Bola
Panas Kampanye Hitam
Gun
Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2014
POLITIK nasional kita mencapai
titik didih. Beragam peristiwa yang menunjukkan relasi antagonistis menyeruak
ke ruang publik. Salah satu yang menyedot perhatian publik ialah keberadaan
tabloid Obor Rakyat yang memantik
polemik tak hanya di media massa dan media sosial, tetapi juga di
diskusi-diskusi formal ataupun obrolan informal.
Perdebatan berpusat pada
pertanyaan mendasar apakah kerja pengumpulan, penyusunan, dan pelaporan
informasi yang dilakukan Obor Rakyat
merupakan kerja jurnalistik atau bukan? Salah satu landasan kerja jurnalistik
ialah fakta yang wajib dikonfi rmasi terlebih jika menyangkut keberadaan
seseorang atau sekelompok orang. Ini yang lazim dikenal dalam standar
prosedur jurnalistik sebagai cover both
side atau cover all side.
Memang bisa saja, dalam sebuah penelusuran investigative reporting, ada
sumber-sumber yang anonim, tetapi tidak mendasarkan tulisan pada rumor atau
gosip yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Memang tak terelakkan bahwa
posisi media di mana pun memiliki kekuatan yang signifi kan dalam melakukan
produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti itu relevan dengan
pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang
telah dikonstruksikan (constructed
reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah
‘cerita’ (Tuchman, 1980).
Proses konstruksi citra melalui
media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966),
berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan
tiga bentuk realitas yakni subjective
reality, symbolic reality, objective reality. Semua ekspresi simbolis
dari apa yang dihayati sebagai objective reality termasuk di dalamnya isi
media (media content) dikategorikan
sebagai simbolic reality.
Meskipun isi media merupakan
realitas yang dikonstruksi dan ekspresi simbolis dari para pekerjanya,
teramat sulit mengatakan Obor Rakyat sebagai produk jurnalistik jika landasan
dasar konfirmasi dan cross check
informasi tak dilakukan bahkan diabaikan.
Hal lain yang tampak tidak
diperhatikan Obor Rakyat ialah standar etis profesional. Dalam perannya
sebagai ‘mata’ dan ‘telinga’, pers seyogianya terus menjalankan fungsinya
secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D
Lasswell ialah sebagai pengawasan sosial (social
surveillance). Hal itu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan
interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol
sosial agar tidak terjadi halhal yang tak diinginkan. Akan tetapi, jelas,
produk jurnalistik tidak boleh terjebak pada dosa-dosa yang mematikan
idealisme pekerja media.
Media wajib memiliki etika
profesional, terutama untuk senantiasa berhati-hati dan tidak melakukan seven deadly sins. Ketujuh dosa
mematikan bagi media massa itu ialah eksploitasi kekerasan, eksploitasi anak
di bawah umur, menstimulasi pencabulan, dramatisasi fakta palsu,
penyalahgunaan wewenang (abuse of power),
melakukan penghakiman oleh pers (trial
by the press), serta menghembus-hembuskan konflik SARA. Tingkat information literacy yang ada di
masyarakat Indonesia masih rendah sehingga media mesti benar-benar melindungi
hak-hak publik untuk mendapatkan isi media yang berkualitas. Kritik banyak
pihak terhadap liputan Obor Rakyat merupakan indikasi kuat dramatisasi fakta
palsu serta provokasi dalam hal SARA di banyak rubrik yang disajikannya.
Operasi opini publik
Menyangkut pembentukan opini,
kita tak menyangkal salah satu kekuatan media ialah membentuk realitas
sosial. Gebner dalam Boyd-Barrett, Approach
to Media: a Reader (1995) memperkenalkan konsep resonansi. Hal itu
terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful
di saat pesan media mengultivasi secara signifikan. Ketika realitas media
seolah-olah mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya,
proses resonansi itu berlaku. Dalam konteks kekuatannya inilah, media menjadi
alat ampuh dalam pembentukan opini publik.
Dalam kajian komunikasi politik,
operasi opini publik pada khalayak sama dahsyatnya seperti operasi militer.
Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran
khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi keadaan
serta pengendalian. Hal yang paling penulis risaukan terkait dengan Obor
Rakyat ialah distorsi politik media.
Obor Rakyat lebih memerankan
diri sebagai propagandis ketimbang jurnalis. Sejumlah teknik propaganda
menyeruak dalam rubrik-rubrik yang dimilikinya. Dalam situasi yang memanas
seperti sekarang, sangat mungkin propaganda tersebut menjadi bagian kampanye
hitam. Jika kita cermati, liputan Obor Rakyat sangat merugikan Jokowi-JK
terutama di masyarakat akar rumput yang disasar distribusi Obor Rakyat.
Jokowi, misalnya, diserang dengan isu hitam etnik, agama yang dianutnya,
dukungan asing, dan lain-lain.
Dalam perspektif komunikasi
politik, memang kampanye itu ada dua jenis, yakni kampanye positif (positive campaign) dan kampanye
menyerang (attacking campaign). Kampanye
positif fokus pada upaya memengaruhi pemilih dengan mengaitkan persepsi dan
emosi khalayak pada hal-hal positif yang terhubung dengan kandidat.
Tujuannya, tentu untuk menaikkan tingkat popularitas, keterpilihan, kesukaan,
dan penerimaan pemilih.
Menurut Michael dan Roxanne
Parrott dalam Persuasive Communication
Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang
secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan serta dilaksanakan pada rentang waktu
tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Hal senada juga dikemukakan
Roger dan Storey dalam Communication
Campaign (1987) yang juga mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian
tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada
sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu
tertentu.
Dengan demikian, inti kegiatan kampanye
tentu saja persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan para kandidat, mulai
iklan di media lini atas (above the
line media), media lini bawah (below
the line media), hingga lobi dan negosiasi yang langsung penetratif ke
simpul-simpul pemilih. Kampanye yang baik, tentu saja ialah kampanye
berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Kampanye modern yang positif
tersebut lebih banyak menyosialisasikan sekaligus membuka ruang pertarungan
gagasan dan program.
Kampanye menyerang merupakan
varian strategi yang fokus untuk melemahkan lawan. Ada dua jenis kampanye
menyerang yang sangat biasa digunakan, yakni kampanye negatif dan kampanye
hitam. Kampanye negatif menyerang pihak lain dengan data atau fakta yang bisa
diverifikasi. Artinya, seluruh data atau fakta yang diangkat ke permukaan
untuk mendelegitimasi lawan, memungkinkan untuk diperdebatkan, dikritisi,
dikoreksi, bahkan dipersoalkan di wilayah hukum. Misalnya serangan terhadap
program dan capaian Jokowi selama menjadi Wali Kota Surakarta ataupun Gubernur
DKI.
Sementara itu, kampanye hitam
menyerang pihak lain dengan gosip atau rumor yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Sumber penyebar pesan kampanye kerap bergerak dalam
operasi gelap dan tak tersentuh oleh proses dialektika. Ada empat teknik
propaganda yang sepertinya dipakai dalam operasi perang opini lewat tabloid
Obor Rakyat.
Pertama, teknik name calling, artinya pemberian label
buruk pada Jokowi. Misalnya melabeli Jokowi sebagai capres boneka atau capres
pendusta. Kedua, teknik card stacking,
yakni dengan mengeluarkan pernyataan yang memiliki efek domino di masyarakat.
Gosip yang dikonstruksi biasanya sensitif seperti agama atau ras dan
cenderung mengipas-ngipasi kebencian terhadap kandidat. Ketiga teknik
transfer, yakni menyebarkan propaganda lewat lambang-lambang otoritatif yang
diberi penafsiran berbeda dengan konteks sesungguhnya. Keempat, teknik
testimonial dengan cara mengutip dan menyebarkan pernyataan orang-orang yang
dikenal luas oleh khalayak. Kerap kali pernyataan tokoh tersebut juga sudah diberi
bingkai tertentu dengan tujuan membangun persepsi buruk terhadap Jokowi.
Ranah hukum
Tentu, publikasi dan penyebaran
Obor Rakyat merugikan pihak Jokowi-JK. Sangat tepat jika tim pemenangan
Jokowi-JK melaporkan persoalan itu ke kepolisian. Penulis memang bukan ahli
hukum, tetapi sangat bisa mengapresiasi jika kubu JokowiJK masuk dari payung
hukum misalnya pencemaran nama baik sebagaimana diatur di Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Dalam KUHP Indonesia sendiri,
pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap
seseorang. Ketentuannya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP, khususnya pada
Pasal 310, 311, 315, 317, dan Pasal 318. Pasal pidana terhadap perbuatan
penghinaan terhadap seseorang secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311
ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1), dan Pasal 318 ayat (1). Pada semua
pasal itu, ancaman hukuman penjaranya di bawah lima tahun. Tentu tim hukum
Jokowi-JK memiliki banyak pertimbangan, instrumen hukum mana saja tepat
digunakan untuk menjerat para pengelola Obor Rakyat sehingga bisa memiliki
efek jera.
Dalam sisi politik terutama
terkait dengan rivalitas jelang pilpres, sudah saatnya strategi kampanye
hitam itu ditinggalkan dan diganti dengan beragam strategi yang lebih
kreatif, mendidik, dan menghormati keadaban publik. Dalam pandangan Leon
Ostergaard, sebagaimana dikutip Klingemann (2002), paling tidak ada tiga
tahapan dalam kampanye.
Pertama, mengidentifikasi
masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi
pada isu/program (issues/program-oriented),
bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented).
Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Dengan
demikian, berbagai rincian program itu dapat menarik dan menjadi bagian utuh
kesadaran pemilih atau apa yang Walter Lippmann tulis sebagai the world outside and pictures in our head.
Bukan saatnya lagi para kandidat tetap menggulirkan bola panas kampanye
hitam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar