Kebebasan
Beragama, Harapan kepada Pemimpin Baru
Benny Susetyo ; Pemerhati
Masalah Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 22 September 2014
Pemimpin baru
selalu diharapkan membawa angin segar perubahan ke arah lebih baik. Salah
satunya dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan. Apalagi, ini merupakan hak
yang dijamin secara tegas oleh konstitusi.
Kenyataannya,
selama ini sekalipun sudah dijamin secara jelas, pelaksanaan di lapangan
masih sering tidak konsisten. Berbagai pelanggaran masih sering terjadi dan
cenderung meningkat. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, kondisi kebebasan
beragama/berkeyakinan berada pada situasi sangat rentan.
Berbagai
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilaporkan berbagai
organisasi masyarakat sipil cenderung tidak mengalami penurunan yang berarti.
Beberapa
faktor yang cukup signifikan yang menyebabkannya, di antaranya adalah
rendahnya toleransi masyarakat, pembiaran oleh aktor negara, pengelolaan
kehidupan agama berdasarkan produk hukum diskriminatif, serta impunitas
pelaku kekerasan.
Hukum di
lapangan tumpul dalam menghadapi pemelanggar. Justru makin banyak korban
berjatuhan dan makin melengkapi situasi kondisi kebebasan beragama yang
memburuk.
Kepada
pemimpin baru diingatkan bahwa problem kehidupan beragama di Indonesia masih
cukup banyak, setiap saat muncul problem berbeda. Untuk menjalankan kehidupan
beragama secara bersama-sama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi
masih menghadapi tantangan yang tidak kecil.
Toleransi Terancam
Walaupun
wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam
berbagai wacana publik, praktiknya tidak semudah yang dipikirkan dan dibicarakan.
Meski sudah
terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama,
melainkan oleh kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku”
justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan
kekerasan.
Sekalipun kita
menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak
seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan
di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas,
soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Berbagai
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi sangat tampak di
permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap
kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan
kerap dipertontonkan kepada publik.
Sebagian besar
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pelakunya adalah negara (commission). Itu misalnya dalam bentuk
pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap
sesat.
Hal yang
termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas
negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.
Tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran (ommision) terhadap tindakan-tindakan
kekerasan yang dilakukan warga atau kelompok.
Berbagai
laporan yang dikeluarkan menunjukkan, eskalasi kekerasan berbasis agama yang
terjadi mengandung destruksi sangat serius dan mengkhawatirkan.
Kegagalan Negara
Penyerahan
otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai
sebuah ajaran agama dan kepercayaan, merupakan bentuk ketidakmampuan negara
untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan
keyakinan.
Aparat hukum
bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman
massa. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang
seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.
Dapat dilihat
di sini negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan telah bertindak sebagai
pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang
aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan
melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.
Di sini kita
melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan
umat beragama dan melakukan ibadah dijamin. Namun, dalam peraturan di
bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada
pengekangan.
Misalnya dalam
konteks rumah ibadah, itu bukanlah soal bagaimana suatu rumah ibadah diserbu
bahkan dibakar sekelompok orang yang menjadi persoalan utama. Itu sekadar
akibat saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah
menjadi mediator, perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengatur
pendirian rumah ibadah.
SKB yang
menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian, pelaksanaannya
melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain. Bukan umat
beragama yang serta-merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan
ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil
dan menguntungkan bagi semua.
Negara gagal
memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama
untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
Jika demikian,
lalu untuk apa Pancasila? Apakah untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para
founding father merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan
terhormat itu, jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa
mempraktikkannya dengan sepenuh hati?
Buka Ruang Dialog
Walaupun
kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum
berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadah. Beribadah, seperti
kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang
melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam
beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secaralebih
manusiawi?
Pemerintah
berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan
kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan
beragama yang dianggap lain. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan
pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.
Itulah yang
dikehendaki Pancasila. Dengan begitu, kebijakan yang berpeluang untuk
menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu,
didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil
dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil?
Pemerintah
baru dan kepemimpinan baru harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan
seperti ini.
Kekerasan
telah menjadi model yang sering dibungkus ornamen keagamaan dan kesukuan.
Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi
pertiwi ini.
Meski kita
seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada
Pancasila, kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama.
Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin
hari semakin terkikis kefasikan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan.
Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya.
Pancasila
tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa
yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk
mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar