Jokowi-JK
dan Go Organic
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
|
KORAN
TEMPO, 23 September 2014
Presiden-wakil
presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji menempatkan pertanian di
posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Salah satunya dilakukan
dengan mencanangkan program Indonesia
Go Organic. Caranya, membuat proyek percontohan 1.000 desa organik dari
program reformasi agraria sebagai sentra penghasil pangan organik hingga
2019, dan tambahan 1.000 desa lagi hingga 2024. Apa pentingnya program ini?
Kinerja
produksi aneka pangan strategis Indonesia naik-turun. Dalam beberapa tahun
terakhir, ada kecenderungan produksi stagnan, bahkan menurun. Produksi pangan
tidak mampu mengejar pertumbuhan permintaan. Impor menjadi solusi instan. Ada
banyak penyebab instabilitas produksi pangan, salah satunya adalah degradasi
kualitas tanah.
Akar masalah
berawal dari adopsi teknologi produksi padi pada 1970-an: Revolusi Hijau.
Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda: positif dan
negatif. Lewat adopsi paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan
sehingga ramalan penganut Malthusian tak terbukti. Produksi padi naik dari
1,8 ton per hektare menjadi 3,01 ton per hektare hanya dalam tempo 14 tahun
(1970-1984) dan kita berswasembada beras pada 1984.
Revolusi Hijau
adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang cepat memunculkan
kekaguman, tapi diakhiri dengan kekecewaan di kemudian hari. Ini juga terjadi
di negara lain. Paket-paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk (kimia) dan
pestisida, terbukti merusak tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan
kontinuitas produksi. Pemakaian pupuk anorganik yang terus-menerus dan
takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi.
Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.
Varietas
unggul yang ditanam ternyata rakus hara dan mineral sehingga tanah harus
terus-menerus diberikan input hara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida
yang digunakan bertubi-tubi tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan
penyakit yang kebal. Varietas unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada
hama/penyakit yang kian tangguh telah membuat erosi varietas milik petani
yang menghasilkan nasi punel dan wangi. Varietas-varietas lokal yang tidak
rakus hara tidak hanya tersingkir, tapi juga mulai punah.
Dampak dari
pemakaian pupuk anorganik adalah kian tidak responsifnya tanaman terhadap
pemupukan. Meskipun takaran diperbesar, tingkat produktivitas tidak sebanding
dengan penambahan input pupuk. Berlakulah hukum besi: the law of diminishing return. Ini terjadi karena tanah sudah
jenuh dan keletihan (fatigue soil),
bahkan sakit (sick soil).
Menurut Balai
Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, sekitar 73 persen lahan sawah
(sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai
rendah (C-organik <2 22="" 4="" c-organik="" dan="" kandungan="" memiliki="" persen="" sedang="" tinggi="">
3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan
sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan
sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3 persen, kondisi itu
sudah sangat kritis (Simarmata, 2012). Untuk mendongkrak produktivitas,
kesuburan lahan harus dipulihkan.
Didasari oleh
kondisi itu, Kementerian Pertanian pada 2008 mencanangkan gerakan Go Organic. Sesuai dengan skenario, Go Organic direncanakan dicapai pada
2010. Program Go Organic meliputi
pengembangan teknologi pertanian organik, kelompok tani organik, pengembangan
perdesaan melalui pertanian organik, dan strategi pemasaran pertanian
organik. Namun, karena rendahnya komitmen, program itu jauh dari tercapai,
bahkan bisa dikatakan gagal. Pada akhir pemerintahan Presiden SBY, Go Organic nyaris tak terdengar.
Jika dibedah,
tidak banyak hal yang dilakukan pemerintah dalam komitmen Go Organic. Salah satu yang bisa
dicatat adalah subsidi pupuk organik. Itu pun jumlahnya kecil. Secara nomenklatur,
subsidi pupuk organik termasuk dalam program Pemulihan Kesuburan Lahan Sawah
Berkelanjutan (PKLSB). Program ini dimulai pada 2010 dengan subsidi pupuk
organik senilai Rp 300 miliar. Pada 2011, subsidi pupuk organik tidak
mengucur karena tersandung dugaan korupsi. Pada 2014, dari 7,78 juta ton
pupuk bersubsidi, 0,8 juta ton di antaranya pupuk organik, turun dibanding
2013 (0,9 juta ton).
Hasil evaluasi
program PKLSB oleh Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 di delapan
provinsi pada 30 titik sampel menunjukkan, terdapat perbaikan signifikan pada
sifat biologis tanah. Termasuk kenaikan kandungan C-organik dan nilai tukar
kation. Kenaikan itu tidak memiliki perbedaan nyata dengan sebelum
pengaplikasian pupuk organik. Ini bisa dipahami karena aplikasi kompos jerami
dan pupuk hayati baru sekali dilakukan. Padahal, secara teoretis, kesehatan
dan kesuburan tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut (Simarmata, 2012). Langkah Jokowi-JK
yang melanjutkan program ini patut didukung. Mendorong terwujudnya 1.000 desa
organik tak hanya membuat petani mandiri (karena tak bergantung pada pabrik
pupuk anorganik), tapi produktivitasnya bisa ditingkatkan dan keberlanjutan
ekologi lebih terjamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar