Selasa, 17 Juni 2014

Bola Panas Kampanye Hitam

Bola Panas Kampanye Hitam

Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
POLITIK nasional kita mencapai titik didih. Beragam peristiwa yang menunjukkan relasi antagonistis menyeruak ke ruang publik. Salah satu yang menyedot perhatian publik ialah keberadaan tabloid Obor Rakyat yang memantik polemik tak hanya di media massa dan media sosial, tetapi juga di diskusi-diskusi formal ataupun obrolan informal.

Perdebatan berpusat pada pertanyaan mendasar apakah kerja pengumpulan, penyusunan, dan pelaporan informasi yang dilakukan Obor Rakyat merupakan kerja jurnalistik atau bukan? Salah satu landasan kerja jurnalistik ialah fakta yang wajib dikonfi rmasi terlebih jika menyangkut keberadaan seseorang atau sekelompok orang. Ini yang lazim dikenal dalam standar prosedur jurnalistik sebagai cover both side atau cover all side. Memang bisa saja, dalam sebuah penelusuran investigative reporting, ada sumber-sumber yang anonim, tetapi tidak mendasarkan tulisan pada rumor atau gosip yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Memang tak terelakkan bahwa posisi media di mana pun memiliki kekuatan yang signifi kan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti itu relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah ‘cerita’ (Tuchman, 1980).

Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Semua ekspresi simbolis dari apa yang dihayati sebagai objective reality termasuk di dalamnya isi media (media content) dikategorikan sebagai simbolic reality.

Meskipun isi media merupakan realitas yang dikonstruksi dan ekspresi simbolis dari para pekerjanya, teramat sulit mengatakan Obor Rakyat sebagai produk jurnalistik jika landasan dasar konfirmasi dan cross check informasi tak dilakukan bahkan diabaikan.

Hal lain yang tampak tidak diperhatikan Obor Rakyat ialah standar etis profesional. Dalam perannya sebagai ‘mata’ dan ‘telinga’, pers seyogianya terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D Lasswell ialah sebagai pengawasan sosial (social surveillance). Hal itu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi halhal yang tak diinginkan. Akan tetapi, jelas, produk jurnalistik tidak boleh terjebak pada dosa-dosa yang mematikan idealisme pekerja media.

Media wajib memiliki etika profesional, terutama untuk senantiasa berhati-hati dan tidak melakukan seven deadly sins. Ketujuh dosa mematikan bagi media massa itu ialah eksploitasi kekerasan, eksploitasi anak di bawah umur, menstimulasi pencabulan, dramatisasi fakta palsu, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), melakukan penghakiman oleh pers (trial by the press), serta menghembus-hembuskan konflik SARA. Tingkat information literacy yang ada di masyarakat Indonesia masih rendah sehingga media mesti benar-benar melindungi hak-hak publik untuk mendapatkan isi media yang berkualitas. Kritik banyak pihak terhadap liputan Obor Rakyat merupakan indikasi kuat dramatisasi fakta palsu serta provokasi dalam hal SARA di banyak rubrik yang disajikannya.

Operasi opini publik

Menyangkut pembentukan opini, kita tak menyangkal salah satu kekuatan media ialah membentuk realitas sosial. Gebner dalam Boyd-Barrett, Approach to Media: a Reader (1995) memperkenalkan konsep resonansi. Hal itu terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di saat pesan media mengultivasi secara signifikan. Ketika realitas media seolah-olah mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi itu berlaku. Dalam konteks kekuatannya inilah, media menjadi alat ampuh dalam pembentukan opini publik.

Dalam kajian komunikasi politik, operasi opini publik pada khalayak sama dahsyatnya seperti operasi militer. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi keadaan serta pengendalian. Hal yang paling penulis risaukan terkait dengan Obor Rakyat ialah distorsi politik media.

Obor Rakyat lebih memerankan diri sebagai propagandis ketimbang jurnalis. Sejumlah teknik propaganda menyeruak dalam rubrik-rubrik yang dimilikinya. Dalam situasi yang memanas seperti sekarang, sangat mungkin propaganda tersebut menjadi bagian kampanye hitam. Jika kita cermati, liputan Obor Rakyat sangat merugikan Jokowi-JK terutama di masyarakat akar rumput yang disasar distribusi Obor Rakyat. Jokowi, misalnya, diserang dengan isu hitam etnik, agama yang dianutnya, dukungan asing, dan lain-lain.

Dalam perspektif komunikasi politik, memang kampanye itu ada dua jenis, yakni kampanye positif (positive campaign) dan kampanye menyerang (attacking campaign). Kampanye positif fokus pada upaya memengaruhi pemilih dengan mengaitkan persepsi dan emosi khalayak pada hal-hal positif yang terhubung dengan kandidat. Tujuannya, tentu untuk menaikkan tingkat popularitas, keterpilihan, kesukaan, dan penerimaan pemilih.

Menurut Michael dan Roxanne Parrott dalam Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan serta dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Hal senada juga dikemukakan Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan para kandidat, mulai iklan di media lini atas (above the line media), media lini bawah (below the line media), hingga lobi dan negosiasi yang langsung penetratif ke simpul-simpul pemilih. Kampanye yang baik, tentu saja ialah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Kampanye modern yang positif tersebut lebih banyak menyosialisasikan sekaligus membuka ruang pertarungan gagasan dan program.

Kampanye menyerang merupakan varian strategi yang fokus untuk melemahkan lawan. Ada dua jenis kampanye menyerang yang sangat biasa digunakan, yakni kampanye negatif dan kampanye hitam. Kampanye negatif menyerang pihak lain dengan data atau fakta yang bisa diverifikasi. Artinya, seluruh data atau fakta yang diangkat ke permukaan untuk mendelegitimasi lawan, memungkinkan untuk diperdebatkan, dikritisi, dikoreksi, bahkan dipersoalkan di wilayah hukum. Misalnya serangan terhadap program dan capaian Jokowi selama menjadi Wali Kota Surakarta ataupun Gubernur DKI.

Sementara itu, kampanye hitam menyerang pihak lain dengan gosip atau rumor yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Sumber penyebar pesan kampanye kerap bergerak dalam operasi gelap dan tak tersentuh oleh proses dialektika. Ada empat teknik propaganda yang sepertinya dipakai dalam operasi perang opini lewat tabloid Obor Rakyat.

Pertama, teknik name calling, artinya pemberian label buruk pada Jokowi. Misalnya melabeli Jokowi sebagai capres boneka atau capres pendusta. Kedua, teknik card stacking, yakni dengan mengeluarkan pernyataan yang memiliki efek domino di masyarakat. Gosip yang dikonstruksi biasanya sensitif seperti agama atau ras dan cenderung mengipas-ngipasi kebencian terhadap kandidat. Ketiga teknik transfer, yakni menyebarkan propaganda lewat lambang-lambang otoritatif yang diberi penafsiran berbeda dengan konteks sesungguhnya. Keempat, teknik testimonial dengan cara mengutip dan menyebarkan pernyataan orang-orang yang dikenal luas oleh khalayak. Kerap kali pernyataan tokoh tersebut juga sudah diberi bingkai tertentu dengan tujuan membangun persepsi buruk terhadap Jokowi.

Ranah hukum

Tentu, publikasi dan penyebaran Obor Rakyat merugikan pihak Jokowi-JK. Sangat tepat jika tim pemenangan Jokowi-JK melaporkan persoalan itu ke kepolisian. Penulis memang bukan ahli hukum, tetapi sangat bisa mengapresiasi jika kubu JokowiJK masuk dari payung hukum misalnya pencemaran nama baik sebagaimana diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP Indonesia sendiri, pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang. Ketentuannya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP, khususnya pada Pasal 310, 311, 315, 317, dan Pasal 318. Pasal pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1), dan Pasal 318 ayat (1). Pada semua pasal itu, ancaman hukuman penjaranya di bawah lima tahun. Tentu tim hukum Jokowi-JK memiliki banyak pertimbangan, instrumen hukum mana saja tepat digunakan untuk menjerat para pengelola Obor Rakyat sehingga bisa memiliki efek jera.

Dalam sisi politik terutama terkait dengan rivalitas jelang pilpres, sudah saatnya strategi kampanye hitam itu ditinggalkan dan diganti dengan beragam strategi yang lebih kreatif, mendidik, dan menghormati keadaban publik. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye.

Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses harus berorientasi pada isu/program (issues/program-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Dengan demikian, berbagai rincian program itu dapat menarik dan menjadi bagian utuh kesadaran pemilih atau apa yang Walter Lippmann tulis sebagai the world outside and pictures in our head. Bukan saatnya lagi para kandidat tetap menggulirkan bola panas kampanye hitam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar