Minggu, 22 Juni 2014

Ayo Memilih Presiden

Ayo Memilih Presiden

Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dibandingkan pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan calon presiden (pilpres) jauh lebih simpel karena yang dipilih hanya dua pasangan: nomor 1 atau nomor 2.

Terlepas dari diskusi dan perdebatan terhadap kualitas capres-cawapres, semuanya adalah putra-putra bangsa yang sudah berkorban moril-materiil dan memiliki tekad untuk memimpin pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan. Tekad dan pengorbanan itu mesti kita hargai. Belum tentu para pengamat dan komentator politik yang meramaikan wacana publik memiliki nyali dan modal untuk maju ikut bertanding.

Meski pilpres belum terlaksana, sesungguhnya secara moril kedua pasangan sudah menjadi pemenang. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dengan gigih memperjuangkan hak-haknya untuk tampil menjadi pemimpin bangsa dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa. Betapa besar tanggung jawab yang mesti dipikul andai mereka nantinya terpilih. Karena itu, dari segi niat dan tekad, empat orang itu sudah menjadi pemenang.

Bayangkan saja, apa yang akan terjadi dengan sistem pemerintahan kita kalau tak ada yang mau maju bertanding memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden? Tidak mungkin jarum sejarah diputar kembali ke zaman primitif. Pemilu ini sangat strategis maknanya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebuah tahapan dan proses pendewasaan berdemokrasi sehingga diharapkan ke depan nanti kita beranjak dari demokrasi prosedural naik menjadi demokrasi yang lebih substansial dan fungsional.

Di antara cirinya adalah masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang terbaik, karena jika salah memilih, yang akan celaka dan dirugikan adalah bangsa dan rakyat sendiri. Diperkirakan, rakyat kita yang sadar dan melek demokrasi tak mencapai angka 20%. Artinya, menjadi wajar kalau seseorang ketika memilih calon bupati, gubernur, wakil rakyat atau capres nanti tanpa disertai pengetahuan dan pertimbangan rasional.

Bisa jadi karena semata hubungan kekerabatan, merasa satu kelompok keagamaan, kesamaan etnis, atau karena menerima uang ”serangan fajar” di hari pencoblosan. Semua itu merupakan realitas bangsa dan masyarakat kita yang mesti kita terima meski harus ada upaya pendidikan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Dalam hal ini parpol mesti tampil ke depan sebagai pelopor pendidikan politik bagi warga negara dan menganjurkan serta mengajak agar pilpres ini berjalan fair dan damai.

Kalau para pendukung di bawah ada yang fanatik dan brutal, itu pun bisa dimaklumi. Bukankah para suporter Persib dan Persija juga fanatik dan kadang brutal? Padahal mereka tidak mendapatkan upah dan janji apa-apa. Hanya saja, agenda pilpres sangat berbeda nilai dan implikasi strategisnya bagi bangsa dan pemerintahan ke depan. Jangan sampai dicederai dengan konflik berdarah-darah karena akan fatal akibatnya, antara lain rakyat akan semakin tidak percaya pada demokrasi dan parpol.

Akan menyulitkan pemerintah untuk melakukan estafet panggung politik nasional dengan elegan dan indah. Dunia luar pun akan memandang bangsa ini masih barbar. Pendeknya, jika rakyat dan dunia tidak percaya kepada Pemerintah Indonesia, agenda pembangunan ekonomi dan aspek lain akan terhambat. Pasti inflasi dan pengangguran akan tinggi. Konsumsi tidak bisa distop, sementara pertumbuhan ekonomi mandek. Sejauh ini suasana menjelang pilpres masih terkendali.

Rakyat juga tidak senang dengan berbagai kampanye hitam yang membuat gerah dan lelah. Sesungguhnya antarparpol yang bersaing tak lagi memiliki perbedaan ideologi tajam yang akan membangkitkan militansi tinggi antarpendukungnya. Namun ketika emosi dan simbol agama dibawa-bawa dan dilibatkan, biasanya orang mudah terpancing. Karena itu, sebaiknya kita berkompetisi secara rasional saja. Lebih menekankan keunggulan visi, misi, program, dan bayang-bayang kabinetnya.

Kalau isu agama dibawa-bawa, kebetulan semua yang bertanding adalah sosok muslim. Tak lagi relevan menilai keimanan seseorang. Kalaupun toh suatu saat ada calon yang bukan muslim, itu pun dilindungi oleh undang-undang dan hukum tidak membedakan etnik serta agama bagi siapa pun yang akan maju menjadi pemimpin di negara Pancasila yang majemuk ini. Bangsa dan negara mana pun di dunia berkembang mengarah pada masyarakat yang plural, baik etnik maupun agama.

Jika di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim bermunculan bangunan gereja dan wihara, di Barat yang mayoritas Kristen bermunculan bangunan masjid. Ini juga menunjukkan tumbuhnya komunitas muslim di Barat. Bahkan belum lama ini berkumandang azan di wilayah Vatikan, pusat agama Katolik. Di situ diadakan doa bersama lintas agama untuk perdamaian dunia.

Pemikiran yang tidak siap menerima dan menghargai perbedaan adalah sikap tiran dan fasis. Demokrasi adalah bagian integral dari budaya Nusantara untuk menerima perbedaan, sejalan dengan motoBhinneka Tunggal Ika . Dengan ungkapan lain, lets celebrate the difference; accept the difference, respect the difference, share the difference.

Sadar akan pluralitas bangsa, mestinya kita menjadikan pemilu sebagai sebuah pesta dan ujian naik tingkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih matang dan dewasa. Pilihlah pasangan capres-cawapres sesuai dengan selera dan pilihan masing-masing. Kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar