Rabu, 04 Juni 2014

Virus Antikorupsi dalam Film

Virus Antikorupsi dalam Film

Bambang Widjojanto  ;   Komisioner KPK
KORAN SINDO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kita tengah berkejaran, korupsi dan kolusi dalam berbagai bentuk, sifat, dan karakternya terus bermetamorfosa dan mereproduksi diri. Ada sebagian kalangan yang sudah sampai pada kesimpulan, korupsi kian mendekati kesempurnaannya dan kuasa kegelapan nyaris tak terbendung lagi.

Coba perhatikan dan fokuskan pada pemberitaan media cetak maupun onlineatas kasuskasus korupsi, kita akan mendapatkan, quantum kejahatan korupsi yang kian menakutkan dan menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa. Pelakunya tidak hanya lelaki, tapi juga perempuan, bahkan kini, bapak dan anak, suami dan istri, keluarga besar, atau sering disebut sebagai dinasti, mereka secara bersama melakukan tindak korupsi. Tidak hanya itu, pengusaha, politisi, kalangan profesional lain, penegak hukum, serta ustad sekalipun juga terlibat dalam kejahatan itu.

Di tengah kedahsyatan perkembangan pelaku kejahatan, KPK bersinergi dan meng-endorse film layar lebar yang berjudul “Sebelum Pagi Terulang Kembali”. Film layar lebar yang didukung artis dan aktor berkarakter yang progerakan antikorupsi serta bersinergi dengan komunitas antikorupsi di mana KPK berada di dalamnya adalah upaya sadar dan sengaja untuk keluar dari kejumudan strategi pemberantasan korupsi yang biasanya hanya bersifat hukum dalam perspektif penindakan semata.

Film ini bukan yang pertama karena sebelumnya ada empat omnibus film cerita pendek yang diberi judul “Kita versus Korupsi” yang berkisah fakta sikap koruptif dalam berbagai segmen kehidupan masyarakat, juga didukung sepenuh-penuhnya oleh KPK. Film ini sudah dilihat oleh sekitar sembilan juta penonton begitu menurut pernyataan Transparansi Internasional Indonesia. Film Sebelum Pagi Terulang Kembali mengonstruksi alur cerita melalui kehidupan keluarga yang berupaya membangun “keguyupannya”, kebersahajaan, dan nilai kejujuran.

Di sisi lain, sistemsosialyangberkembangdi masyarakat memiliki “kekuatan” memaksakan kehendaknya yang bertumpu pada pragmatisme, materialisme, dan konsumerisme yang sebagiannya dengan alasan survival. Ada “perjumpaan dan pertarungan” nilai, di antara keluarga dan masyarakat serta di antara kehendak dan fakta sosial. Ini semua dapat menempatkan keluarga dalam posisi yang dilematis, sulit, dan menakutkan. Keluarga guyup yang sederhana, bersahaya, dan sebisa mungkin terus merawat kejujuran, bisa saja “takluk dan tak berdaya” berhadapan dengan kekuatan koruptif dan kolusif yang bersemayam di jantung kekuasaan, namun kini sudah merambah menjadi perilaku permisif dalam kehidupan sosial masyarakat.

Film ini juga bisa menjadi salah satu potret realitas kontemporer yang kini sedang dihadapi seluruh keluarga di Indonesia. Ternyata menjadi keluarga baik yang harmonis saja tidak cukup pada era korupsi dan kolusi sudah begitu sistematis berkelindan dalam sistem kemasyarakatan dan kekuasaan. Kini diperlukan upaya yang lebih strategis untuk membangun budaya antikorupsi yang berbasis pada keluarga sebagai soko guru kehidupan struktur sosial di masyarakat.

Mengapa harus film? Saat ini tidak ada yang dapat menyangkal, seluruh aktivitas kita dikepung oleh screen culture. Film bukan hanya ada di bioskop, melainkan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari “budaya pop” dan kini juga telah menjelajah pada TV dan bahkan bisa diakses melalui gadget.

Ada beberapa media seperti TV, internet, dan gadget seolah sudah menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari seluruh aktivitas masyarakat. Belum lagi dengan billboard dan TV iklan yang kini meningkat jumlah dan menyerbu ruang publik secara masif. KPK harus masuk dan menggunakan budaya pop untuk mengintensifkan kampanye pemberantasan korupsi. Lihat saja, jumlah jam, rata-rata orang yang menonton TV. Seolah TV sudah menjadi kebutuhan tak terpisahkan dari masyarakat. Film menjadi salah satu program unggulan di banyak TV.

Survei pada 2011 oleh AC Nielsen menyatakan, orang Indonesia menghabiskan waktu sebanyak 20 jam 18 menit seminggu untuk menonton televisi; tetapi pada 2013 terjadi peningkatan karena rata-rata waktu orang Indonesia yang menonton TV menjadi 28 jam per minggu atau lebih dari empat jam setiap hari atau dua bulan nonstop menonton TV selama setahun. Waktu yang dihabiskan untuk menonton TV berbeda dengan waktu online di internet. Penduduk Indonesia menghabiskan rata-rata 14 jam per minggu untuk online di internet atau rata-rata dua jam sehari.

Ada sekitar 55% pengguna bisa sekaligus mengonsumsi (multitasking) internet dan televisi dan 45 % hanya mengakses masing- masing internet dan TV. Selain itu, secara umum, mereka yang berada di usia 12 sampai 17 tahun menghabiskan waktu sebanyak tujuh jam dan 48 menit per bulan untuk ratarata menonton video pada ponsel. Jumlahnya, 18% lebih banyak dari orang-orang usia 18 sampai 24 tahun dan lebih besar 46% dibanding pada usia 25 sampai 34 tahun. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menonton film melalui internet jauh lebih banyak lagi.

Semoga saja film Sebelum Pagi Terulang Kembali akan menjadi media yang baik, bukan sekadar untuk ditonton, tetapi juga dapat menjadi media pembelajaran. Lebih jauh dari itu, film pada dasarnya dapat menjadi tuntunan karena dapat digunakan untuk mencerdaskan dan mencerahkan dengan mentransformasikan nilai-nilai baik antara lain antikoruptif, kolusif, dan nepotistik yang ditujukan untuk membangun watak, harkat, dan martabat masyarakat. Film ini diharapkan dapat mengombinasikan unsur hiburan dan sekaligus menyampaikan nilai spiritualitas serta bahkan medium refleksi, selain mengajukan alternatif pandangan dan kritik sosial.

Film ini dijadikan KPK sebagai salah satu strategi untuk menyebarluaskan dan membangun vaksin berupa budaya antikorupsi dalam keluarga serta diharapkan akan melengkapi film lain yang telah pernah dibuat di Indonesia. Salah satunya film yang berjudul Lewat Djam Malam yang diproduksi pada 1954 melalui karya Asrul Sani. Kritikus film menilai film tersebut sebagai salah satu film terbaik, tidak hanya dari segi sinematografi, tetapi juga sebagai kritik sosial karena mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai.

Semoga saja, keluarga Indonesia dan para kawula mudanya akan memiliki vaksin antikorupsi setelah menonton film Sebelum Pagi Terulang Kembali serta mendapatkan inspirasi terbaiknya untuk bersama-sama memerangi virus-virus koruptif dan kolusif yang bersemayam pada diri kita sendiri, keluarga, serta sistem sosial, khususnya dalam struktur kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar