Nakhoda
Baru dan Arah Indonesia
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI,
Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 03 Juni 2014
Kalau
hasil pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 nanti
konstitusional, satu dari dua nama ini, Prabowo Subianto atau Jokowi Widodo,
menjabat presiden RI periode 2014– 2019. Ke arah mana republik akan
melangkah? Rakyat harus menunggu sinyal dari pemimpin terpilih.
Satu
yang sudah pasti, tantangan ke luar maupun ke dalam sama beratnya. Sabtu
(31/5), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Prabowo
Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai peserta Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014. KPU membuat ketetapan itu setelah
kedua pasangan dinyatakan lolos verifikasi, dan dituangkan dalam keputusan
KPU No 453/KPPS/KPU Tahun 2014 tentang penetapan calon presiden dan calon
wakil presiden pemilihan umum tahun 2014. Masuk akal jika berbagai kalangan
memastikan Pilpres 2014 hanya berlangsung satu putaran, karena hanya diikuti
dua pasangan calon. Fakta ini melegakan karena Pilpres 2014 bisa menjadi
lebih hemat biaya.
Pun,
kepastian tentang kepemimpinan nasional yang baru segera terwujud, sehingga
energi nasional bisa segera dialihkan untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan
yang secara ekonomi lebih produktif. Hari-hari ini, seluruh rakyat Indonesia
akan disuguhi tontonan kegiatan kampanye masing- masing pasangan caprescawapres.
Juga diselingi debat antarcapres dan antarcawapres maupun debat antartim
sukses. Dari kampanye dan debat itu, rakyat hanya akan mendengarkan
janji-janji. Tidak ada janji yang bakal merugikan rakyat. Semuanya bisa
meninabobokan.
Apakah
janji-janji pasangan capres-cawapres itu akan diwujudkan nantinya? Waktulah
yang akan membuktikan. Ke arah mana Republik Indonesia akan melangkah di
bawah kepemimpinan nasional yang baru? Masing-masing figur capres sudah
memberi sinyal atau kecenderungan sejak mereka mendeklarasikan posisinya.
Namun, harus diakui bahwa segala sesuatunya masih samar-samar, dan sinyal-
sinyal itu nyaris spontanitas belaka. Mungkin karena kedua figur capres belum
diberi kesempatan untuk memaparkan visi-misi masing-masing.
Kalaupun
pada akhirnya dua figur capres itu menggelar visimisi masing-masing, tidak
akan ada kejutan karena persoalan kebangsaan dan kenegaraan terkini sudah
menjadi pengetahuan umum alias tidak ada yang baru. Pertanyaan dari komunitas
pemilih adalah bagaimana kedua capres akan mengatasi ragam persoalan yang
sedang menyelimuti bangsa hingga saat ini. Oleh karena itu, daripada sekadar
menebar janji tanpa konsep, lebih baik kedua figur capres menugaskan tim
sukses masing-masing merumuskan aneka persoalan itu sesuai persepsi
masing-masing kubu capres.
Jangan
memahami persoalan dari permukaannya saja. Harus dilakukan pendalaman untuk
memahami setiap persoalan. Dengan begitu, identifikasi persoalan jangan hanya
sektoral, tetapi mencakup subsektor agar pemahamannya lebih komprehensif.
Setelah aneka persoalan itu dipotret dengan mendetail, rumuskan pula strategi
jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Pada tahap ini,
keterlibatan para pakar dan praktisi di sektor atau subsektor bersangkutan
amat relevan, karena mereka lebih memahami kondisi dan fakta di lapangan.
Rumusan persoalan dan rumusan jalan keluar itulah yang menjadi bahan dasar
capres-cawapres serta tim sukses menyuarakan visi-misi.
Dari
situ, akan terbangun persepsi yang sama atau seragam, sehingga dalam adu
argumentasi atau promosi program di berbagai kesempatan dan forum, materi
yang dimunculkan tidak signifikan perbedaannya. Rumusan persoalan perlu
disosialisasikan lagi sebagai penyegaran, sementara rumusan jalan keluar
idealnya menjadi penawaran dari capres yang diharapkan bisa memikat pemilih.
Persoalan Lama
Jadi,
kalau seorang capres yakin dan berjanji bisa mewujudkan ketahanan pangan
dengan memanfaatkan potensi dalam negeri, dia harus mampu menjelaskan
bagaimana janji itu bisa diwujudkan. Dan kalau capres bertekad menghapus
subsidi bahan bakar minyak (BBM), dia harus mampu meyakinkan warga miskin
bahwa kebijakannya itu tidak akan menyengsarakan mereka. Artinya, dia harus
menawarkan subsidi lainnya sebagai substitusi kepada warga miskin.
Demikian
juga ketika capres berjanji akan mengakselerasi pembangunan infrastruktur
yang menelan biaya sangat besar itu. Karena pemerintah butuh partisipasi
modal swasta, lokal, maupun asing, sang capres tentu saja harus menunjukkan
kapabilitas dan kredibilitas dalam memobilisasi dana untuk akselerasi
pembangunan infrastruktur. Karena forumnya adalah kampanye atau debat, tentu
saja pemaparan strategi pembangunan itu tidak harus rinci. Terpenting,
pemilih yakin bahwa capres memahami aneka persoalan dengan komprehensif dan
menawarkan jalan keluar.
Kesan
ini perlu ditumbuhkan agar publik tidak lagi berasumsi capres-cawapres
sekadar janji tanpa memahami persoalan. Sebagian besar pemilih Indonesia
sudah paham bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang akan dihadapi presiden
terpilih. Beberapa di antaranya terbilang sensitif. Agenda paling utama
adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Termasuk dalam agenda ini adalah
program nyata memperbaiki kualitas hidup warga miskin, mengelola ketersediaan
kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, memperkecil ketimpangan pendapatan,
penyediaan rumah layak huni, jaminan kesehatan dan pendidikan.
Target
membenahi pengelolaan anggaran juga masuk kategori sensitif karena menyentuh
isu subsidi. Dalam beberapa tahun terakhir, subsidi BBM terus menggelembung
sehingga menurunkan peran APBN sebagai motor penggerak perekonomian nasional.
Sudah barang tentu presiden terpilih ditantang menghapus atau mengurangi
subsidi BBM. Pemilih juga akan menyimak sikap dan komitmen capres terhadap
pemberantasan korupsi.
Tidak
sekadar mendukung, pemilih pada dasarnya berharap presiden berani mengambil
inisiatif mencegah dan memberantas korupsi di tubuh birokrasi pemerintah
pusat maupun daerah. Hingga kini, publik melihat bahwa pemerintah cenderung
pasif, dan menyerahkan kerja pemberantasan korupsi kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, pemilih juga ingin tahu bagaimana
capres menyikapi keterbatasan infrastruktur pada begitu banyak daerah di luar
Jawa.
Tak
perlu ditutup-tutupi lagi bahwa selama ini ada kecemburuan, sejumlah daerah
merasa dinomorduakan. Capres hendaknya segera merespons masalah ini, karena
potensi ekonomi daerah sulit dikembangkan jika tidak didukung infrastruktur
yang memadai. Itulah beberapa tantangan strategis yang bersumber dari dalam
negeri. Lantas apa saja tantangan dari luar yang perlu diantisipasi kedua
figur capres? Paling dekat adalah dimulainya penyatuan ekonomi ASEAN pada
2015 mendatang.
Dalam
konteks ini, persoalannya adalah seberapa kuat daya saing Indonesia menghadapi
perkembangan industri di negeri-negeri tetangga. Kalau tidak kompetitif,
Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk negeri tetangga. Bagi sejumlah
raksasa industri, Indonesia tampaknya belum kondusif sebagai tujuan
investasi. Kendati menjadi pasar yang sangat menguntungkan bagi produsen
telepon seluler, Indonesia tidak dipilih sebagai basis produksi. Produsen
BlackBerry memilih Malaysia, sementara Samsung sudah memilih Vietnam sebagai
basis produksi.
Presiden
terpilih bersama kabinetnya tentu harus merumuskan strategi baru untuk
menjadikan Indonesia tujuan investasi. Sebagai pasar dengan jumlah konsumen
yang demikian besar, mestinya bisa mendatangkan banyak investasi dari luar.
Indonesia mungkin tidak bisa terus-menerus menoleransi perilaku pemain besar
seperti BlackBerry dan Samsung yang hanya cari untung, tanpa niat sedikit pun
mengapresiasi masyarakat Indonesia yang telah berkontribusi menjaga
eksistensi mereka.
Memang, rakyat Indonesia sudah paham bahwa bagi presiden terpilih,
tantangan ke dalam maupun ke luar sama-sama berat. Kalau kedua capres berjanji
akan merespons rangkaian masalah tadi, dari mana memulainya? Mungkin,
presiden terpilih nanti tidak saja perlu membuat dan menunjukkan skala
prioritas, namun juga harus mampu dan berani memerintah. Bukan menunggu
perintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar