diajukan pada 2015 dan seterusnya yang
menangani adalah pengadilan tinggi untuk tingkat kabupaten/kota dan Mahkamah
Agung untuk tingkat provinsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar