PNS
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 12 Juni 2014
SAYA
agak surprise ketika membaca
ternyata masih banyak generasi muda yang berminat menjadi pegawai negeri
sipil (PNS). Di Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, misalnya, ada 17.000
pelamar untuk mengisi 50 lowongan. Di Kementerian Keuangan malah lebih
tinggi: 120.000 pelamar (2.700 lowongan).
Padahal,
di sisi lain jumlah PNS sudah jauh berkurang. Jika pada 2010 ada 4,7 juta
PNS, pada akhir 2014 tinggal 4,3 juta. Istilahnya zero growth, rekrutmen hanya untuk mengganti yang pensiun.
Kalau
jumlahnya berkurang, seharusnya produktivitas meningkat. Bukankah menjadi PNS
tidak akan seenak dulu lagi? Maksudnya, siapa pun harus bekerja lebih keras,
selain diawasi ketat masyarakat, leadership
dalam public service pun berubah.
Profesional Bergaji Rendah
Saya
tersenyum ketika membaca anekdot singkatan PNS di sebuah blog: Professional works, No corruption, but
Salary not good. Kalau melihat berkurangnya jumlah PNS, kepanjangan itu
betul adanya.
Dulu
kita mendengar, begitu sampai di kantor, yang pertama mereka lakukan adalah
menuju kantin, sarapan, ngopi, lalu ngobrol. Satu jam kemudian, mereka baru menuju ke meja kerja membaca koran.
Lalu, pukul 10.00 barulah bekerja.
Pukul 12.00 istirahat dan paling cepat satu setengah jam kemudian baru kembali. Dua–tiga jam berikutnya
bersiap-siap pulang. Jadi, praktis hanya bekerja empat–lima jam per hari. Itu
sebabnya banyak yang mengatakan ini pengangguran terselubung.
Tetapi,
belakangan kondisinya mulai berubah. Tuntutan terhadap peningkatan kinerja
kian meningkat. Itu sebabnya muncul singkatan baru tadi, Professional works (walau banyak juga yang konon masuknya lewat
jalur koneksi sehingga tidak profesional), No corruption (meski masih ada yang diajari bermain oleh
atasannya), Salary not good (ini
jelas).
Soal salary,
setelah pemerintah mengeluarkan PP No. 22 tahun 2013, memang meningkat.
Tetapi, jika dibandingkan dengan biaya investasi di perguruan tinggi –apalagi
lulusan luar negeri– angkanya jelas masih jauh dari menarik. Bayangkan, gaji
PNS golongan I dengan masa kerja 0 tahun hanya Rp 1,4 juta. Untuk golongan
IV-e, gajinya hanya Rp 5,3 juta walau kalau beruntung pada area tertentu
honornya amat banyak. Jika
dibandingkan dengan pegawai swasta atau BUMN, angka itu jelas tidak menarik.
Jadi,
apa motifnya?
Lalu,
dengan kondisi yang seperti itu, apa membuat anak-anak muda masih begitu
berminat penjadi PNS? Saya sangat senang kalau motifnya agar bisa
disekolahkan lagi, entah di dalam atau
di luar negeri. Ada juga yang alasannya agar punya banyak waktu luang untuk
mengerjakan hal-hal lain, seperti kerja sosial.
Saya
agak kurang bisa memahami kalau alasannya adalah kebanggaan atau bisa
mengabdi untuk negara. Bagi saya, bangga adalah persoalan relatif. Sementara,
mengabdi kepada negara kini bisa dilakukan di mana saja. Lagi pula DNA PNS,
maaf, bisa membuat orang bekerja slow
but not sure. Tetapi, saya betul-betul kurang sreg kalau alasan menjadi
PNS adalah soal kekuasan atau job security (karena sulit untuk
dipecat) seperti anjuran orang tua mereka.
Alasan
terakhir inilah yang membuat kita sulit menggulirkan program reformasi
birokrasi. Padahal, tanpa reformasi birokrasi, kita tidak akan pernah
memiliki pemerintahan yang melayani masyarakat. Sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, pelayanan tidak pernah sampai ke bawah.
Dan,
menggerakkan mesin birokrasi adalah pekerjaan yang berat. Banyak aturan dan
orang yang menghambat. Saya berharap generasi muda yang sehat bisa ikut
mentransformasi dunia PNS besar-besaran, bukan larut pada budaya birokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar