Dua
Jempol untuk MA
Joko Riyanto ; Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 23 September 2014
Keputusan
mengejutkan datang dari Mahkamah Agung (MA). MA memperberat hukuman mantan
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun
menjadi 18 tahun penjara. Bukan itu saja, majelis kasasi yang dipimpin oleh
Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar juga mencabut hak politik Luthfi untuk
dipilih dalam jabatan publik.
Menurut
Artidjo, perbuatan Luthfi merupakan ironi demokrasi. Ironi karena anggota DPR
yang mestinya memperjuangkan rakyat malah melakukan korupsi dengan
menggunakan kekuasaannya untuk mendapat imbalan atau fee dari perusahaan
pemasok daging sapi, sehingga MA mencabut hak politik Luthfi, yakni tidak
boleh dipilih sebagai pejabat publik. Misalnya, jadi anggota DPR atau menteri
atau jabatan lainnya. Itu hukuman atas korupsi politik.
Putusan MA
melalui majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar itu layak
mendapat acungan jempol dua. Keputusan MA menjawab harapan masyarakat yang
sejak era Reformasi menginginkan hukuman terberat bagi pelaku korupsi. Dampak
lainnya dari vonis Luthfi, citra lembaga pengadilan akan semakin positif di
mata masyarakat. Ketegasan putusan Artidjo yang tidak bisa dimanipulasi
dengan apa pun bisa menjadi spirit bagi para penegak hukum dan proses
peradilan semua tingkat. Sebab, salah satu titik lemah yang meruntuhkan
semangat perang melawan korupsi sejauh ini adalah rendahnya vonis hukuman
terhadap para koruptor, obral remisi, dan "hak-hak istimewa" di
dalam penjara yang mendiskriminasi proses hukum.
Sikap dan
tindakan Artidjo sesuai dengan kata-kata Prof Taverne, "berikan kepadaku jaksa dan hakim yang baik, maka dengan hukum
yang buruk pun saya dapat membuat putusan yang baik". Independensi
hakim Artidjo dalam membuat putusan dibuktikan dengan "memadukan"
antara sistem civil law dan common law sehingga tercipta kepastian dan
penegakan hukum yang berkeadilan.
Sosok Artidjo
layak disandingkan dengan hakim legendaris Cina, Bao Zheng. Dalam menjatuhkan
putusan, Artidjo tidak hanya menjadi corong undang-undang. Setidaknya, dia
memiliki pandangan dan pemikiran progresif dalam penegakan hukum. Almarhum
Prof Satjipto Rahardjo memberikan istilah, penegakan hukum yang baik adalah
penegakan hukum yang dijalankan dengan akal sehat dan hati nurani, sebagai
pola penegakan hukum responsif dan progresif. Penegakan hukum yang hanya
menerapkan teks undang-undang, tanpa memperhatikan realitas senyatanya dalam
kehidupan masyarakat akan mengalami disfungsi dan penolakan karena terjadi
kesenjangan pemahaman atas hukum. Penegakan hukum menuntut kerja keras, hati,
pikiran, dan keberanian menguji batas kemampuan hukum. Jaksa dan hakim adalah
aparat utama yang perlu secara progresif berani menguji batas kemampuan UU.
Hukuman
terhadap Luthfi Hasan Ishaaq diharapkan akan menjadi efek berantai yang terus
menjadi cambuk dan yurisprudensi bagi hakim-hakim pengadilan tipikor untuk
memperberat hukuman para koruptor lainnya. Negeri ini membutuhkan lebih
banyak hakim yang memiliki pikiran progresif, sikap tegas-berani, mampu
menerobos kebuntuan hukum, dan tindakan yang menguatkan agenda pemberantasan
korupsi. Vonis Luthfi tersebut setidaknya bisa ikut memacu aparat penegak
hukum untuk tidak pandang bulu dan "bermain-main" dengan
kasus-kasus korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar