Rabu, 04 Juni 2014

Tiga Lagu

Tiga Lagu

Bandung Mawardi  ;   Saudagar Buku
TEMPO.CO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di Komisi Pemilihan Umum, 1 Juni 2014, orang-orang berdiri dan melantunkan lagu-lagu legendaris: Indonesia Raya, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila. Dua pasangan calon presiden-wakil presiden berdiri, tampak bersemangat melantunkan lagu: menguak imajinasi kebangsaan dan puja Indonesia. Lagu mempertalikan mereka untuk bersetia dengan Indonesia, membuktikan janji-janji memuliakan Indonesia. Persaingan merebut kekuasaan berlangsung bersama lantunan tiga lagu, yang berisi sejarah dan doa.

Penonton televisi bisa melihat adegan melantunkan lagu ibarat "ibadah politik". Kita mengenang bahwa Indonesia Raya berlatar pergerakan politik kebangsaan, sejak 1928. Indonesia Raya adalah puncak ekspresi nasionalisme (B. Soelarto, 1993). Sejak mula, Sukarno berkepentingan dengan lagu gubahan W.R. Soepratman, yang dimaksudkan untuk menjadi referensi bagi identitas kebangsaan dan suluh membentuk Indonesia. Lagu pun berkumandang dalam pelbagai rapat politik, memberi gairah melawan kolonialisme. Lagu adalah alunan optimisme mewujudkan Indonesia!

Pihak kolonial cemas! Lagu Indonesia Raya dianggap memicu gerakan-gerakan perlawanan dari bumiputra. Di pihak kaum pergerakan, lagu Indonesia Raya semakin bermakna dengan pengakuan "politis" dalam pelaksanaan Kongres Rakjat Indonesia, 1 Oktober 1939. Peran lagu mendapat pengukuhan prestisius pada masa pendudukan Jepang melalui pembentukan Panitia Lagu Kebangsaan (1944), beranggotakan Sukarno, Ki Hadjar Dewantara, Muhamad Yamin, Sanoesi Pane, dan Kusbini. Pengesahan politik tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Lagu berjudul Padamu Negeri membuka ingatan tentang Kusbini. Dulu, orang-orang mengenal Kusbini sebagai "buaja kerontjong". Kegandrungan dalam bermusik mempertemukan Kusbini dengan Ibu Sud, penggubah lagu anak-anak. Pertemuan pun berlanjut dengan kalangan sastrawan: Sanoesi Pane, Achdiat K. Mihardja, dan Kirdjomuljo. Pada masa pendudukan Jepang, Kusbini berhasil menggubah lagu Bagimu Negeri (1942), ikhtiar melantunkan nasionalisme (Kamadjaja, 1979). Lagu ini lembut dan elok, yang merangsang kita untuk selalu "mengabdi" dan "berbakti" demi Indonesia.

Pada ujung acara penetapan nomor urut pasangan capres-cawapres di KPU, orang-orang tetap berdiri melantunkan lagu Garuda Pancasila (1956) gubahan Sudharnoto. Lagu bernada patriotik. Kita mendapati pemaknaan penuh, bertepatan dengan selebrasi Hari Pancasila, 1 Juni 1945. Ingat, lirik mengandung pesan besar: "Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentosa…" Lihatlah, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa melantunkan dengan semangat. Mereka mesti bisa mewujudkan pesan dalam lagu Garuda Pancasila.

Pemilihan presiden 2014 tak cuma pameran foto, slogan, baju, simbol, angka, dan peci. Persaingan meraih jabatan presiden tak bisa ingkar lagu. Kita sejenak mengartikan agenda demokrasi menggunakan referensi lagu. Kemauan untuk melantunkan lagu-lagu nasional dan kebangsaan dalam pelbagai acara tentu membuktikan ingatan atas sejarah pergerakan bangsa dan penghormatan bagi para komponis. Politik memerlukan lagu. Hasrat berkuasa mesti bernada. Lantunan lagu pun mengartikan kehendak memuliakan Indonesia, dari masa ke masa. Ingat, lagu tak melulu bagian dari upacara! Lagu adalah ekspresi berbangsa dan bernegara secara beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar